Senin, Februari 22, 2021

Baris Berbaris, Nice!

Februari 22, 2021

Waktu masih jadi guru di sebuah SDIT, saya dan beberapa bapak-bapak pernah diminta buat jadi pendamping pramuka buat ikutan kemah wilayah di kota Sragen selama lima hari. Iya, walaupun sekolah SD, jaringan sekolah ini memang luas. Makanya sampai bisa bikin acara kemah buat anak SD sampai tingkat Jawa Tengah, yang lebih berpotensi bikin pendampingnya masuk angin berjamaah.


Kami sampai di lokasi perkemahan sekitar pukul empat pagi, dengan mengendarai Jetbus. Bapak-bapak lainnya langsung sibuk memindahkan barang bawaan yang besarnya sudah ngalahin dosa Abu Jahal dan pengikutnya menuju lapangan perkemahan meskipun sambil gelap-gelapan.


Saya yang tergolong jenis bapak-bapak dan masih setengah ngantuk tentu saja ikut berkontribusi memanjatkan do’a agar bapak-bapak diberi kelancaran mindahin barangnya. Saya sengaja berdo’a di tempat yang agak sepi dan gelap, sengaja biar lebih khusyu’ dan nggak dipanggil suruh ikut bantu bawain barang.


Setelah tenda selesai dipasang, saya muncul dengan wajah bercahaya tanpa rasa berdosa. Sebelum anak-anak mengira saya ini seorang nabi, saya segera mematikan senter yang dari tadi saya sorotkan ke wajah.


Petualangan selama lima hari pun dimulai, mengingat tenda putra-putri dipisah dan kegiatan anak-anak sangat padat, bapak pembina harus mendampingi kesana kemari. Maka saya mengalah dan memilih tugas yang paling berat.


Jaga tenda.


Meskipun sempat terjadi protes, dan sebagian memicingkan mata seolah saya tidak banyak berguna. Tapi saya berhasil meyakinkan kalau jaga tenda adalah pekerjaan yang suci dan agung. Keamanan barang bawaan semuanya ada di pundak saya, meski tidak termasuk kebersihan tenda karena saya bisa minta anak-anak yang membersihkan.


Hari-hari tidak berarti saya lalui disini. Malam dingin banget, siang panas banget. Anak-anak tersebar dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang ikut lomba memanah, ada yang ikut lomba menggambar kaligrafi, juga ada yang ikut temannya ikut lomba.


Setiap hari saya selalu fokus rebahan berusaha nggak tidur demi menjaga barang di tenda yang tidak terlalu berharga.


Salah satu pendamping di tenda ini, sebut saja Pak Ujang, memang nama sebenarnya. Adalah andalan pramuka SDIT yang ketegasannya sanggup membuat tukang parkir merogoh saku ngambil kembalian seribu waktu dibayar pakai uang kertas dua ribuan.


Sudah sebulan lamanya, Pak Ujang dapat tugas sebagai pelatih baris berbaris buat persiapan anak-anak kemah di Sragen. Paginya, waktu saya lagi enak-enak tiduran di tenda, Pak Ujang sudah antusias nyiapin anak-anak di depan tenda buat persiapan menuju lomba PBB yang biasa disebut baris berbaris.


 

“Siap grak!!! Setengah lencang depan, grak!! Tegak grak!!” Pagi-pagi Pak Ujang sudah semangat mengganggu harmonisasi tiduran saya.


“Siapa kita?!!!” Pak Ujang teriak lagi.


“Pramuka SIT!” Anak-anak ikutan teriak.


“Siapa kita?!!” Pak Ujang menegaskan lagi.


“Pramuka SIT!!!”


Ini kalau sekali lagi Pak Ujang teriak ‘siapa kita?!!!’, saya bakalan keluar terus bilang, “Coba tebaaak saya siapaaa? Sengaja nih mata saya tak tutupin biar susah jawabnyaaa...”


Pak Ujang lanjut membakar semangat anak-anak, “Pramuka SIT?!!!!”


“Taqwa, tangkas, tangguh, Allahuakbar!!” Anak-anak menjawab sambil mengepalkan tangannya ke udara, sudah berasa kayak lagi di dunia Digimon.


Tegas sekali suara Pak Ujang pagi itu, saya yakin sekolah lain yang mendengar pasti bakalan terkencing-kencing sama pasukan milik Pak Ujang ini. Mungkin kalau jaman dulu Bung Karno ketemu sama sepuluh anak ini, Bung Karno sudah bisa mengguncang dunia.


