Jumat, November 19, 2021

Novel The Million Faces - Serunya jadi PSA di Dubai~

November 19, 2021

Perkenalan saya dengan Mbak Ziwa, penulis buku The Million Faces ini berawal ketika saya diajakin Mbak Ayu (@kakipendek) dan Mbak Aul (@auliya.inrani) buat live IG ngomongin buku Diary Teacher Keder. Setelah obrolan yang nggak kerasa hampir satu setengah jam itu, tiba-tiba ada DM masuk dari cewek yang belakangan saya tahu namanya Mbak Ziwa, yang tertarik sama buku Diary Teacher Keder, tapi dikirimnya mesti nunggu dia pulang dulu. 


Dalam hati saya, ‘eh, pulang dari mana emang?’


Saya pun iseng kepoin IG-nya dan saya langsung shock waktu tahu Mbak Ziwa kerjanya di bandara, nggak tanggung-tanggung, bandaranya di Dubai. 


Gilaaa... keren bangeettt~ kira-kira di sana ada Alfamart yang sebelahan sama Indomaret nggak, ya?


Saya yang selama ini kerjanya cuma bolak-balik kerja dari rumah ke sekolah naik motor, itu juga sesekali mesti minum tolak angin karena masuk angin. Ngeliat kerja Mbak Ziwa yang urusannya sama pesawat berasa waah banget ngeliatnya.


Pernah tuh, Mbak Ziwa cerita kalau dia sempet-sempetnya naik pesawat ke Jakarta cuma buat ambil pete dan numpang pipis aja. Ya Allah... naik pesawat cuma buat ambil pete. Udah kayak naik ojek online aja.


Terus waktu lagi ngobrol masalah buku Diary Teacher Keder mau tak kirim kapan, Mbak Ziwa ngasih tawaran gimana kalau barter buku aja? Sebuah tawaran yang langsung saya setujui, karena waktu liat bukunya Mbak Ziwa dan baca blurb-nya saya juga penasaran sama dunia kerjanya Mbak Ziwa, seketika pengin order bukunya. Eh, malah

jadi win win solution dengan barter.

Beberapa waktu yang lalu buku The Million Faces akhirnya datang, Berhubung Mbak Ziwa masih di luar negeri, jadilah buku yang datang masih belum ada tanda tangannya. Mungkin nanti kalau pas Mbak Ziwa pulang dan saya kirim buku Diary Teacher Keder, buku The Million Faces bisa saya kirimin sekalian biar ditanda tanganin dulu, baru dikirim kesini lagi. Haha


Sebelum saya ngomongin bukunya, begini blurb-nya:

 

Ziwa Raisa, seorang perempuan Indonesia yang bekerja sebagai Passenger Service Agent (PSA) di United Arab Emirates. The Million Faces berisi tentang cerita-cerita Ziwa selama bekerja dan menetap hampir sepuluh tahun di UAE. Mulai dari pengalaman bekerja di perusahaan internasional dengan karyawan lebih dari 130 kewarganegaraan, hingga pertemuannya dengan banyak "wajah" di salah satu bandara tersibuk di dunia yang punya kisah unik tiap harinya. Sebagian bikin terkejut dan tak sedikit pula yang bikin makan hati.


Buku ini bergenre personal literatur, ngomongin tentang pengalaman Ziwa selama 10 tahun (waaah.. betah banget, hehe) lebih kerja di UAE sebagai Passenger Service Agent (PSA). Apaan sih, PSA ini? Dari penjelasan di awal buku ini, PSA bertugas menyediakan jasa yang proaktif, termasuk menyambut penumpang dan memberikan informasi mengenai suatu penerbangan, memproses lapor masuk yang efisien dalam perjalanan satu atau lebih penerbangan, memastikan penanganan bagasi yang akurat dan aman, bertanggungjawab atas proses embarkasi penumpang di pintu keberangkatan, bahkan terkadang merangkap sebagai kuli angkut barang atau sampah.


