Deg-Degan Raport

Selain perlunya kemampuan public speaking yang mumpuni, menghadapi penerimaan raport di sekolah saya yang dulu, juga butuh kesiapan mental yang tinggi--karena harus siap berhadapan dengan sekitar tiga puluh orang tua siswa yang datang dengan rasa ingin tahu membuncah tentang perkembangan anak-anaknya selama di sekolah. 

Persoalan penerimaan raport emang sih kelihatannya biasa aja, cuma sekedar duduk, orangtua siswa datang ke meja, saya bagi raport sampai selesai, lalu pulang.

Sebentar. Harusnya sih gitu. Tapi tentu saja olah TKP-nya tidak semudah itu. 

Saya harus selalu siap sewaktu-waktu orangtua siswa mengajukan pertanyaan di luar kuasa saya sebagai wali kelas, yang sebenarnya tidak terlalu berguna. Misal, “Variabel apa yang bapak gunakan untuk menentukan nilai sikap dan akhlak anak saya serta seberapa besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi di Bulgaria?”

Itu sebabnya, public speaking juga diperlukan salah satunya agar saya bisa terlihat meyakinkan di depan orangtua siswa kalau semuanya baik-baik saja, terutama pertumbuhan ekonomi di Bulgaria.

Yang harus saya yakinkan pada orangtua siswa adalah bahwa anak-anaknya pintar semua, anak-anaknya sehat semua, juga anak-anaknya bakalan masuk surga semua yang nantinya akan mengajak orangtuanya ikutan masuk ke surga. Meski kenyatannya masih banyak anak yang kalau ijin pipis ke toilet suka males cebok, yang akhirnya salatnya jadi pada nggak sah. Tapi, gapapa... saya hanya, harus memastikan semuanya terlihat baik-baik saja.

Balik lagi ke penerimaan raport. Jadi prosedur yang lebih tepat adalah orangtua siswa datang, duduk, senyum, saya juga senyum, tapi senyum cemas.

Lalu, sidang isbat ini dimulai dengan pertanyaan sederhana dari orangtua siswa. “Gimana anak saya selama di sekolah, Pak Edot?”

Niatnya pengen langsung saya jawab, “Mohon maaf bu, anak ibu katenye ketinggalan jaman dan nggak berbudaye, di sekolah bukannye rajin belajar tapi kerjaannye sembahyang mengaji.”

Saya khawatir ibu di depan saya langsung menatap tajam, lalu bilang, “Pak Edot, anak saya bukan anak betawi, ya Pak, dan juga bukan Si Doel yang kerjaannya suka PHP-in cewek-cewek!”

Lalu saya dijewer dan dipaksa makan buah khuldi.

Ya... sebenernya pertanyaan, “Gimana anak saya selama di sekolah?” ini emang simpel, tapi itu hanyalah awal dari serentetan puluhan pertanyaan dibelakangnya.

Saya bisa saja jawab, “Alhamdulillah, anak ibu sekarang sudah mahir bernapas dengan daun telinga. Alhamdulillah juga, anak ibu sekarang kalau berjalan prok prok prok. Anak ibu di rumah pasti seorang kapiten ya? Panjang pedangnya berapa kilometer nih bu, kalau boleh tau?”

Setelah itu, saya pasti jadi sulit bernapas karena udah dipiting sama Si Ibu di atas meja.

Jawaban paling standar, yang bisa saya berikan tentu saja, “Alhamdulillah anak ibu di sekolah baik-baik saja, sholat dhuhanya rajin dan tertib, selama pelajaran juga bisa mengikuti dengan baik.”

Saya udah kepikiran kalau saya mendingan ngerekam jawaban saya di atas lalu saya tekan PLAY setiap orangtua siswa datang, duduk, senyum lalu mulai mengajukan pertanyaan klisenya. Jadi saya bisa memanfaatkan waktu yang ada buat membantu mengungkap dalang siapa di balik pembunuh Munir.

“Oh iya Pak, anak saya di rumah cerita, katanya.....”