Padahal ada cara yang lebih gampang daripada mesti ngumpulin sepuluh pemuda buat mengguncang dunia, cukup menunaikan shalat sunnah qobliyah subuh dua rakaat, jangankan perkara mengguncang dunia. Bahkan dunia dan seisinya bisa jadi milik Bung Karno semuanya, lengkap dengan Alfamart sama Indomaret di dalamnya.


Siangnya, tiba waktunya bagi anak-anak untuk lomba PBB. Waktu anak-anak tampil, saya inisiatif ikut mendampingi buat ngambil video PBB mereka. Mereka masuk ke arena lomba dengan mantap, berbaris dengan tegap.


Lalu, instruksi demi instruksi dari pemimpin regu mulai berkumandang.


Namun, perlahan-lahan gerakan anak-anak jadi miring-miring nggak jelas, gerakan kakinya nggak kompak, masing-masing berimprovisasi dengan kebingungan dan rasa tidak percaya dirinya.



Saya maju merekam anak-anak dengan penuh rasa tanggung jawab. Sampai pada suatu instruksi dari pemimpin regu yang berteriak, “Belok kanan! Jalan!”


Karena ini hanya satu baris, maka anak-anak mulai belok kanan, memanjang. Dengan irama kaki yang tidak harmonis. Satu anak, paling ujung mendaratkan kakinya di luar garis arena.


Lalu juri lombanya dengan merdu teriak. Yak... dis! Kaki keluar garis.” Suaranya terdengar bahagia sekali, seolah ini yang sudah juri nanti-nantikan buat segera mengakhiri baris-baris yang tidak harmonis ini.


Mereka didiskualifikasi sama jurinya sebelum sempat menyelesaikan baris-berbarisnya.


Saya yang lagi videoin mereka paling depan langsung mundur pelan-pelan, berusaha menyatu dengan alam agar tidak terlalu mencolok sebagai bagian dari mereka, mencoba pura-pura nggak kenal. Lalu segera menyelinap di kerumunan.


Sementara itu, Pak Ujang sudah nggak kelihatan sama sekali, sepertinya ide untuk menyatu dengan alam sudah diaplikasikan lebih dulu sama Pak Ujang. Pak Ujang sudah melarikan diri duluan melihat kesedihan performa anak-anak.


Saya membayangkan suasana depan tenda pagi tadi, penuh semangat Pak Ujang membakar semangat anak-anak. Lalu.....


“Yak, DISSSS.....”

Rabu, Februari 17, 2021

Hari Pertama di Sekolah Baru

Februari 17, 2021

Setelah terus-terusan berharap suatu hari nanti bisa kembali lagi ngajar di SD negeri. Tanggal sebelas Januari kemarin akhirnya resolusi saya jadi kenyataan. Saya resmi menginjakkan kaki di sebuah SD negeri yang lokasinya nggak terlalu bikin betis kaki merasa putus asa dan nggak bikin tangan sampe tremor karena megangin stang motor di atas jalan yang penuh bebatuan dan kenangan.


SD saya yang baru ini walaupun bentukannya cuma lurus aja nggak ada belokannya sama sekali, alhamdulillah mau-mau aja buat saya singgahi untuk ke depannya. Ya, kalau dipikir-pikir emang perjuangan saya buat masuk sekolah ini lumayan berdarah-darah juga. Walaupun pada akhirnya, ketika saya diputuskan untuk berangkat ke sekolah ini untuk pertama kalinya, ternyata saya deg-degan juga dengan segala macam pikiran-pikiran absurd.


Seperti misal, “Nanti kalau saya sampai sekolah, saya nyetandarin motornya standar samping apa standar ganda ya?” Atau hal-hal tidak penting lainnya, “Nanti saya pertama masuk kantor ngucapin salam dulu apa langsung teriak ‘SURPRIIIISSEEE...’ ya?”


“Saya masuk kantornya jalan mundur apa melata dari parkiran ya?”


“Saya pas ketemu sama kepala sekolahnya nanti kalau pas kebetulan diem-dieman suasana jadi canggung, inisiatifnya cerita tentang Nabi Yusuf apa Nabi Ibrahim ya? Ah.. tapi Nabi Ayyub juga kayaknya seru.”