Cerita dimulai dari Ziwa yang waktu kecil pengin jadi dokter, tapi nggak kesampaian. Setelah lulus SMA Ziwa justru melanjutkan kuliahnya ke Malaysia. Hingga akhirnya begitu lulus, Ziwa diterima kerja di sebuah anak perusahaan maskapai. Sejak tahun 2011, sampai sekarang.


Ziwa banyak bercerita tentang keunikan, kelucuan, keresahan dari pengalamannya kerja jadi PSA selama 10 tahun. Karena kerja di bandara, udah jelas Ziwa jadi ketemu sama banyak orang dari berbagai negara, dengan beragam bahasa. Beda sama saya, yang udah kerja jadi guru selama tujuh tahunan, paling ketemunya sama anak-anak dari berbagai kecamatan dengan seragam yang sama.


Ziwa menemui banyak nama-nama unik, seperti orang Zimbabwe yang namanya banyak terinspirasi dari bahasa inggris. Seperti Blessing, Big Boy, Liberty, Precious sampa Rejoice. Dan ya, yang terakhir itu memang lebih dikenal kayak merek shampoo sih. Mungkin di pengalamannya Ziwa ke-15 tahun nanti, Ziwa juga bakalan ketemu sama orang-orang yang namanya: Pantene, Head & Shoulders bahkan Rose Brand. 


Eh, yang terakhir itu kayaknya lebih mirip merek tepung beras, ding.


Ziwa juga jadi sering ngeliat banyak orang yang kadang suka cuek sama penampilannya. Ada yang mau terbang pakainya cuma piyama, belum mandi, bahkan belum gosok gigi. Entah karena udah saking terbiasa terbang atau memang masa bodo amat.


Jujur, saya salut sama orang-orang yang bisa semasa bodoh ini. Saya yang kalau mau pergi wisata sama anak-anak naik bus mini aja udah persiapan segala macam dari setahun sebelumnya. Lah Ini orang naik pesawat bisa secuek itu, keren bangetlah. 😄😄


Pada lain kesempatan, ZIwa juga ketemu sama orang-orang ajaib dengan kekuatan super. Ada nenek Ethiopia lahiran tahun 1939, dengan santainya ngangkat bagasi yang beratnya 57 kilogram begitu saja dan nyerahin ke konter. Juga ada ibu-ibu hamil 30 minggu yang bawa bagasi seberat 40 kilogram, tapi bisa meletakkanya sendiri di belt.


Pokoknya banyak banget deh pengalaman unik Ziwa dengan orang-orang yang lalu lalang dalam kehidupannya selama di bandara.


Jujur saya salut sama Mbak Ziwa karena masih banyak ingat sama pengalaman-pengalaman serunya selama jadi PSA. Apalagi ada lumayan banyak dialog dari para penumpang yang diucapkan, dan Mbak Ziwa masih bisa menuliskannya dengan baik di sini. 


Beberapa hal yang cukup disayangkan dari buku ini adalah kalau buku ini dibaca sama orang yang kemampuan bahasa inggrisnya pas-pasan atau cetek banget. Pasti bakalan banyak mengernyitkan dahi dan khawatirnya bikin apa yang mau diceritakan di buku ini nggak sampai ke pembacanya. 


Hampir semua percakapan penumpang di buku ini ditulis dengan bahasa inggris.


Kemudian di buku ini juga ada beberapa cerita yang diakhiri begitu saja padahal saya masih berharap ada kelanjutannya bakalan seperti apa, seperti contoh gambar di bawah ini. 




Jadi dalam satu bab pembahasannya bisa ada beberapa pengalaman Mbak Ziwa. Tapi hal ini bisa dimaklumi karena emang sesuai dengan judul bukunya yang emang memotret begitu banyak wajah yang hadir di bandara.


Secara keseluruhan buku ini ringan dan seru banget. Tema yang diambil juga masih fresh, tentang pekerjaan sebagai PSA di sebuah bandara luar negeri, yang setahu saya, belum pernah ada yang bikin buku dengan genre ini. 