Jujur aja kalau dengar kalimat seperti ini saya jadi tambah deg-degan, khawatir anak-anak suka mengamati perilaku menyimpang saya yang suka ngisep aroma kaos kaki sendiri di bawah kolong meja. Atau aib saya lainnya yang selama ini udah terlalu banyak saya pertontonkan di hadapan anak-anak tanpa saya sadari.

Pernah, dengan entengnya orangtua siswa cerita, “Oh iya, Pak, anak saya di rumah cerita, katanya Pak Edot suka duduk di meja padahal Pak Edot sendiri yang ngelarang anak-anak duduk di meja.”

Lalu, semuanya menjadi hening.

Saya berpikir keras mencari alasan yang tepat, yang masuk akal, yang bisa diterima dengan logika sederhana dan itu nggak mudah karena saya mudah kaget setiap dapat pertanyaan dadakan yang menusuk.

Disinilah, guru wali kelas juga harus punya kemampuan improvisasi yang mumpuni. Nggak boleh kelihatan gugup apalagi putus asa, sebab orangtua siswa selalu bisa membaca mimik wajah guru yang berhasil terjebak dalam keputusasaan.

Saya pun mencoba menjawab dengan pura-pura tenang, “Oh, itu cuma senderan aja bu, kan saya kalau ngajar di kelas suka muter ke tempat duduk anak, biar ngajarnya nggak cuma di depan papan tulis terus, nanti kasian anak yang duduk di meja belakang.”

Saya mencoba membaca mimik wajah orangtua siswa di depan saya, apakah percaya dengan jawaban saya yang terlalu normatif atau dalam hati mencibir jawaban saya yang sangat terlihat normatif mencoba menyelamatkan diri.

Selain menghadapi pertanyaan yang suka bikin deg-degan, saya juga harus menjadi pendengar yang baik dan tentu saja harus selalu berusaha memberikan umpan balik yang positif.

Kadang saking keenakan curhat tentang anaknya, orangtua siswa di depan saya sampai lupa waktu. Sementara di belakangnya udah banyak orangtua siswa yang nunggu giliran. Dan saya, nggak berani menyudahi pembicaraan takut dikira nggak tertarik sama topik yang sedang dibahas.

Kemampuan menyudahi pembicaraan tanpa menimbulkan rasa nggak enak adalah salah satu skill yang nggak saya miliki karena saya memang orangnya nggak enakan. Bahkan saya suka nggak enak sama diri saya sendiri karena saya orangnya terlalu nggak enakan.

Kadang saking nggak enakannya, saya sering ngerasa nggak enak banget kalau dari orangtua siswa suka ngasih bingkisan buat saya.

Biasanya sekalian orangtua pamit beberapa ada yang ngasih sesuatu, “Ngapunten, ini buat Pak Edot, Pak... terimakasih selama ini sudah membimbing anak saya dengan baik.”

Pengen rasanya saya bilang, “Membimbing dengan baik gimana maksudnya, Bu? Ibu jangan ge-er dulu, anak ibu sekarang justru mengkhawatirkan, karena ketemunya guru seperti saya yang kalau ngajar cuma bisa ngitungin ketombe di kelas.” 

Ya.. orangtua siswa di kelas saya rasanya terlalu baik sama saya, meskipun saya suka ngerjain anak-anaknya di kelas, hampir setiap tahun kalau perpisahan kelas mereka selalu memberikan tanda terima kasih ke saya dan saya hanya bisa membalas, "sama-sama."

Mereka baik sama saya mungkin karena orangtua siswa pada nggak tahu keisengan saya sama anak-anak sehari-hari.

 Suka nyuruh ngumpulin ketombe saya yang jatuh, misalnya.

Satu hal lagi yang saya khawatirkan waktu terima raport adalah ketemu orangtua siswa yang sangat teliti. Pernah waktu pembagian raport UTS, saya di kelas sendirian setelah selesai bagi raport. Tiba-tiba orangtua siswa yang tadi pagi ambil raport datang lagi ke kelas.

Saya sempat berpikir jangan-jangan ibu ini amnesia ambil raport sampai dua kali, atau ibu ini mau remidi ambil raport anaknya karena yang pertama nggak tuntas?

