Hari Guru yang Hangat

Bisa dibilang saya ini termasuk guru yang suka kepo sama hal-hal pribadi anak-anak di kelas. Mulai dari berapa jumlah kakak mereka, berapa jumlah adek mereka sampai berapa jumlah orangtua mereka. Kalian pasti berpikir kalau orangtua mereka pasti jumlahnya dua kan? Hmm… ternyata nggak juga, beberapa ada yang jumlah orangtuanya cuma satu, beberapa lagi malah nggak punya orangtua karena ditinggal pergi jauh dari bayi dan diurus simbahnya sampai sekarang.
Suatu siang, setelah jam pelajaran sekolah selesai. Beberapa siswa yang memang sengaja belum ingin pulang ke rumah, duduk santai di depan teras sekolah. Entah karena suasana di rumah membosankan atau karena mereka masih ingin bermain di sekolah.
Cuaca siang itu mendung diiiringi angin yang bertiup cukup kencang, pohon-pohon di sekitar sekolah ‘terpaksa’ menjatuhkan daun-daunnya yang menyerah tertiup angin. Daun-daun itu banyak jatuh di sekitar halaman seolah sengaja ingin menambah beban kerja penjaga sekolah.
Berhubung saya sudah nggak ada kerjaan dan menunggu jam kerja selesai masih sekitar dua jam lagi. Saya iseng-iseng ikut duduk lesehan di teras bersama empat anak kelas enam yang masih sibuk bermain stik es krim.
Permainan ini belakangan cukup populer di kalangan anak sekolah. Banyak anak yang berangkat ke sekolah sengaja membawa puluhan stik di tasnya, tapi lupa membawa tugas pekerjaan rumahnya. Mereka memang lebih mudah mengingat cara bermain stik dibanding mengingat membawa tugas rumah ke sekolah.
Cara bermain stik ini cukup sederhana, dua anak saling berhadapan masing-masing dengan stik andalannya. Biasanya sih, stik andalannya ini ditempelin stiker atau digambarin macam-macam. Entah untuk menambah kekuatan agar lebih mudah menang, atau sekedar biar terlihat keren. Sementara mudah menang atau nggaknya urusan belakangan.
Kemudian, masing-masing stik diletakkan di lantai, kedua anak tersebut suit dulu buat menentukan urutan permainannya. Setelah itu, stik yang di lantai ditepuk dengan menggunakan kedua tangan biar terdorong maju karena angin yang dihasilkan dari tangan yang ditepuk ke lantai. Nantinya, yang berhasil menindih stik lawan berarti dia yang menang. Lawan harus memberi stik untuk bayarannya.
Melihat keempat anak yang masih pada betah di sekolah ini membuat saya jadi kepikiran, “Padahal suasananya sudah pas banget buat pulang ke rumah, lalu rebahan. Tapi anak-anak ini malah dengan senang hati justru pada mainan di sekolah”, Pemikiran orang yang sudah dewasa dan anak-anak memang berbeda sekali.
“Eh, kalian kok belum pada pulang? Bentar lagi hujan loh...” Saya menegur mereka yang masih asyik bermain.
“Nggak apa-apa, Pak! Kalau hujan tinggal hujan-hujanan pulangnya.” Kata Bayu, anak berbadan cukup tambun dengan rambut belah pinggir, menjawab sambil tetap fokus pada permainan stiknya.
“Iya, Pak! Nanggung ini, lagi seru!” Rian, yang sedang berhadapan dengan Bayu ikut menambahkan.
“Lah emangnya kalian jam segini nggak pada laper?”
“Gampang Pak, nanti pulang tinggal bikin mie instant!” Sambil menepuk stiknya, Bayu menjawab sekenanya.
“Eh, jangan keseringan makan mie instant loh, nggak baik. Anaknya temennya Pak Edot keseringan makan mie tuh, jadi masuk rumah sakit!” Saya mengingatkan mereka.
“Ah! Masa sih, Pak! Padahal kan mie instant enak, Pak.”
“Dih, nggak percaya. Nih, tak ceritain, ya.” Saya membalikkan badan menghadap mereka.
Anak-anak mulai tertarik dengan pembahasan mie instant yang tidak sehat. Sementara langit semakin gelap, gerimis mulai turun, hawa semakin dingin dan saya menelan ludah. Ngomongin mie instant membuat saya membayangkan nikmatnya mie instant rebus dengan paket lengkap di atasnya. Apalagi kalau dinikmati pas cuaca gerimis seperti ini.