Sebagai orang yang belum pernah naik pesawat sama sekali. Membaca buku ini jadi bikin saya banyak bilang, ‘Oh...” 


“Oh, ternyata kalau hamil mau naik pesawat, mesti gini...”


“Oh, ternyata passport tiap negara bentuknya beda”



“Oh, ternyata orang luar negeri sifatnya ada yang sampai kayak gini.”


“Oh, ternyata ini sudah waktunya bayar cicilan Spaylater.”


Btw, ‘Oh..” yang terakhir itu, saya baru sadar kalau ini sudah mau ganti bulan.

Banyak hal baru yang saya dapatkan dari membaca buku ini. Tentang keramaian di bandara, bagaimana memandang pekerjaan sebagai PSA, tentang keunikan orang-orang dari berbagai negara juga dan masih banyak keunikan lainnya yang bisa ditemukan di buku ini.


Tadinya saya berharap buku ini bisa lebih tebal lagi, karena saking larutnya saya jadi nggak sadar tahu-tahu udah mau selesai saja. Saya masih penasaran sama yang bab perdagangan bebas. Apakah Mbak Ziwa ini cuma sekali saja ketemunya, atau ada cerita lain, terus bagaimana kelanjutannya? Seru aja sih, kalau baca langsung dari orang yang ngeliat langsung kejadiannya.



Saya sih berharap mungkin Mbak Ziwa bisa membuat buku selanjutnya, ngomongin keunikan rekan kerjanya, kekonyolannya atau hal-hal seru lainnya. Coba deh Mbak Ziwa, seru loh kalo ghibahin temennya sendiri. haha


Oh iya, mungkin Mbak Ziwa bisa lanjut nulis keseruan jadi PSA ini di sebuah blog. Saya yakin pasti banyak pembaca buku ini yang masih ingin baca pengalaman Mbak Ziwa lainnya.  


Nah.. buat kalian yang mau order buku ini, kalian bisa hubungi penulisnya lewat ig : @themillion.faces atau ke penerbitnya langsung @ellunarpublish_ 

Kamis, November 18, 2021

Komplotan Ghibah di Bukit Bintang, Guci

November 18, 2021

Momen bersejarah itu terjadi pada hari Sabtu kemarin, di mana para bapak-bapak keder akhirnya bisa pergi ngecamp bareng. Setelah bertahun-tahun lamanya wacana ngecamp terus bergulir dan realisasinya mangkrak, saya dan bapak-bapak lainnya yang biasa disebut Komplotan Ghibah akhirnya duduk berenam di dalam sebuah mobil menuju Bukit Bintang, Guci, Tegal. 


Sebenernya sulitnya merealisasikan acara ngecamp bareng ini tentu saja karena kebanyakan udah pada berkeluarga dan harus ngurus perijinan ke istri buat dilegalkan ikut ke acara ngecamp ini. Maka beberapa minggu sebelumnya, setelah tanggal berangkat ditentukan, para bapak segera memikirkan strategi terbaiknya biar dapat ijin dari istri buat ikut ngecamp.


Ironisnya, setelah semua istri para bapak menyetujui acara ini. Justru yang belum nikah yang nggak bisa ikutan. Pak Didi, nggak ikut karena dengan penuh semangat, atau mungkin lebih tepatnya dengan penuh keterpaksaan, masih sibuk mengerjakan kerjaan dari sekolah di hari Sabtu, yang seharusnya jadi hari libur buat Pak Didi.


Sungguh semangat yang tidak perlu untuk ditiru sama sekali. Ya, gimana, ya… udah ada jadwal kerja yang jelas, ngapain jadwalnya libur masih dipakai buat kerja. Udah gitu pas kemarin disamperin ke sekolah buat meyakinkan sekali lagi mau ikut apa nggak. Dengan tidak yakin, Pak Didi menjawab tidak ikut. Sedihnya adalah, waktu itu Pak Didi satu-satunya orang yang ada di sekolah, yang masih ngurusin kerjaan, sementara puluhan guru lainnya udah bersantai di rumah masing-masing.