***


Hari pertama berangkat, saya bangun pagi banget, mandi pakai seragam yang baru selesai dijahit lalu sarapan. Pertama kali tangan saya menggenggam sendok mau nyuapin ke mulut, mendadak tangan saya gemeteran parah. Nasi di sendok sampe goyang-goyang manja. Ah... ternyata saya benar-benar segrogi ini mau masuk ke tempat kerja yang baru.


Selanjutnya, saya langsung bergegas ngeluarin motor siap-siap berangkat biar nggak terlambat. Penuh pecicilan saya menerjang jalanan meski akhirnya terpaksa memelankan motor karena kondisi jalan raya yang ternyata banyak lubang. Heran aja sih, bisa-bisanya jalan utama kayak gini jalanannya bisa sampai rusak separah ini. Ah iya.... mungkin karena yang bisa lihat keadaan jalan ini hanya rakyat jelata saja.


Saya sampai di sekolah sekitar pukul tujuh kurang lima belas menit. Ekspektasi saya yang masuk ke kantor bilang assalamualaikum lalu teriak surpriseee... kandas. Parkiran motor masih sepi, belum ada tanda-tanda kehadiran guru lainnya.


Ketika saya masih terpaku, tiba-tiba datang mas-mas bawa sapu. Lalu menyapa, “Pak, guru baru ya? Monggo masuk dulu aja, Pak. Saya Tegar penjaga sekolah di sini.”


“Oh iya, Pak. Ini Pak Tegar yang dulu bukanlah yang sekarang apa bukan? Kenalin saya Pak Edot.” Saya merapikan pakaian lalu masuk melepas sepatu hendak masuk ke kantor.


“Eh Pak, Pak... ngapunten sepatunya dipakai aja, Pak. Nggak usah dilepas, nggak apa-apa.”


Duuuh.... Mas Tegar langsung menyadarkan saya kalau saya sekarang sudah berada di sekolah yang berbeda, bukan sekolah saya sebelumnya.


Di sekolah sebelumnya memang tiap masuk kelas atau kantor, sepatunya harus dilepas. Soalnya kalau pagi kelasnya dipakai buat salat dhuha, kalau siang buat salat dhuhur jamaah. Jadi, biar nggak kotor kalau masuk kelas sepatunya wajib dilepas.


Saya jadi salah tingkah sama Mas Tegar, ngerasa kampungan banget mau masuk ke tempat yang keramikan aja mesti lepas sepatu. Mungkin Mas Tegar jadi mikir, jangan-jangan saya kalau masuk ke Indomaret pintunya diketuk dulu, nunggu dibukain sama karyawannya.


Di dalam kantor guru, saya duduk termenung di ruang tamu, nunggu ada guru lain yang berangkat, berharap ketemu kepala sekolahnya segera buat nyerahin surat tugas lalu segera cerita tentang Nabi Ayyub.


Setelah menunggu cukup singkat, ibu kepala sekolah datang dan mulai bercerita panjang lebar tentang keadaan sekolah dan guru-gurunya. Alhamdulillah, saya jadi nggak perlu ngeluarin cerita tentang Nabi Ayyub buat mengisi kekosongan pembicaraan.


Ternyata, kehadiran saya di sekolah ini udah ditunggu-tunggu. Bahkan identitas saya mulai dicari, tanya kesana-kesini seperti apa bentuk Pak Edot yang sebenarnya di dunia nyata?


Ibu kepala sekolah cerita, kirain yang namanya Pak Edot ini orangnya kurus, masih muda, pasti bisa diandalkan dan berjiwa sesuai dasa dharma pramuka. 


Saya jadi nggak enak pagi-pagi udah bikin kecewa seorang ibu, karena ternyata yang namanya Pak Edot, berbadan gempal, berwajah kusam dan jauh dari jiwa dasa dharma. 


Sayang sekali, ibu kepala sekolah ini nggak tahu kalau kehadiran saya tidak akan banyak berguna untuk sekolah ini. Sebagai laki-laki yang gemar rebahan dan mudah mager, tentu saja sosok sebagai guru laki-laki yang diharapkan bisa gerak cepat kesana kesini nggak ada pada diri saya.


Saya sempat merasa terharu ketika kehadiran saya sudah ditunggu-tunggu di sekolah ini, kenyataannya saya memang sudah ditunggu buat ngajar anak kelas enam. Sebuah angka yang terdengar horor bagi saya.