“Nih, ya... dulu temennya Pak Edot punya anak, umur tiga tahun. Anaknya ini nggak mau makan kalau bukan mie. Dikasih nasi nggak mau, dikasih bubur nggak mau, dikasih uang seratus ribu buat beli mie juga nggak mau! Pokoknya mie!”
“Lah, masa dikasih uang nggak mau!”
“Ah, kalau aku sih langsung mau, uangnya buat beli kuota internet! Bisa main FF sepuasnya!” Bayu antusias menyebutkan game smartphone favoritnya.
“Ya namanya saja anak umur tiga tahun, kan. Belum ngerti uang, berhitung saja masih suka ngasal!” Rian membela saya.
“Jadi karena makannya mie terus, suatu hari anak ini nangis seharian. Orangtuanya kan khawatir, akhirnya dibawa ke rumah sakit. Setelah dicek ternyata lambungnya bermasalah karena keseringan makan mie. Dua hari kemudian, akhirnya anaknya meninggal.”
“Lah kok ngeri, Pak!”
“Ah, Pak Edot sengaja nakut-nakutin!”
“Ini benerah, loh ya.. Tahu nggak, Pak Edot dulu juga suka makan mie instant pas kuliah, akhirnya malah jadi sakit tipes, mesti dirawat di rumah sakit semingguan.”
Tiba-tiba anak kurus bernama Ilham yang seragamnya sudah mulai kekecilan ini nyeletuk, “Lah, kok Pak Edot nggak mati? Kan sering makan mie!”
Saya sempet kesel tapi ketawa juga, kesel karena anak ini bilangnya ‘mati’, bukan ‘meninggal’. Kata yang lebih sopan buat diucapkan ke orang yang lebih tua. Walaupun ya tetap saja nggak sopan tanya kenapa saya nggak meninggal juga pas sakit tipes?
“Tapi tetap aja, sakit. Nggak enak pokoknya!” Saya menegaskan.
Gerimis mulai berubah menjadi hujan deras, anak-anak yang duduk di bawah mulai berbinar-binar menatap air yang berbondong-bondong jatuh dari atas langit.
“Eh, hujannya deras nih, pulang yuk!” Bayu ngajakin teman-temannya.
“Ayok, ah... gassss” Rian tidak sabar memasukkan stik ke dalam tasnya.
Tanpa memedulikan saya yang pengen jitak anak bernama Ilham. Mereka buru-buru memasukkan mainan stiknya lalu segera minta salaman ke saya. Mereka berlari ke derasnya hujan. Sepertinya mereka lupa, di dalam tasnya ada buku pelajaran yang bisa saja kebasahan.
Melihat langkah mereka yang semakin jauh, saya jadi berpikir, semakin dewasa hidup memang semakin mudah merasa takut dengan hal-hal yang sebenarnya nggak perlu ditakutkan. Seperti saya, atau orang dewasa lainnya ketika melihat hujan. Kami lebih memilih untuk berteduh, daripada bersenang-senang menerobos hujan seperti anak-anak tadi.
Saya membayangkan, setelah sampai rumah, mereka pasti segera merebus mie instant tanpa peduli dengan cerita saya. Tanpa sadar, saya menelan ludah.
Tulisan ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dan dimuat di website www.thisissoutheastasia.com dengan judul:
Beberapa minggu yang lalu, sekolah saya kedatangan tamu dari puskesmas. Tujuan mereka datang untuk sosialisasi pentingnya vaksin HPV pada anak SD. Memang, sejak tahun 2022, Kemenkes menjadikan vaksin HPV sebagai salah satu jenis vaksin dalam program imunisasi wajib nasional untuk anak perempuan usia 11–12 tahun pada beberapa provinsi. Vaksin HPV ini tujuannya untuk mencegah dan menurunkan kanker serviks pada perempuan.
Seperti pada umumnya anak SD
ketika dihubungkan dengan hal-hal berbau suntik menyuntik, respon mereka tentu
saja kalang kabut. Ada yang merencanakan untuk tidak berangkat waktu hari
penyuntikan, ada yang beralasan lagi batuk pilek biar nggak disuntik, juga ada
yang beralasan sudah pernah disuntik waktu bayi (ini nggak nyambung banget
sih).
