Setelah terus-terusan berharap suatu hari nanti bisa kembali
lagi ngajar di SD negeri. Tanggal sebelas Januari kemarin akhirnya resolusi
saya jadi kenyataan. Saya resmi menginjakkan kaki di sebuah SD negeri yang
lokasinya nggak terlalu bikin betis kaki merasa putus asa dan nggak bikin
tangan sampe tremor karena megangin stang motor di atas jalan yang penuh
bebatuan dan kenangan.
SD saya yang baru ini walaupun bentukannya cuma lurus aja nggak
ada belokannya sama sekali, alhamdulillah mau-mau aja buat saya singgahi untuk
ke depannya. Ya, kalau dipikir-pikir emang perjuangan saya buat masuk sekolah ini
lumayan berdarah-darah juga. Walaupun pada akhirnya, ketika saya diputuskan
untuk berangkat ke sekolah ini untuk pertama kalinya, ternyata saya deg-degan
juga dengan segala macam pikiran-pikiran absurd.
Seperti misal, “Nanti kalau saya sampai sekolah, saya
nyetandarin motornya standar samping apa standar ganda ya?” Atau hal-hal tidak
penting lainnya, “Nanti saya pertama masuk kantor ngucapin salam dulu apa
langsung teriak ‘SURPRIIIISSEEE...’ ya?”
“Saya masuk kantornya jalan mundur apa melata dari parkiran
ya?”
“Saya pas ketemu sama kepala sekolahnya nanti kalau pas
kebetulan diem-dieman suasana jadi canggung, inisiatifnya cerita tentang Nabi
Yusuf apa Nabi Ibrahim ya? Ah.. tapi Nabi Ayyub juga kayaknya seru.”
***
Hari pertama berangkat, saya bangun pagi banget, mandi pakai
seragam yang baru selesai dijahit lalu sarapan. Pertama kali tangan saya
menggenggam sendok mau nyuapin ke mulut, mendadak tangan saya gemeteran parah.
Nasi di sendok sampe goyang-goyang manja. Ah... ternyata saya benar-benar
segrogi ini mau masuk ke tempat kerja yang baru.
Selanjutnya, saya langsung bergegas ngeluarin motor siap-siap
berangkat biar nggak terlambat. Penuh pecicilan saya menerjang jalanan meski
akhirnya terpaksa memelankan motor karena kondisi jalan raya yang ternyata
banyak lubang. Heran aja sih, bisa-bisanya jalan utama kayak gini jalanannya
bisa sampai rusak separah ini. Ah iya.... mungkin karena yang bisa lihat
keadaan jalan ini hanya rakyat jelata saja.
Saya sampai di sekolah sekitar pukul tujuh kurang lima belas
menit. Ekspektasi saya yang masuk ke kantor bilang assalamualaikum lalu teriak
surpriseee... kandas. Parkiran motor masih sepi, belum ada tanda-tanda kehadiran
guru lainnya.
Ketika saya masih terpaku, tiba-tiba datang mas-mas bawa
sapu. Lalu menyapa, “Pak, guru baru ya? Monggo masuk dulu aja, Pak. Saya Tegar
penjaga sekolah di sini.”
“Oh iya, Pak. Ini Pak Tegar yang dulu bukanlah yang sekarang apa bukan? Kenalin saya Pak Edot.” Saya merapikan pakaian
lalu masuk melepas sepatu hendak masuk ke kantor.
“Eh Pak, Pak... ngapunten sepatunya dipakai aja, Pak. Nggak
usah dilepas, nggak apa-apa.”
Duuuh.... Mas Tegar langsung menyadarkan saya kalau saya
sekarang sudah berada di sekolah yang berbeda, bukan sekolah saya sebelumnya.
Di sekolah sebelumnya memang tiap masuk kelas atau kantor,
sepatunya harus dilepas. Soalnya kalau pagi kelasnya dipakai buat salat dhuha,
kalau siang buat salat dhuhur jamaah. Jadi, biar nggak kotor kalau masuk kelas
sepatunya wajib dilepas.
Saya jadi salah tingkah sama Mas Tegar, ngerasa kampungan
banget mau masuk ke tempat yang keramikan aja mesti lepas sepatu. Mungkin Mas Tegar
jadi mikir, jangan-jangan saya kalau masuk ke Indomaret pintunya diketuk dulu, nunggu
dibukain sama karyawannya.
Di dalam kantor guru, saya duduk termenung di ruang tamu, nunggu
ada guru lain yang berangkat, berharap ketemu kepala sekolahnya segera buat
nyerahin surat tugas lalu segera cerita tentang Nabi Ayyub.
Setelah menunggu cukup singkat, ibu kepala sekolah datang dan
mulai bercerita panjang lebar tentang keadaan sekolah dan guru-gurunya.
Alhamdulillah, saya jadi nggak perlu ngeluarin cerita tentang Nabi Ayyub buat
mengisi kekosongan pembicaraan.
Ternyata, kehadiran saya di sekolah ini udah
ditunggu-tunggu. Bahkan identitas saya mulai dicari, tanya kesana-kesini
seperti apa bentuk Pak Edot yang sebenarnya di dunia nyata?
Ibu kepala sekolah cerita, kirain yang namanya Pak
Edot ini orangnya kurus, masih muda, pasti bisa diandalkan dan berjiwa sesuai
dasa dharma pramuka.
Saya jadi nggak enak pagi-pagi udah bikin kecewa
seorang ibu, karena ternyata yang namanya Pak Edot, berbadan gempal,
berwajah kusam dan jauh dari jiwa dasa dharma.
Sayang sekali, ibu kepala sekolah ini nggak tahu kalau kehadiran
saya tidak akan banyak berguna untuk sekolah ini. Sebagai laki-laki yang gemar
rebahan dan mudah mager, tentu saja sosok sebagai guru laki-laki yang
diharapkan bisa gerak cepat kesana kesini nggak ada pada diri saya.
Saya sempat merasa terharu ketika kehadiran saya sudah
ditunggu-tunggu di sekolah ini, kenyataannya saya memang sudah ditunggu buat
ngajar anak kelas enam. Sebuah angka yang terdengar horor bagi saya.
Selama enam tahun jadi guru SD prestasi tertinggi saya
hanyalah ngajar anak kelas empat. Paling sering ngajar kelas tiga. Lalu,
tiba-tiba saya harus dihadapkan pada materi kelas enam, terutama matematikanya.
Dengan catatan transkrip nilai semasa kuliah yang berbau matematika penuh
dengan nilai C tentu saja ini akan menjadi beban hidup tambahan setelah beban tagihan-tagihan bulanan yang nggak selesai-selesai.
Meskipun terkejut, saya segera beristighfar dan menguasai
diri mendengar kenyataan akan diberi tugas sebagai guru kelas enam. Saya hanya
perlu ngejalaninnya sambil buka-buka materi lagi, kalau nggak paham masih banyak
Youtube atau mentok berlindung ke aplikasi Brainly.
Jadi guru jaman sekarang kan nggak sesulit jaman dulu, kalau
dulu ada yang nggak paham nggak bisa meminta pertolongan ke Google. Sekarang,
tiap ada kesulitan bisa lari ke berbagai macam tempat pertolongan.
Ya... semuanya cuma tinggal dinikmati aja, kan. Nanti juga terbiasa dan nemu solusi sendiri dari kekagetan ini.