Selama enam tahun jadi guru SD prestasi tertinggi saya hanyalah ngajar anak kelas empat. Paling sering ngajar kelas tiga. Lalu, tiba-tiba saya harus dihadapkan pada materi kelas enam, terutama matematikanya. Dengan catatan transkrip nilai semasa kuliah yang berbau matematika penuh dengan nilai C tentu saja ini akan menjadi beban hidup tambahan setelah beban tagihan-tagihan bulanan yang nggak selesai-selesai.


Meskipun terkejut, saya segera beristighfar dan menguasai diri mendengar kenyataan akan diberi tugas sebagai guru kelas enam. Saya hanya perlu ngejalaninnya sambil buka-buka materi lagi, kalau nggak paham masih banyak Youtube atau mentok berlindung ke aplikasi Brainly.


Jadi guru jaman sekarang kan nggak sesulit jaman dulu, kalau dulu ada yang nggak paham nggak bisa meminta pertolongan ke Google. Sekarang, tiap ada kesulitan bisa lari ke berbagai macam tempat pertolongan.


Ya... semuanya cuma tinggal dinikmati aja, kan. Nanti juga terbiasa dan nemu solusi sendiri dari kekagetan ini.

Jumat, Februari 12, 2021

Suatu Hari, CPNS 2014 di Kota Pati

Februari 12, 2021


Saya pertama kali ngerasain deg-degannya ikut tes CPNS waktu itu tahun 2014. Saya baru beberapa bulan jadi guru wiyata bhakti dengan gaji setara mengheningkan cipta, dan saya belum ada setahun lulus jadi sarjana.


Sebenarnya alam bawah sadar saya telah memvonis kalau jadi CPNS itu sebuah ujian hidup yang paling berat. Tingkat kesulitannya setara dengan makan tujuh permen milkita sambil berjalan di atas jembatan Shiratal Mustaqim.


Membayangkan harus mengerjakan seratus soal dengan berbagai ‘genre’ dalam waktu hanya sembilan puluh menit ditambah harus bersaing dengan berbagai macam lulusan S1 sejenis dari berbagai macam kampus yang kebanyakan lebih ternama dan menjanjikan. Itu semuanya bener-bener membuat saya stres. Saya udah kalah mental dulu sebelum bertanding.


Waktu itu, sistem seleksi CPNS belum ada tes SKB, Seleksi Kompetensi Bidang. Tes kedua yang harus dijalani setelah lulus tes Seleksi Kompetensi Dasar sesuai dengan bidang pilihan formasinya masing-masing. Waktu itu juga formasinya masih keseluruhan, jadi kalau ada formasi 70 guru SD. Tujuh puluh formasi itu diperebutkan oleh semua pendaftar formasi guru SD.


Beda dengan sekarang, yang formasinya udah ‘dipecah’ per sekolah, jadi misal daftar CPNS saingannya hanya dari pendaftar di sekolah yang sama.


Setelah info seleksi mulai menyebar ke segala penjuru, saya mulai mengamati satu per satu formasi PGSD di tiap kota. Kota Pemalang, tempat saya tinggal, nggak ada formasi sama sekali. Mau nggak mau saya harus mencari formasi di kota-kota tetangga, yang sayangnya jumlah formasinya minim, rata-rata nggak ada sepuluh. Jelas mental saya nggak sanggup harus bersaing dengan ‘entah’ puluhan atau ratusan pendaftar lainnya hanya untuk memperebutkan jumlah formasi yang nggak seberapa.


Setelah berkeliling dari satu kota ke kota lainnya, pilihan saya akhirnya jatuh ke kota Pati yang buka formasi kalau nggak salah sampai 72 formasi. Peluang yang cukup besar dibandingkan dengan kota lain.


Dengan kemampuan berpikir saya yang alakadarnya, saya merasa sedikit ada harapan, iya sedikit, untuk bisa mencoba peruntungan lulus CPNS di kota Pati.


Saya pun mulai mengurus berkas-berkas buat daftar yang ternyata cukup melelahkan. Karena masih dalam euforia pendaftaran CPNS. Kantor kelurahan, kecamatan sampai Disdukcapil semuanya penuh sesak sama pejuang NIP. Datang pagi pulangnya bisa sampai sore. Setelah bolak-balik mengurus berkas pendaftaran, saya pun resmi mengirim berkas lewat kantor POS dengan tujuan kantor BKD Pati.


Persoalan selanjutnya adalah bagaimana cara saya menginjakkan kaki di Pati saat tes CPNS nanti? Saya benar-benar buta tentang kota Pati. Sementara selama ini saya terdidik hidup dengan damai, sejak kecil jarang banget bepergian kemana-mana naik bus.