Sebagai guru yang baik, tentu
saja saya harus memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa perkara suntik ini bukanlah
sesuatu yang harus diributkan. Tinggal naikin lengan baju, diolesin alkohol,
disuntik, terus udah, selesai... tinggal melanjutkan hidup lagi seperti biasa.
Setelah mendengar cerita bahwa
suntik itu hal yang biasa. Anak laki-laki langsung terlihat percaya diri,
menepuk dada mereka dengan sombong sambil selebrasi “siuuuuuu” seperti
Cristiano Ronaldo kalau habis ngegolin. Kesombongan ini muncul secara tiba-tiba
karena mereka tahu perkara suntik menyuntik ini hanya untuk anak perempuan.
Tinggalah anak perempuan dengan
wajah cemas di kelas sambil menunggu kapan datangnya jadwal suntik dari puskesmas.
Selanjutnya, saya memberikan
lembar persetujuan dari orangtua siswa agar anaknya diizinkan untuk suntik
vaksin HPV di sekolah. Ternyata respon yang datang dari orangtua setelah formulirnya
dikumpulkan lagi sangat beragam.
Sambil mengumpulkan, Ninda, salah
satu siswa bilang, “Pak, saya nggak boleh disuntik sama ibu, soalnya saya masih
batuk sama pilek.”
Anel, juga nyeletuk, “Pak, saya
nggak boleh disuntik, bapakku bilang katanya, ‘anak sehat-sehat kok malah
disuntik!’ Gitu Pak”
Saya menghela napas panjang,
terus ceramah, “Ini kenapa jadi pada nggak boleh disuntik gini, sih! Ninda
nggak boleh disuntik gara-gara batuk pilek, Anel nggak boleh disuntik karena
anaknya sehat! Lah terus kalo kayak gini, kira-kira yang boleh disuntik anak
yang kayak gimana nih?!”
Tiba-tiba Rafa nyeletuk, “harusnya
anak cewek pada bersyukur ya Pak, masih bisa disuntik, coba bayangin anak yang
nggak punya lengan, gimana suntiknya?”
Saya yang tadinya mau kesel, jadi pengen ketawa denger
celetukannya Rafa yang dark joke banget.
Saya menjelaskan lagi, “Intinya
vaksin HPV ini penting banget buat anak cewek biar pada nggak kena kanker
serviks. Terus kenapa, disuntiknya pas mereka masih SD? Karena vaksin ini lebih
efektif bekerja pada anak perempuan yang belum memasuki masa pubertas. Nanti
kalian kelas enam juga bakalan belajar materi pubertas ini.”
Setelah membaca satu per satu
surat persetujuan vaksin dari orang tua, ada satu surat yang waktu dibaca malah
bikin kesel. Kayak gini ini...
Jadi orangtua ini aslinya
keberatan anaknya divaksin, tapi terpaksa menyetujui anaknya buat divaksin, tapi...
dia sudah siap-siap kalau ada apa-apa sama anaknya, dia mau nuntut pihak
sekolah.
Yang bikin kesel itu, seenteng
itu dia nulis begini ke sekolah yang sudah jadi tempat anaknya belajar selama
hampir enam tahun. Seenteng itu, dia ngancem begini ke guru yang sudah ngedidik
anaknya dari anaknya belum bisa baca sampe sekarang anaknya udah pinter ngeles
kalau diceramahi orangtuanya.
Padahal kan, si bapak ini bisa
datang ke sekolah baik-baik, ngobrol sama gurunya, masalah keberatan anaknya
disuntik, terus solusinya bagaimana.
Walaupun kesel, saya memaklumi
kalau memang bapak ini, dan mungkin orangtua siswa lainnya juga perlu mendapat
edukasi tentang pentingnya vaksin HPV pada anak ceweknya. Karena memang
rata-rata, di sekolah yang bisa dibilang pinggiran ini, orangtua banyak yang
pendidikannya masih rendah. Jadi mereka masih mudah terprovokasi berita hoax.
Mungkin, para orangtua ini juga
masih pada membekas ingatannya ketika lagi rame-ramenya vaksin Covid-19 dan ada
cerita orang yang habis divaksin malah lumpuh atau malah meninggal.
