Beberapa minggu yang lalu, sekolah saya kedatangan tamu dari puskesmas. Tujuan mereka datang untuk sosialisasi pentingnya vaksin HPV pada anak SD. Memang, sejak tahun 2022, Kemenkes menjadikan vaksin HPV sebagai salah satu jenis vaksin dalam program imunisasi wajib nasional untuk anak perempuan usia 11–12 tahun pada beberapa provinsi. Vaksin HPV ini tujuannya untuk mencegah dan menurunkan kanker serviks pada perempuan.
Seperti pada umumnya anak SD
ketika dihubungkan dengan hal-hal berbau suntik menyuntik, respon mereka tentu
saja kalang kabut. Ada yang merencanakan untuk tidak berangkat waktu hari
penyuntikan, ada yang beralasan lagi batuk pilek biar nggak disuntik, juga ada
yang beralasan sudah pernah disuntik waktu bayi (ini nggak nyambung banget
sih).
Sebagai guru yang baik, tentu
saja saya harus memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa perkara suntik ini bukanlah
sesuatu yang harus diributkan. Tinggal naikin lengan baju, diolesin alkohol,
disuntik, terus udah, selesai... tinggal melanjutkan hidup lagi seperti biasa.
Setelah mendengar cerita bahwa
suntik itu hal yang biasa. Anak laki-laki langsung terlihat percaya diri,
menepuk dada mereka dengan sombong sambil selebrasi “siuuuuuu” seperti
Cristiano Ronaldo kalau habis ngegolin. Kesombongan ini muncul secara tiba-tiba
karena mereka tahu perkara suntik menyuntik ini hanya untuk anak perempuan.
Tinggalah anak perempuan dengan
wajah cemas di kelas sambil menunggu kapan datangnya jadwal suntik dari puskesmas.
Selanjutnya, saya memberikan
lembar persetujuan dari orangtua siswa agar anaknya diizinkan untuk suntik
vaksin HPV di sekolah. Ternyata respon yang datang dari orangtua setelah formulirnya
dikumpulkan lagi sangat beragam.
Sambil mengumpulkan, Ninda, salah
satu siswa bilang, “Pak, saya nggak boleh disuntik sama ibu, soalnya saya masih
batuk sama pilek.”
Anel, juga nyeletuk, “Pak, saya
nggak boleh disuntik, bapakku bilang katanya, ‘anak sehat-sehat kok malah
disuntik!’ Gitu Pak”
Saya menghela napas panjang,
terus ceramah, “Ini kenapa jadi pada nggak boleh disuntik gini, sih! Ninda
nggak boleh disuntik gara-gara batuk pilek, Anel nggak boleh disuntik karena
anaknya sehat! Lah terus kalo kayak gini, kira-kira yang boleh disuntik anak
yang kayak gimana nih?!”
Tiba-tiba Rafa nyeletuk, “harusnya
anak cewek pada bersyukur ya Pak, masih bisa disuntik, coba bayangin anak yang
nggak punya lengan, gimana suntiknya?”
Saya yang tadinya mau kesel, jadi pengen ketawa denger
celetukannya Rafa yang dark joke banget.
Saya menjelaskan lagi, “Intinya
vaksin HPV ini penting banget buat anak cewek biar pada nggak kena kanker
serviks. Terus kenapa, disuntiknya pas mereka masih SD? Karena vaksin ini lebih
efektif bekerja pada anak perempuan yang belum memasuki masa pubertas. Nanti
kalian kelas enam juga bakalan belajar materi pubertas ini.”
Setelah membaca satu per satu
surat persetujuan vaksin dari orang tua, ada satu surat yang waktu dibaca malah
bikin kesel. Kayak gini ini...
Jadi orangtua ini aslinya
keberatan anaknya divaksin, tapi terpaksa menyetujui anaknya buat divaksin, tapi...
dia sudah siap-siap kalau ada apa-apa sama anaknya, dia mau nuntut pihak
sekolah.
Yang bikin kesel itu, seenteng
itu dia nulis begini ke sekolah yang sudah jadi tempat anaknya belajar selama
hampir enam tahun. Seenteng itu, dia ngancem begini ke guru yang sudah ngedidik
anaknya dari anaknya belum bisa baca sampe sekarang anaknya udah pinter ngeles
kalau diceramahi orangtuanya.
Padahal kan, si bapak ini bisa
datang ke sekolah baik-baik, ngobrol sama gurunya, masalah keberatan anaknya
disuntik, terus solusinya bagaimana.
Walaupun kesel, saya memaklumi
kalau memang bapak ini, dan mungkin orangtua siswa lainnya juga perlu mendapat
edukasi tentang pentingnya vaksin HPV pada anak ceweknya. Karena memang
rata-rata, di sekolah yang bisa dibilang pinggiran ini, orangtua banyak yang
pendidikannya masih rendah. Jadi mereka masih mudah terprovokasi berita hoax.
Mungkin, para orangtua ini juga
masih pada membekas ingatannya ketika lagi rame-ramenya vaksin Covid-19 dan ada
cerita orang yang habis divaksin malah lumpuh atau malah meninggal.
Sebenernya masalah vaksin ini kan
program dari pemerintah yang dieksekusi sama puskesmas buat anak-anak perempuan
di sekolah. Tapi kalau ada apa-apa yang mau dituntut pihak sekolahnya aja. haha.
Daripada jadi masalah, akhirnya
saya bilang ke anaknya, biar bapaknya datang ke sekolah kalau memang lebih memilih
anaknya nggak disuntik. Jadi bisa sekalian ngobrol juga tentang vaksin HPV ini itu
sebenernya kayak gimana.
Nyatanya, sampai datang hari
penyuntikan, si bapak lebih memilih tidak datang ke sekolah, anak si bapak pun
disuntik dengan khidmat.
Siangnya, ketika saya pulang
sekolah, di jalan saya ketemu anak cewek ini lagi main sepeda listrik dengan
bahagia. Alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa pada si anak seperti yang dikhawatirkan
si bapak.
Besoknya, si anak cewek ini nggak berangkat alasannya lagi sakit, besoknya lagi masih nggak berangkat juga. Kayaknya kesempatan banget nih, habis disuntik... minta libur dua hari. Saya masih ingat, ketika anak cewek ini main sepeda listrik tanpa beban di suatu siang sepulang sekolah.
Bener mas, biasanya yg dh daerah msh sulit paham pentingnya vaksin ini.
BalasHapusAku aja nyesel kenapa dulu suntik hpv pas udh dewasa. Hrsnya memang pas anak2 kan.
Anakku kemarin pas ada pengumuman vaksin ini, langsung aku ttd dan wajibkan. Ga ada cerita nolak. Pokoknya selama di KSH ama pemerintah, LGS aja..
Udh mending gratis. Itu bapak2 tau ga Hrg vaksin HPV kalo bayar sendiri 😅🤣🤣. Mana suntik 3x.