Mati Gaya
Salah
satu hal yang paling bikin males buat saya adalah kalau harus dapet tugas buat
jadi perwakilan sekolah ikut kegiatan di kota lain.
Jujur aja, saya orangnya lumayan susah buat adaptasi di lingkungan baru, mencoba basa-basi sama orang yang baru kenal lalu ngobrol untuk beberapa waktu lamanya karena 'kebetulan' ada di tempat yang sama. Buat saya itu sesuatu yang sulit dan bikin nggak nyaman.
Sayangnya, hal seperti itu pernah saya alami dengan sangat nyata. Salah satu pengalaman yang bikin saya harus mati gaya berkepanjangan karena harus ikut pelatihan sebagai pembina pramuka siaga di kota Tegal.
Sebagai orang yang lebih hobi rebahan daripada banyak kegiatan, saya sama sekali nggak antusias dengan penunjukkan semena-mena ini.
Ya, saya ditunjuk buat mewakili sekolah karena memang nggak ada lagi yang bisa ditunjuk. Pembina Pramuka lain, udah dapet jatah masing-masing. Sekalinya ada yang tersisa, nggak bisa ditunjuk karena lagi hamil. Akhirnya saya pun pasrah buat ikutan kegiatan yang sebenernya nggak penting-penting banget.
Kegiatan ini sebenernya nggak cuma saya seorang yang ikutan. Tapi karena jenis kegiatannya banyak, maka masing-masing pembina harus berpencar ke berbagai tempat sesuai surat tugasnya.
Judulnya Persari, perkemahan satu hari. Menurut saya sih, acara ini agak mubadzir karena kegiatannya yang begitu singkat. Pagi hari dateng berdiriin tenda, siang kegiatan, sore udah dilepas lagi karena anak-anak kegiatannya kebanyakan di luar tenda, jadi tendanya lebih banyak nggak kepakenya.
Saya curiga kalau acara ini seperti sengaja ngerjain pembinanya yang udah niat-niat bikin tenda, sorenya udah harus dibongkar lagi terus berkemas pulang.
Setidaknya itu yang saya pikirkan ketika mendengar kata Persari. Kenyataannya ternyata jauh lebih manusiawi. Pagi dateng, anak-anak ternyata nggak bikin tenda tapi tidur di dalam kelas, karena mungkin takut anak-anak nanti pada masuk angin.
Cukup masuk akal karena kegiatan Persari ini dirancang buat anggota Pramuka siaga yang anggotanya kebanyakan kelas 3 dan beberapa kelas 4. Kebetulan sekolah saya mengirimkan dua regu, satu putra dan satu putri.
Sedangkan saya harus ikutan rombongan mereka naik bus ke kota Tegal sebagai pembina untuk ikut pelatihan, terpisah dengan rombongan mereka yang mau terjun di acara Persari.
Pertama kali saya menginjakkan kaki setelah keluar dari bus di sebuah sekolah menengah pertama kota Tegal, yang ada dalam pikiran saya adalah... Saya udah nggak sabar pengen pulang.
Jiwa saya bukanlah jiwa Pramuka sejati. Saya ikutan Pramuka karena emang jadi guru SD dan wajib buat jadi pembina Pramuka. Maka, ketika ada kegiatan Pramuka beneran semacam ini, hati kecil saya menolak keras. Saya lebih nyaman rebahan di rumah ngitungin jumlah napas sendiri seharian.
Ketika saya terpaksa berbaur dengan peserta lain yang berasal dari guru-guru SD dari berbagai macam kota. Lagi-lagi, aroma tidak nyaman menyeruak dalam hati. Saya nggak mudah langsung akrab dengan orang baru, ditambah dengan komposisi guru dari lingkungan ini.
Lingkungan yang saya maksud disini adalah begini, saya jelaskan sedikit.
Jadi, saya ngajar di SD swasta yang latar belakangnya Islam terpadu. Di mana sekolah dengan background Islam terpadu ini tersebar begitu banyak di berbagai kota. Dan setiap sekolah terpadu yang satu dengan sekolah terpadu lainnya berada dalam naungan yang sama, jadi wajar kalau sekolah ini sering bikin kegiatan yang mempertemukan sekolah Islam terpadu dari berbagai kota.
Sebagai guru yang tingkat religiusnya standar banget, saya merasa nggak berdaya kalau harus bergaul sama guru-guru senior seperti mereka yang kalau manggil sesama guru bukan "anda", "njenengan", atau "bapak" lagi, tapi “Antum” atau “Akhi” bahkan “Ustadz”. Padahal hafalan Juz Amma saya aja dari dulu masih banyak yang belum tuntas.
Hal ini diperparah saya nggak pandai kalau harus ngobrol dicampur dengan bahasa arab lainnya semacam Syukron, Afwan, Jazakallah, sampai Taqaballahu Minna Waminkum ya Karim.
Udah gitu, saya minder sepertinya jenggot saya sendiri yang masih cepak. Keliatan banget kalau saya masih noob di antara mereka.