Saya juga orangnya pemalu, membayangkan harus berdiri di pinggir jalan buat nyetop bus yang lewat aja saya grogi. Apalagi pas udah duduk di dalam bus, terus harus berdiri mendekat ke pintu bus pas mau turun dan mesti teriak “kiri!”, ah... saya minder banget.


Mau naik motor sendirian, saya juga orangnya gampang keder kalau di jalan. Belum perasaan grogi yang nggak bisa hilang kalau sewaktu-waktu harus berpapasan dengan polisi kota lain. Saya was-was, khawatir tiba-tiba dipepet terus ditanyain, “Siapa Tuhanmu?!”


Solusi lainnya adalah ngajak teman berangkat bareng yang juga sama-sama daftar CPNS di kota Pati. Sayangnya, nihil. Teman sekota dan tetangga kota nggak ada yang daftar di Pati. Saya mulai menyesali keputusan mendaftar di kota Pati sekaligus menyesali betapa cemennya mental diri sendiri, baru mau berangkat tes di kota yang masih sama-sama Jawa Tengah aja kebingungan.


Otak saya terus menscreening nama-nama yang sekiranya bisa dijadiin teman buat berangkat ke Pati. Meskipun nggak daftar di sana, setidaknya ada yang mau diajak buat nemenin berangkat ke sana.


Sampai akhirnya, satu nama terpikir dalam benak saya, Dadang. Teman seangkatan beda jurusan di kampus. Pernah bareng di BEM Institut, dan pernah bareng ikutan lomba Stand Up Comedy yang diadain Mirai Ocha, dan kita-kita sama dapet juara di kampus sendiri.


Lelaki yang mirip Ki Joko Bodo waktu remaja ini juga sepertinya nggak sibuk-sibuk banget. Udah gitu, rumahnya juga nggak jauh-jauh banget. Saya di Pemalang, Dadang di Batang. 



Dengan penuh harap, saya pun mulai nyepik Dadang buat nemenin tes CPNS di kota Pati. Ternyata, tanpa jual mahal sedikit pun Dadang langsung mengiyakan ajakan saya. Dia hanya meminta buku saya yang Lelaki Gagal Gaul sebagai imbalannya. Ya... semudah itu~


Beberapa hari kemudian, setelah ketemuan di Semarang. Saya udah duduk di atas motornya Dadang dalam perjalanan menuju kota Pati. Nggak nyangka, bahkan Dadang memfasiitasi motornya dipakai buat jalan. Takjubnya lagi, Dadang ternyata menguasai rute perjalanan dari Semarang ke Pati.


Dadang benar-benar menjelma seperti malaikat yang dikirim JNE buat saya. Semoga Dadang melakukan kebaikan ini bukan karena cinta.


Kami sampai di Pati sekitar habis maghrib. Kami mencari lokasi tes dulu biar besok nggak gugup, setelah itu baru lanjut makan. Lalu destinasi berikutnya adalah mencari kos-kosan harian di sekitar lokasi tes.


Nyatanya, setelah muter-muter kesana kemari, yang terjadi adalah kos-kosan udah penuh dan nggak ada lagi rekomendasi kos-kosan yang dapat kami temui. Sementara hari udah mulai malam, badan udah mulai pegel karena perjalanan yang panjang dan sempat kehujanan juga. Saya khawatir besok pas tes jadi malah meriang dan nggak fokus.


Akhirnya, setelah mempertimbangkan berbagai macam kemungkinan, yang sebenarnya hanya ada dua. Antara tidur di masjid atau pom bensin. Kami pun sepakat untuk tidur di pom bensin. Sungguh tempat tidur yang nyaman sekali buat seseorang yang besok harus bertarung menghadapi ujian negara.


Setelah sampai di sebuah pom bensin pinggir jalan, kami mulai bersih-bersih diri. Lalu tiduran pasrah di sebuah musala kecil pakai tas yang dijadiin bantal. Sementara hari semakin malam, saya masih belum bisa memejamkan mata. Khawatir bakal ada orang iseng yang tiba-tiba dateng lalu ngambil barang pas lagi enak-enak tidur. Walaupun kayaknya tidurnya nggak bakalan enak sih.


Seolah memahami keresahan saya, Dadang tiba-tiba berkata, “Uwis Dot raksah khawatir, tinggal turu wae rapopo, persiapan nggo tes ngesok. Barang-barangmu aku sing jogo, aku ora turu, kalem”.