Ternyata, setelah duduk sambil terengah-engah, yang saya yakin ibu ini buru-buru ke kelas saya lagi. Ibu ini memprotes nilai anaknya yang berbeda di raport sama nilai hasil tengah semesternya.

Iya, di sekolah saya dulu memang ada raport tengah semester dan nilai yang ada di raport tertulis nilai UTS, nilai rata-rata dan nilai akhir. Sementara nilai UTS yang muncul di raport beda dengan nilai UTS yang saya bagikan ke anaknya.

Dengan kesalahan yang sedemikian fatalnya. Saya pun menyerahkan diri dan mengakui kalau saya salah input nilai ke raport dan memohon pemakluman karena yang namanya manusia memang tempatnya salah dan khilaf. Saya sampaikan hadist yang berbunyi, “setiap anak Adam pernah berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat” dari Hadis Riwayat Tarmidzi.

Ibu di depan saya manggut-manggut sambil mengucap subhanallah, saya juga berjanji akan memperbaiki entry nilai di raport dan ngeprint ulang nilai raport anaknya.

Setelah persoalan ini selesai, saya langsung mengajak ibu di depan saya keluar kelas lalu menunjuk matahari yang bersinar terik sambil mengatakan, “Lihat deh, matahari yang bersinar terik itu. Panas, ya bu. Monggo masuk lagi aja, bu.”

Ibu tadi manggut-manggut. Lalu memilih berpamitan, sambil berlari riang.

Posting Komentar

19 Komentar

  1. Ya Allah ya Robbi, demi apa aku mampir ke blog ini? Hiburanku sekali pak guru....alhadmulilah aku nemu blog berisi content ceria humoris seperti ini. Asli aku sepanjang baca postingan ini ngakak sampe akhir. Salam kenal Pak guru Edot, you have succesfully had another new fans today. Yes it's me.
    Asli kocak, menghibur.....suka dengan content2 begini. Kufollow ya pak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Mbak Imelda, makasih udah berkunjung 😁

      Aaaah... Makasih komentarnya Mbak Imelda 😆

      Hapus
  2. Ha ha ha ha ha...
    Kayak baca kisah sendiri, tapi nggak bisa nulis sebagus ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Pipit juga bagus kok tulisannya 😁👏👏

      Hapus
  3. Bacanya sambil ngakak, Mas Edotz. Soalnya khas banget, hi hi.

    Tapi sebagai ortu saya beroleh perspektif baru tentang guru. Anak saya masih MI dan sejak pandemi malas belajar karena jemu di rumah. Kasihan pada Pak guru yang sudah sabar membimbing. Ada kelas tatap muka 2 kali sepekan dan tugas rumah,tetap saja anak tidak termotivasi sampai malah saya yang frustrasi.

    Iyalah, rasanya bingung karena anak jadi tidak disiplin, maunya nonton atau main. Kalau gak nonton atau main malah main lagi dengan kucing. Kucing kampung adopsi itu lebih menarik perhatian anak daripada belajar rutin. Ditambah ada pengaruh teman-temannya yang ngajak nge-gim.

    Semoga tetap semangat menjadi guru SD itu bagi saya adalah hal hebat karena anak-anak madih belajar dasar mengenal dunia, belum semua sampai tahap tahu Bulgaria ada di mana, hi hi hi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Mak Rohyati 😁

      Memang persoalan ini begitu ruwet , anak bosen, gurunya juga sebenernya bosen.. di kantor nggak tau mau ngapain cuma nunggu jam pulang 😁

      Hapus
  4. Alhamdulillah, akhirnya aku tau apa yang wali kelasku pikirkan ketika penerimaan rapor ya.. Senyum-senyum padahal mah tau kalo waktu SD jarang cebok wkwkwkwkwk

    Bang, makasih atas ceritanya.. Nanti saya praktekkan ketika anak saya terima rapor, saya mau tanya macem-macem gitu ke wali kelasnya yg bikin deg-degan dengan awalan "di rumah anak saya cerita kalau....."