Sebenernya masalah vaksin ini kan
program dari pemerintah yang dieksekusi sama puskesmas buat anak-anak perempuan
di sekolah. Tapi kalau ada apa-apa yang mau dituntut pihak sekolahnya aja. haha.
Daripada jadi masalah, akhirnya
saya bilang ke anaknya, biar bapaknya datang ke sekolah kalau memang lebih memilih
anaknya nggak disuntik. Jadi bisa sekalian ngobrol juga tentang vaksin HPV ini itu
sebenernya kayak gimana.
Nyatanya, sampai datang hari
penyuntikan, si bapak lebih memilih tidak datang ke sekolah, anak si bapak pun
disuntik dengan khidmat.
Siangnya, ketika saya pulang
sekolah, di jalan saya ketemu anak cewek ini lagi main sepeda listrik dengan
bahagia. Alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa pada si anak seperti yang dikhawatirkan
si bapak.
Besoknya, si anak cewek ini nggak berangkat alasannya lagi sakit, besoknya lagi masih nggak berangkat juga. Kayaknya kesempatan banget nih, habis disuntik... minta libur dua hari. Saya masih ingat, ketika anak cewek ini main sepeda listrik tanpa beban di suatu siang sepulang sekolah.
Pagi itu, sehabis bangun tidur, seperti biasa ritual yang
pertama kali saya lakukan adalah ngecek HP. Di layar, ada salah satu panggilan
tak terjawab Whatsapp pukul empat pagi dari salah satu siswa saya. Kalau
sekedar mau tanya tugas kayaknya siswa saya nggak segabut itu. Kalau mau tanya
berangkatnya pakai seragam apa, siswa saya juga kayaknya bisa tanya ke teman
sekelas yang rumahnya tetanggaan.
Saya lanjut ngecek pesan di Whatsapp, ada beberapa chat di
grup kelas dan sekolah yang belum terbuka. Saya lebih memilih membuka chat yang
ada di grup kelas dulu karena khawatir kalau buka grup sekolah isinya beban
tugas tambahan.
Begitu saya buka grup kelas, dan baca isinya... DEG! Badan
langsung lemes dan rasanya masih sulit buat dipercaya. Salah satu siswa saya,
sebut saja Zia, dikabarkan meninggal karena sakit.
Saya bergegas bangun, sholat dan mandi terus berangkat lebih
pagi dari biasanya, meskipun saya tahu berangkat lebih pagi pun buat apa?
Sebenernya saya kepikiran pagi itu mau tanya ke info ke
penjaga sekolah lalu langsung ke rumah Zia. Tapi info beredar masih simpang
siur.. berdasarkan info penjaga yang sumbernya dari ‘katanya’, Zia masih
perjalanan dari rumah sakit ke rumah.
Penjaga sekolah melanjutkan, Zia dikabarkan meninggal karena
sakit demam, terus dibawa ke rumah sakit tapi nggak sempat tertolong.
Sekitar pukul delapan, saya dan anak-anak kelas enam beserta
rekan guru berkunjung ke rumah Zia. Suasana duka langsung terasa, Ibu Zia nggak
sanggup menemui orang-orang yang hadir dan hanya berdiam diri di kamar.
Saya bisa membayangkan bagaimana terpukulnya keluarga Zia.
Zia adalah anak terakhir, kakaknya merantau di Jakarta. Praktis, di rumah hanya
ada Bapak, Ibu dan Zia. Zia adalah alasan rumah menjadi berwarna bagi kedua
orangtuanya.
Yang bikin sedih lagi adalah, Zia meninggal empat hari
sebelum perpisahan sekolah. Padahal sebelumnya Zia dan Ibunya sudah semangat
banget buat nyari baju kebaya yang pas, semangat latihan buat latihan nyanyi.
Hari itu, saya mendengar cerita dari tetangganya. Sebelumnya
Zia sakit panas, karena belum turun-turun akhirnya periksa ke bidan, beberapa
hari kemudian Zia sudah mulai turun panasnya bahkan sudah keluar rumah main
sama temennya di sungai. Malamnya Zia drop lagi, kakinya sampai lemes banget,
karena kondisinya semakin mengkhawatirkan, Zia dibawa ke rumah sakit, sayang
sebelum sampai rumah sakit Zia sudah meninggal.