(Udah Dot, nggak usah khawatir, tinggal tidur saja, persiapan buat tes besok. Barang-barangmu aku yang jagain, aku nggak tidur, tenang.)


Ya Allah... Dadang So sweet banget, sambil mengangguk malu saya pun berusaha keras untuk tidur dengan alas lantai yang keras.


Lewat tengah malam, sayup-sayup saya mendengar ada suara beberapa motor berhenti. Kemudian ada beberapa laki-laki ikutan duduk di musala. Entah ada berapa orang, yang jelas lebih dari satu. Orang-orang ini kemudian ngajak ngobrol Dadang, tanya dari mana, kenapa pada tidur disini dan entah pertanyaan apa lagi saya nggak ingat. Sepertinya lumayan lama, mereka ngobrol.


Besoknya, Dadang cerita kalau sepertinya orang-orang semalem ada niat yang nggak beres. Matanya jelalatan ngamatin tas saya dan Dadang yang sebenernya isinya nggak berharga-berharga banget. Paling cuma sempak buat besok buat tes yang cukup berharga karena tinggal satu-satunya.


Untungnya, Dadang masih kuat melek, jadi aman. Walaupun kalau mereka terpaksa harus melakukan kekerasan dalam waktu satu detik kami udah nangis-nangis mohon ampun. Ya, mungkin mereka mengurungkan niat karena mengira Dadang beneran Ki Joko Bodo.


Paginya, saya mandi di pom bensin, pakai seragam putih hitam, lalu berangkat mampir buat sarapan dengan hambar di pinggir jalan, rasanya udah deg-degan nggak karuan banget, bahkan saya sampai ngerasa mules lagi, tapi terus saya sugesti kalau rasa mules ini hanya sesuatu yang fana.


Setelah sampai di lokasi tes, diiringi mengucap bismillah saya melangkah pasrah dengan rasa pesimis masuk ke tempat antri peserta CPNS. Dadang dengan senang hati membawakan tas saya, tak lupa berbisik good luck yang membuat saya semakin makin mules. Dalam hati saya merasa beruntung punya partner sepengertian Dadang disaat-saat seperti ini.


Sembilan puluh menit saya lalui dengan keringat deras dan deg-degan ekstrim. Meskipun tangan mendadak tremor, saya bisa menyelesaikan soal sebelum waktu habis. Tapi, tetap aja saya lebih memilih sampai waktu habis dengan sendirinya. Kemudian saya memejamkan mata, lalu mengintip layar monitor was-was melihat hasil nilai yang tertera.


352.


Dari nilai maksimal 500.


Wooow... nilai yang sangat alhamdulillah buat saya. Saya bangkit dari kursi tes dan melangkah dengan penuh kelegaan. Setelah menenangkan diri untuk beberapa saat, kami langsung pulang menuju Semarang.


Di perjalanan, ban motor Dadang sempat bocor yang membuat kami oleng mendadak di tengah jalan, untung di belakang nggak ada becak yang melaju dengan kencang. Dadang segera menepi dan sempat mau niup ban motornya pakai mulut, tapi saya cegah karena nggak tega. Beruntung, nggak harus dorong motor sampai berkilo-kilo, beberapa meter di depan ada tukang tambal ban seolah udah tahu banget bakalan ada motor bocor di sekitar sini.


Setelah menunggu sekitar satu jam, kami melanjutkan perjalanan dengan lancar tanpa kendala sampai Semarang. Lalu, saya mengucap terimakasih ke Dadang, kami pun berpisah lagi untuk melanjutkan jalan hidup kami masing-masing.


Hari-hari selanjutnya, saya mulai deg-degan menunggu hasil pengumuman CPNS. Beruntung website BKD Kab. Pati update terus hasilnya setiap hari, saya bela-belain ngecek nama pendaftar CPNS formasi PGSD satu per satu tiap nilai tes udah diupload di web BKD Kab. Pati. Saya tahu nama-namanya karena semua nama peserta pendaftar CPNS di Pati ditampilkan di website BKD. Saya masih cukup punya harapan dengan nilai yang saya dapat.


Selama beberapa hari, nama saya masih bertahan di tujuh puluh besar, sampai akhirnya nama saya terlempar dari tujuh puluh besar dengan mulus. Har--hari berikutnya banyak juga pendaftar formasi PGSD yang dapat nilai gede-gede banget, saya mulai pesimis tapi tetap berharap keajaiban terjadi saat pengumuman CPNS nanti.