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo siang ngecek WC anak di sekolah , waah sering dapet jackpot dan aroma mantap😁

      Haha iya coba praktekkin terus perhatikan ekspresi wali kelasnya 😆

      Hapus
  5. Variabel apa yang bapak gunakan untuk menentukan nilai sikap dan akhlak anak saya serta seberapa besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi di Bulgaria?

    waahahaha
    pertanyaan macam apa ini kang
    btw saya beberapa saat yg lalu jg sempat jadi guru loh. ada murid yg aku kasih nilainya D wowkkwkw
    KEtika lihat nilainya gitu, orangtua nya agak kecewa sih. Tapi biarin deh, biar orang tua nya sadar, kalo anaknya emang rada bandel, susah diatur, disuruh buat tugas, ga mau buat tugas, ditambah lagi gaji gue yg ga seberapa #ehh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha ... Ngeri banget dikasih D 😆
      Tapi kalau emang anaknya udah susah banget dikendalikan, itu hak guru sih mau ngasih nilai berapa.

      Btw, jumlah gaji ga usah dijadiin pertimbangan ngasih nilai anak, ntar bahaya hahaha

      Hapus
  6. Hahaha bang edooot be ke sini malem2 setelah lama gak mampir aku ngakak terus loh😂😂

    Bacanya kek main rollercoaster niiii😂😂😂

    Aku jadi paham "oh gini ya rasanya jadi guru tiap menghadapi situasi pengambilan rapor"

    Seruuuu sekali bw ke blog bang edotz...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah Bocil setelah sekian lama 😁

      Iya, sebenernya guru yang terlihat tenang bisa jadi aslinya deg degan banget 😁

      Hapus
  7. Mas Edot, as usual ceritanya menarik untuk disimak sampai kelar 🤣

    By the way, saya nggak pernah tau bagaimana orang tua saya ketika bertemu guru-guru saya, apakah orang tua saya banyak tanya, atau tipe orang tua yang datang, terima rapot terus pulang, endeblabla 😆 Yang saya tau cuma jaman SD, orang tua sibuk terus nggak ada waktu ambil rapot saya, alhasil rapot saya dititipkan ke tetangga rumah ortu yang kebetulan salah satu guru di sekolah 😂

    Kayaknya Ibu baru mulai rajin ambil rapot saya saat middle school hahahaha *jadi curhat* -- by the way, mas Edot sendiri kalau dihadapkan dengan para orang tua, lebih pilih orang tua yang banyak tanya atau yang lempeng-lempeng saja? 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Mbak Eno 😁

      Waaah gurunya pasti tenang itu nggak ada pertanyaan aneh2 dari ortunya Mbak Eno 😆

      Kalo saya sih bebas, kalo ortunya lempeng semua nanti jadi kurang menantang pembagian rapotnya. Walaupun kalo dapet pertanyaan berbahaya juga kadang pengen nangis 😬

      Hapus
  8. Mas Edo, aku kok penasaran, apa murid-muridmu selalu ngakak kalo kamu yang ngajar.
    Kocak deh ceritanya.

    BalasHapus
  9. Mas Edot ini kocak bgd sih 🤣🤣 Jd ternyata walaupun guru2 mukanya lempeng, tp ternyata ada deg2an nya jga nunggu pertanyaan orang tua yaa. Eh atau mas edot aja yg kaya gt? 🤣🤣

    Trus aku jd inget pas ngambil rapot anakku pas TK. Aku nanya lagu yg sering dinyanyiin anakku, katanya denger pas senam sekolah.

    Bu, tau ga lagu ini 'engkau lau paprion parion kaciku, paprion dee..'? Soalnya saya bingung itu lagu apa..
    Trus bu gurunya ngakak, ternyata itu lagu partriot kecilku 🤣🤣

    BalasHapus
  10. Waktu SD deg-degan kalau terima rapor. Semangat terus mengajarnya kak. Baru blogwalking ketemu blog menarik. Jadi ngerti sudut pandang guru.

    BalasHapus
  11. Yaampun, kemana aja aku baru ketemu blog Kak Edot ini 😂 dari awal sampai habis bikin aku ngakak apalagi bagian bernafas dengan daun telinga yang bikin aku auto mikir gimana caranya 🤣
    Terima kasih atas sharingnya, Kak Edot. Sukses bikin aku ngakak sampai hampir nyembur 🤣

    BalasHapus