Btw, itu Pak Didi kerja apa dikerjain? 



Mengingat ini sudah jadi pilihan Pak Didi, maka Pak Didi hanya bisa melepas kepergian kami dengan tersenyum dalam tangis.


Sementara Pak Faisol, udah mendeklarasikan nggak bisa ikut karena kakak ponakannya ada acara seserahan. Ya udah, dimaklumi deh~

Jadilah sore itu saya, Pak Azhar, Pak Ivan, Pak Ujang, Pak Zaka dan Pak Burhan berangkat dengan diiringi guyonan yang mulai ke-bapak-bapak-an dan ghibahin Pak Didi yang nasibnya cukup tragis, dari dulu paling semangat gembar-gembor mau ngecamp, eh pas mau berangkat malah dia sendiri yang nggak ikutan, alesannya kerja. Malang sekali~


Kami sampai di bukit bintang sekitar pukul empat sore, nyari tempat yang cocok buat mendirikan tenda, lalu mulai bongkar barang-barang di dalam mobil. 


Baru dateng

Urusan segala macam perlengkapan ngecamp memang nggak perlu dikhawatirkan karena Pak Azhar udah siap sedia semuanya. Bahkan saya nggak nyangka kalau ternyata tendanya Pak Azhar bisa sebagus itu. Jauh diluar ekspektasi saya, yang saya kira tendanya bakalan seperti tenda kemah anak sekolah, yang kalau kena hujan, langsung pada bubar tidurnya pindah ke kelas masing-masing.


Sebenernya saya agak was-was mesti ikut ngecamp begini, soalnya dulu saya pernah nginep juga di guci waktu acara sekolah dan acara kampus, dua-duanya berakhir dengan hal yang mistis buat saya. Gara-gara ini saya sampai kapok dan mantap nggak bakalan nginep-nginep lagi di guci. 


Desakan dari bapak-bapak tiap hari yang nggak pernah berhenti buat ngajak saya ikutan dan meyakinkan saya kalau nggak akan terjadi apa-apa, akhirnya membuat saya meyakinkan diri buat ikut. Udah gitu, meskipun bapak-bapak ini menyandang status guru di sebuah sekolah islam, tapi saya juga nggak terlalu yakin kalau mereka ini ilmu agamanya bisa diandalkan, membuat saya jadi sedikit was-was, kalau-kalau nanti terjadi sesuatu.


Setelah selesai mendirikan tenda, beberapa saat kemudian hujan mulai turun. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain dudukan di dalam tenda, ngemil makanan yang sudah dibeli pas mampir di indomaret pinggir jalan.


Beberapa saat kemudian, kami lanjut nyeduh makanan wajib anak-anak yang lagi berkemah, yaitu Pop Mie. Lagi-lagi Pak Azhar sudah menyiapkan kompor kecil dan gas portable yang memang biasa digunakan buat ngecamp kayak gini.


Selepas isya, hujan mulai berhenti dan kami bisa membuat api unggun. Membakar jagung yang sudah dibawa Pak Azhar dari rumah, meskipun hasil akhirnya cukup menyedihkan karena jagungnya beneran gosong semua gara-gara bakarnya di dalam api unggun sambil tetap diiringi jokes ke-bapak-bapak-an. Contohnya seperti ini:


“Di rumah sakit jiwa nih, ada beberapa pasien lagi main tebak-tebakan. Pasien pertama menggerakkan tangannya seperti menangkap sesuatu. Terus bilang ke pasien sebelahnya, ‘Coba tebak nih, yang di dalam tanganku ini apa?’, tanpa kesulitan pasien kedua menjawab, ‘Ah, itu sih gajah~’. Pasien pertama jawab, ‘Ya iya tau, ini gajah.. tadi kamu ngintip siiiih.”