Hasilnya, tentu saja sesuai dugaan. Saya gagal, dan menempati peringkat seratus empat dari empat ribu lebih pendaftar formasi CPNS. Yang bikin nyesek adalah, selisih nilai saya dengan nilai orang yang ada di urutan terakhir lulus CPNS hanya sepuluh poin, hanya jarak dua soal yang saya salah kerjakan.


Kalau dilihat lagi, nilai yang saya dapat, seandainya saya daftarnya di kota Pekalongan, Batang, Kendal bahkan Semarang dan sekitarnya, saya masih bisa lolos CPNS dengan meyakinkan. Yaah... kenyataanya emang nyesek banget, tapi kalau dipikir-pikir mau nyesek terus tiap hari juga percuma, yang namanya belum rejeki ya mau bagaimanapun tetap saja belum rejeki.


Saya jadi ngebayangin bagaimana nyeseknya orang-orang yang nilainya sama dengan batas minimal lulus CPNS di kabupaten Pati, tapi harus kalah karena perhitungan bobot nilai sesuai aturan. Balik lagi sama yang namanya belum rejeki. Mau ditangisin sampai guling-guling di jalan raya bikinannya Daendels juga tetep nggak akan mengubah keadaan.


Sampai suatu hari, saya jadi bersyukur karena waktu itu, pada tahun 2014 saya gagal lolos CPNS di Kota Pati.

Kamis, Februari 04, 2021

Jangan Percaya sama Penjual Netflix Garansi Selamanya di Shopee

Februari 04, 2021

Di masa-masa lebih banyak kerja dari rumah kayak gini, saya jadi lebih banyak waktu nganggurnya daripada sibuknya. Rutinitasnya juga udah jelas. Buka buku, lihat anak-anak materinya udah sampai mana, buka youtube, nyari video yang sesuai sama materinya, buka grup WA kelas, ngasih tugas sama video dari Youtube, terus... udah.


Nggak tau mau ngapain lagi.


Ya, terlalu banyak santai di rumah beneran bikin bingung mau ngapain, mau baca buku kadang harus nunggu mood dulu, mau bersih-bersih rumah juga harus nunggu mood dulu, mau ngerjain tugas sekolah lainnya, ya tugas apaan? Nggak ada tugas lagi.


Saya bisanya cuma dudukan bengong depan tivi, nonton apa aja yang nongol. Sampai akhirnya, saya kepikiran daripada cuma bengong-bengong nggak berguna kayak gini, mending saya nonton film di Netflix.


Awalnya sih, saya nggak terlalu antusias buat langganan Netflix. Saya bukan tipe orang yang hobi banget nonton film apalagi mantengin film seharian karena sebenernya saya lebih seneng baca buku daripada nonton film. Tapi berhubung kalau masih agak pagi, buka buku masih belum terlalu berhasrat dan seringnya nggak tahu mau ngapain, saya pun iseng-iseng nyoba langganan Netflix.


Persoalannya kalau saya beli langsung di Netflix, untuk orang yang hidupnya masih penuh perhitungan seperti saya, harga resmi dari Netflix sendiri masih lumayan mahal.


Apalagi saya sering lihat biasanya di Twitter banyak orang jualan akun Netflix dengan harga terjangkau di setiap thread yang lagi rame, bahkan sering ada yang nggak tahu diri, ada thread lagi berduka tetep aja pada semangat jualan. Nyari duit sampe segitunya.


Nggak susah sih, nyari orang yang jualan Netflix di Twitter, banyak banget orang yang nawarin dengan berbagai macam harga, cuma kalau diperhatikan lagi selisihnya emang nggak terlalu beda jauh. Setelah cukup lama mengamati, saya pun coba iseng-iseng nyari orang yang jualan Netflix di Shopee buat sekedar perbandingan.


Setelah saya search, ternyata di shopee jauh lebih banyak lagi yang jualan dan jauh lebih murah harganya. Contohnya, di Twitter kalau akun sharing sebulan rata-rata tiga puluh lima ribu, di shopee banyak yang jual cuma dua puluh ribuan.


Pas lagi scroll-scroll, saya nemu ada beberapa penjual yang jual Netflix selamanya. Iya, selamanya. Nggak sebulan, tiga bulan atau setahun lagi. Tapi selamanya. Netflix selamanya ini dijual dengan harga sangat murah, hanya sekitar tujuh puluh ribu rupiah. GIlaaaaaa...... Netflix selamanya dijual dengan harga cuma segitu, pantes aja pembelinya banyak banget, waktu saya lihat jumlah pembelinya udah sampai ribuan.