Ketika pembagian kelompok, saya hanya manggut-manggut aja sok berbaur. Kemudian masing-masing kelompok langsung diminta mendirikan tenda. Saya pun berusaha ikut membangun tenda dengan menyumbang kehadiran, tanpa ada inisiatif membantu karena saya nggak jago bikin tenda. Ya, saya emang pembina Pramuka yang gagal.
Setelah tenda selesai, kami dikumpulkan buat diberi arahan tentang kegiatan selama di acara ini, sampai tibalah waktunya untuk makan siang, yang tentu saja makan siangnya dikumpulkan per kelompok dan ngambilnya di kelompok masing-masing.
Saya yang udah mulai kelaparan karena nggak ngemil dari pagi, mencoba mencari keberadaan di mana kelompok saya. Setelah mencoba mengidentifikasi wajah anggota yang baru saya kenal dan saya gagal, akhirnya saya sok cuek buat nanya-nanya ke peserta buat nunjukin di mana kelompok saya.
Begitu saya nemu orang-orang dari kelompok, tanpa ragu-ragu saya langsung sok akrab bertanya, “Permisi Tadz, ini kelompok sepuluh ya?”
“Oh iya, gimana?” kata salah satu laki-laki berpeci hitam yang sedang setengah rebahan dengan bantal tas punggung.
“Mau tanya ini Tadz, makan siangnya masih ada nggak ya, saya juga kelompok sepuluh.”
“Makan siang ya, masih ada nggak makan siangnya Akh?” bapak berpeci hitam itu menanyakan ke orang-orang di sebelahnya. Saya lihat salah satu orang di sebelahnya meraih bungkusan plastik besar dan merabanya. Kempes.
“Wah maaf Tadz, nasinya habis disini, coba ke panitia saja, ya.”
“Oh, habis ya ... iyaudah gapapa, tak ke panitia aja. Makasih ya, Tadz.”
Saya langsung buru-buru pergi sambil nahan malu. Gimana nggak malu? Dari pagi nggak pernah coba berbaur, sekalinya sok akrab cuma buat nanyain jatah makan siang, udah gitu habis lagi. Saya bener-bener ngerasa terasing banget.
Saya pun bergegas mencoba pergi ke tempat panitia, disitu ternyata rame banget karena panitianya juga buka stand jual aksesoris sama minuman es. Karena saya tahu bakalan berdesak-desakan kalau maksa minta jatah nasi makan siang. Akhirnya saya memutuskan untuk pergi keluar sekolah dan cari warung di pinggir jalan.
Sambil makan saya merenung, kayaknya saya nggak bakal bisa nyambung kalau harus berbaur sama peserta lainnya. Saya nggak bakal bisa di tengah obrolan nungguin momen yang pas buat ikutan nimbrung dengan topik bahasan mereka.
Saya ngebayangin obrolan mereka pasti seputar konflik di Palestina, sedangkan saya nyambungna malah konflik Galih Ginanjar ngomong bau ikan asin. Krik krik banget.
Setelah
makan siang, saya memutuskan untuk pergi jalan kaki ke sekolah SD tempat
anak-anak lagi pada ngadain Persari. Begitu masuk sekolah SD, kebetulan saya
malah nemu masjid yang lumayan adem. Akhirnya, saya malah ngadem di masjid
sambil main game Pokemon Go. Kebetulan di masjid itu ada gym yang bisa
ditaklukkin dan saya pun sabar nungguin pokemon pada muncul buat ditangkepin.
Sorenya, saya hanya dudukan di pinggir lapangan tanpa berniat ikut kegiatan yang entah lagi pada ngapain. Malemnya, setelah ikut kumpul di aula saya tidur di tenda dome yang dibikin sama Pak Yoyok, pembina satu sekolah yang ternyata “nganggur” karena dari pas berangkat tugasnya jadi pembina peserta lomba, ternyata pesertanya nggak perlu didampingi pas ikutan lomba.
Jadilah Pak Yoyok bebas tugas dengan indah, diam-diam saya iri. Lalu mencoba nawarin Pak Yoyok buat gantiin posisi saya jadi peserta pelatihan yang tentu saja ditolak dengan nikmat oleh Pak Yoyok.
Besoknya, ketika para peserta pelatihan 'ceritanya' lagi pada kegiatan hiking, saya memilih mengasingkan diri di warung depan sekolah. Sampai siang, sampai siap-siap pulang, saya sengaja nggak ikutan kegiatan. Iya, akhirnya saya bolos semua kegiatan...
Semua terjadi karena dari awal saya udah mati gaya duluan, nggak sanggup membaur, tertolak makan siang dari kelompok. Hingga akhirnya saya jadi ngerasa insecure sendiri dan memilih buat mengasingkan diri.
Beruntung acaranya cuma satu hari, bayangin kalau ternyata sampai seminggu, mungkin saya udah nyari tempat sepi buat bertapa, sampai tanpa sadar udah berubah jadi biksu.