Bapak-bapak ini langsung pada ketawa ngakak. Terus ada lagi,


“Kemarin nih saya ngeliat ada kucing di jalan, kepalanya gundul, kasian banget… tak kasih makan daging nggak mau, tak kasih makan ikan juga nggak mau. Eh ternyata baru sadar ini kucing biksu, makannya sayuran. Pantesan kepalanya juga gundul”


Kami ngakak bareng-bareng.


Acara gigit-gigit jagung berjalan dengan genjrengan gitar Pak Zaka yang memang biasa main gitar sambil jadi manusia silver. Diiringi suara Pak Ujang yang emang udah biasa manggung sebagai anak band tarbiyah, juga Pak Azhar yang berusaha ikutan nyanyi meskipun suaranya terdengar nggak tahu diri. 


Sementara Pak Ivan, muter-muter entah kemana. Mungkin karena terlalu bahagia, selama ini hidupnya jarang banget pergi-pergi karena susah dapat izin dari istri. Sedangkan Pak Burhan teronggok tidak berguna di dalam tenda sambil telpon-telponan sama pacarnya, maklum sih sekian lama hidup baru kali ini ada yang khilaf sama Pak Burhan. Sedangkan saya, sedang sibuk gegoleran di dalam tenda berpikir keras mau ngapain.


Dari sekian banyak peristiwa biasa-biasa saja yang terjadi, mungkin yang paling konyol adalah ketika jam sebelas malam bapak-bapak ini udah pada ambil posisi buat tidur. Sesuatu yang disesali keesokan paginya karena ngapain ngecamp jauh-jauh eh malah pada tidur gasik~


Kesannya malah jadi seperti anak SD yang lagi ikutan Persami, Perkemahan Sabtu Minggu, tidurnya gasik, terus besoknya bongkar tenda, pulang. Seninnya ijin nggak berangkat alasannya kecapean.


Bedanya acara ngecamp sama persami anak SD ini paling malamnya nggak ada acara renungan malam, sama nggak ada kakak pembina atau guru yang suka teriak, “Deek, tidur deeek~”


Paginya, setelah salat subuh sekitaran jam lima pagi, bapak-bapak ini udah mulai pada sakau nyari colokan buat ngecas HP-nya. Untung nggak jauh dari tempat ngecamp ada tempat makan yang konsepnya terbuka dan ada beberapa colokan nembel di tiap tiang penyangga.



Sambil nikmatin sepiring jagung rebus dan kopi hitam dari gelas botol Le Minerale yang dipotong jadi dua kami ngomongin banyak hal, hebatnya.. kami sama sekali nggak menyinggung keresahan di dunia kerja. Kami nggak mau seperti Pak Didi yang malang.


Sekitar pukul enam, owner Bukit Bintang ini datang. Seorang ibu-ibu yang terlihat ramah. beliau bercerita kalau Bukit Bintang ini adalah ide dari anak pertamanya, yang emang suka ngecamp juga. 


Konsep Bukit Bintang dibuat seperti negeri khayalan. Tapi ya itu, menurut saya jadi terlalu kekinian, nggak bener-bener pas sama konsep di pegunungan dengan spot foto yang dibuat ‘instagramable’. Kalau untuk pemandangan alam sekitarnya sih jangan ditanya, emang bagus banget view daerah pegunungannya.






Setelah puas foto-foto, kami membongkar tenda, walaupun lebih tepatnya mereka membongkar tenda, dan saya melihat mereka membongkar tenda. Ya, sesuai dengan kata pepatah yang saya pegang teguh, “Tetaplah hidup, meskipun tidak berguna.”




Selesai packing, kami keluar dari Bukit Bintang, berkeliling mencari tempat pemandian air panas yang semoga sepi pengunjung dan semoga tiket masuknya terjangkau. Setelah berkeliling Guci dan dibikin takjub dengan keramaian yang luar biasa, karena hari Minggu. Beruntung, pada akhirnya kami ketemu dengan Hotel Sun Q Ta. Bukan buat nginep sih tapi cuma numpang renang. 