Zia anak baik.. saya jadi mengingat semua kebaikan Zia selama
di sekolah. Zia nggak ragu-ragu buat ngingetin saya ketika saya lagi usil sama
anak kelas enam lainnya. Zia juga suka berbagi sama teman-temennya, mulai dari
makanan sampai aksesoris cewek. Selama ramadan kemarin, Zia juga rajin ngisi
buku ramadan dengan sholat lima waktu dan puasanya yang nggak bolong, bahkan
sholat tarawihnya juga rajin.
Setelah kelulusan ini pun, Zia sudah punya rencana mau
melanjutkan SMP dengan mondok di salah satu pondok pesantren.
Salah satu yang bikin saya lebih nyesek adalah saya masih
punya ‘hutang’ nraktir es krim Mixue. Waktu itu saya memang menjanjikan setelah
selesai ujian kelas enam, sekelas bakalan saya traktir es krim Mixue. Dan
alasan kenapa saya berani nraktir es krim Mixue ini ya karena kelas enam ini
siswanya cuma tiga belas, jadi nggak terlalu banyak habisnya. Zia adalah salah
satu siswa yang sering nagih janji, “Pak, katanya mau nraktir mixue?” seperti
anak-anak lainnya yang dijanjikan sesuatu bakalan selalu ingat.
Setelah takziah, malam harinya saya ngerasa nyesek banget, rasanya terlalu tiba-tiba. Kehilangan anak baik yang sudah setahun ini hampir tiap hari bareng sama saya di kelas.
Bagi saya, sejak tanggal 15 Oktober hari-hari berikutnya rasanya lambat
banget berlalu. Hidup rasanya nggak tenang nunggu tanggal 3 November datang.
Setelah melalui kegiatan Pendidikan Profesi Guru selama
kurang lebih tiga bulan. Tanggal 15 Oktober kemarin saya akhirnya sampai di
babak final, hari itu saya melaksanakan tes Ujian Pengetahuan. Ujiannya saya
laksanakan via daring. Hari Minggu jam 12 siang saya sudah berdiam diri di
dalam kamar, penuh rasa cemas menghadap laptop untuk persiapan ujian satu jam
kemudian.
Laptop udah terhubung internet, ter-install program SEB
khusus buat ujian PPG, sementara HP saya berdiri disangga tripod terhubung ke
Zoom Meeting agar mudah diawasi oleh pengawas ujian.
Hari-hari sebelumnya, saya udah rajin banget buka Youtube
yang ngebahas kisi-kisi ujian, walaupun tentu saja belajar dadakan seakan nggak
ada artinya karena materi yang saya tonton cuma sedikit yang masuk ke ingatan.
Saya juga sempetin beli e-book seharga lima puluh ribu yang berbonus soal-soal
try out yang bisa diakses di dalam website-nya.
Hal ini saya lakukan karena saya sadar diri sama
kemampuan diri sendiri yang nggak pinter-pinter amat. Kalaupun apa yang saya
pelajari ternyata nggak bisa masuk di otak, ya setidaknya saya sudah nunjukin
sama Allah kalau hambanya yang satu ini lagi berusaha keras.
Btw, emang bener sih kata kutipan-kutipan yang berlalu lalang
di internet yang mengatakan hidup adalah ujian. Saya ngerasanya hidup saya
selama ini dipenuhi dengan berbagai ujian. Tiap pengen dapetin sesuatu kayaknya
harus banget diuji dulu.
Ujian SKD CPNS, ujian SKB CPNS, ujian pre test PPG, sampai
yang terbaru ini ada ujian pengetahuan PPG. Walaupun semuanya berakhir dengan
bahagia, tapi prosesnya ini beneran harus dilalui dengan rasa berdebar-debar
lebih ekstrem, lebih sering bikin susah tidur juga.
Saat tes ujian pengetahuan udah dimulai, saya berusaha untuk
membaca cepat setiap soal yang ada. Setiap selesai memilih salah satu jawaban
pilihan ganda, selanjutnya cuma ada dua tampilan yang bisa di-klik. Yakin atau
Ragu-Ragu. Yakin kalau udah ngerasa jawabannya bener banget, ragu-ragu kalau
belum yakin sama jawabannya, atau kalau nggak tahu sama sekali lalu jawab
ngasal.