Tentu saja saya masih belum sepenuhnya percaya karena harganya yang nggak realistis banget, maka dari itu saya langsung menuju ke penilaian produknya dulu, dan pas saya lihat ternyata emang sebagian besar pembeli ngasih rating bintang lima, yang artinya pelayanannya emang keren dan jelas meyakinkan.


Sebenernya saya sih masih nggak sepenuhnya percaya, karena dilogika seperti apapun, rasanya nggak mungkin dengan hanya tujuh puluh ribu, bisa dapat langganan Netflix selamanya. Dibandingkan sama akun yang jualan sharing per bulan dengan harga termurah pun, tetap aja tujuh puluh ribu selamanya rasanya murah banget dan nggak masuk akal.


Dari deskripsi penjualnya sih mereka bilang pembayarannya pakai credit card, dan mereka punya cara sendiri biar lebih murah. Okelah, ngeliat reputasinya banyak yang puas saya pun coba order disini. Tentu saja dengan ekspektasi yang tidak terlalu tinggi. Saya yakin banget, ini nggak bakal selamanya, tapi saya sih mikir mungkin akun ini bisa bertahan sampai setengah tahunan, dan itu udah lumayan banget.


Begitu selesai, saya pun dapet email dan passwordnya. Lalu segera saya coba dan berhasil. Oke, awal yang bagus. Setelah itu saya sengaja nggak langsung ngasih ulasan. Iya.. sengaja, biar kalau suatu saat akun ini ternyata udah nggak bisa kepake, saya bisa langsung ngasih ulasan bintang satu kalau ternyata akun ini nggak selamanya.


Hari demi hari terus berlalu, akun Netflix ini masih terlihat baik-baik saja. Sampai suatu ketika saya iseng-iseng ngecek pengaturan di akunnya lalu ke pembayaran, ternyata akun ini bakalan berakhir langganannya pada tanggal 26 Januari. Oke, ini temuan yang bagus.


Saya bakal menikmati Netflix ini sampai tanggal segitu, dan setelah tanggal 26 berlalu saya bakalan segera cek apakah Netflixnya masih bisa dipake atau nggak. Bakalan perpanjang otomatis apa enggak.


Dan hasilnya... seperti yang saya duga, begitu tanggal yang tertera udah lewat. Akun Netflix yang saya beli udah nggak bisa kepake lagi, begini penampakannya.


Kampret banget! Saya sih nggak berharap beneran Netflixnya bisa selamanya, tapi kalau ternyata cuma bertahan sebulan kan ngeselin banget!


Seperti niatan saya dari awal, kalau ternyata akun ini udah nggak bisa kepake berarti sellernya niat nipu dan saya harus segera speak up ngasih ulasan bintang satu di lapak penjualnya. Tapiiii..... begitu saya udah siap-siap mau ngasih ulasan, ternyata...... saya udah nggak bisa ngasih ulasan! Penilaian produknya udah melewati waktu maksimal dari Shopee.


Akhirnya ya.... yaudah sih. Mau gimana lagi, ikhlasin aja.


Yah... ternyata dugaan saya bener, nggak mungkin ada akun netflix selamanya dijual semurah itu, dan kayaknya nggak ada juga Netlix yang bisa selamanya. Seenggaknya ini bisa buat dijadiin pelajaran. Setelah saya liat-liat lagi, presentase chat dari penjualnya pasti jeblok. Udah jelas, pasti banyak pembeli yang komplain dan nggak ditanggapin sama seller.

 


Fasih sekali menghujatnya, itu kalau bacanya pakai qolqolah pasti lebih bikin terharu


Saya ambil kesimpulan, dari sekian banyak ulasan bintang lima yang pada puas itu pasti karena mereka buru-buru ngasih ulasan saking bahagianya pada bisa akses Netflix. Saya yakin, mereka yang udah pada telanjur ngasih ulasan bintang lima, beberapa bulan kemudian pasti lagi pada sibuk ngirim chat ke penjualnya dan tentu saja..... nggak diurusin sama penjualnya karena penjualnya tahu mereka udah nggak bisa merubah ulasan bintang limanya.


Jadi buat kalian yang kebetulan nemu tulisan ini, jangan pernah percaya kalau ada orang yang jual akun Netflix ngakunya selamanya ya~~~

About Us

DiaryTeacher Keder

Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.




Random

randomposts