Ada 120 soal yang harus saya kerjakan dalam waktu tiga jam,
waktu yang panjang ini membuat saya punya kesempatan untuk mengoreksi kembali
jawaban yang sudah saya pilih setelah berhasil saya isi semua.
Waktu yang panjang ini juga membuat saya ngerasa jenuh banget mau ngapain lagi di depan laptop karena peserta dilarang meninggalkan lokasi sampai waktu
selesai. Jadilah hari itu empat jam saya di depan laptop merasa diawasi setiap
detik sambil nahan lapar.
Setelah tes selesai, hari-hari saya berjalan seperti sebuah
perjalanan spiritual. Saya lebih khusyu berdo’a, kalau biasanya pas solat sujudnya
standar, setelah tes sujud saya jadi lebih lama, sengaja dilamain doanya biar
dikasih lulus. Hidup jadi penuh kata-kata bijak, tiba-tiba jadi rajin sholat sunnah segala.
Sampai akhirnya tanggal 3 November datang juga, Saking nggak
nyenyaknya tidur karena udah deg-degan nunggu-nunggu banget datangnya tanggal
ini, di sepertiga malam saya terbangun, langsung ngecek HP, browsing ke alamat
pengumuman kelulusan dan hasilnya nihil.
Mau tidur lagi rasanya nggak bakalan nyenyak, saya akhirnya
terjaga sampai pagi sambil beberapa menit sekali ngecek pengumuman kelulusan
berharap sudah ada hasil.
Grup PPG di WhatsApp udah mulai sahut-sahutan nanyain info
kelulusan yang nyatanya sampai siang di sekolah pun belum ada kabar sama
sekali. Sementara saya masih rajin refresh website info kelulusan, sore harinya
muncul info baru yang bilang kalau ternyata pengumumannya ditunda. Lebih
resahnya lagi, nggak ada info ditunda sampai kapan.
Ah... saya harusnya tahu diri kalau saya ini warga negara
mana. Masalah tunda menunda, di sini sudah jadi budaya.
Hari-hari berikutnya entah kenapa saya jadi ngerasa agak
sedikit tenang, mungkin karena nggak tahu kepastiannya kapan, saya lebih
memilih untuk yaudahlah... jalanin saja. Mau deg-degan terus rasanya bakalan
melelahkan kalau ternyata pengumumannya habis pemilihan presiden 2024.
Sekitar dua minggu kemudian, waktu saya lagi di rumah ibu
karena mau diajak jalan-jalan ke Pekalongan sama kakak pertama, grup WhatsApp
tiba-tiba heboh kalau pengumuman katanya sudah keluar.
Saya langsung buka website pakai HP dan munculnya reload page. Mungkin karena server lagi overload diakses sekian banyak peserta PPG se-Indonesia yang
juga lagi deg-degan nunggu kelulusan. Saya akhirnya memilih untuk pulang duluan
ke rumah mencoba mengakses pakai laptop dan wifi rumah yang koneksinya lebih kenceng.
Buru-buru saya buka laptop, sambil deg-degan parah yang bikin
perut rasanya jadi mules. Gemetaran ngetik alamat website kelulusan, ngetik
nomor peserta dan tanggal lahir.. muncullah informasi yang bikin saya awalnya
merem-merem dikit takut mau ngeliat hasilnya tapi penasaran.
Setelah meyakinkan diri, saya scroll ke bawah dan melihat
hasilnya...
Alhamdulillah... rasanya legaaaaa banget. Beneran lega kayak pas ngeliat pengumuman lulus CPNS. Keluh kesah selama tiga bulan ngejalanin PPG yang bener-bener bikin mental down karena beneran harus PPG sambil ngajar, nggak dikasih keringanan sama sekolah meskipun udah ngasih surat permakluman dari pihak kampus. Ah, kalau ingat ini rasanya campur aduk banget pokoknya.
Btw,
setelah lulus Program Profesi Guru ini saya nanti bakalan dapet yang namanya
Sertifikat Pendidik. Sertifikat ini bisa jadi syarat buat dapat sertifikasi
atau tunjangan bagi guru. Kalau jadi PNS adalah resolusi tertinggi saya, maka
bisa dapat sertifikat pendidik ini adalah resolusi saya di bawah lulus PNS.
Alhamdulillah saya bersyukur sekali bisa dikasih kelancaran buat dua hal yang
saya impi-impikan ini.
Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.