Tempatnya memang nggak sekeren Guci-Ku yang luas banget. Hanya ada dua kolam renang, buat dewasa dan anak-anak, tapi cukup luas sih. Buat menuju ke kolam renang ini juga harus melewati puluhan anak tangga yang cukup melelahkan buat yang jarang olahraga. 


Tiket masuknya terjangkau, cuma dua puluh ribu rupiah per orang. Jadilah kami semua nyemplung di sini. Beruntungnya lagi, meskipun hari Minggu kolam renangnya bisa dibilang sepi, hanya ada beberapa pengunjung lain yang berenang.


Sekitar satu jam kemudian, selesai berenang, seperti bapak-bapak kampungan kebanyakan. Kami nggak langsung bilas, tapi nyeduh pop mie di pinggir kolam renang. Dengan kompor mini Pak Azhar yang dibawa turun, nggak ada yang mustahil buat sekedar ngrebus air panas dengan diselingi obrolan-obrolan tidak berguna.


Begitu selesai makan Pop Mie, satu per satu bapak-bapak mulai menuju tempat buat bilas dengan mengedepankan etos joinan sabun dan shampo. Kami lanjut menuju perjalanan pulang dan mampir di rumah istri Pak Zaka buat ditraktir seblak.


Entah apa yang ada di pikiran Pak Zaka, ketika bapak-bapak ini pada minta makan di rumahnya. Mau nggak diturutin nggak enak, kalau diturutin uang bulanan bisa cepet habis gara-gara nraktir bapak-bapak ini. Tapi ya, itu urusan rumah tangga Pak Zaka sih, yang penting kami bisa menghemat anggaran untuk makan siang. Yang sebenernya, anggaran makan siang udah habis, bahkan minus.


Ngecamp di Bukit Bintang ini memang bisa dibilang termasuk fenomena alam yang sangat jarang terjadi. Karena emang buat bisa merealisasikan acara ini aja butuh waktu bertahun-tahun. Dari jamannya saya, Pak Azhar dan Pak Zaka masih bareng di sebuah SDIT. Sampai akhirnya udah pada keluar dari sebuah SDIT hampir setahun, acara ini baru kesampaian. 


Setelah semuanya udah sampai di rumah masing-masing, mulai muncul wacana lagi buat ngecamp edisi selanjutnya. Sungguh sebuah wacana yang tingkat meragukannya hampir mendekati 100%. Sementara itu, Pak Didi dengan lantangnya balesin chat siap ikut untuk edisi selanjutnya. Kami semua kompak tidak percaya. Memang sebaiknya Pak Didi terus bekerja saja.

Sabtu, November 06, 2021

Sebuah Pesan yang Seketika Bikin Lemes

November 06, 2021

Malam itu, sehabis maghrib, ditemani dengan segelas kopi sachetan yang rasanya sedikit hambar karena airnya kebanyakan, tumben-tumbennya saya udah duduk di depan laptop. Asik nulis buat stok postingan blog. 


Namun baru nulis sekitar tiga paragraf, smartphone saya bergetar, ada sebuah pesan WhatsApp yang masuk di grup Komplotan Ghibah. 


Meskipun saya tahu presentase pentingnya chat tersebut hanya sekitar 1%, selebihnya hanya kegabutan yang diciptakan oleh bapak-bapak di dalamnya. Nyatanya, saya tetap berhenti nulis sebentar dan memilih membuka chat tersebut.


Sebuah pesan dari Didi, yang ketika saya baca ternyata sanggup membuat tubuh serasa nggak bertulang. Badan mendadak lemas nggak bertenaga.


Malam itu ada kabar duka, salah seorang teman yang bareng di grup CPNS dikabarkan meninggal dunia. Saya langsung merespon cepat membalas pesan tersebut.


“Kue temenan ora ndesss?” (itu beneran nggak, Ndesss?)


“Mbuh.. makane aku takon namane bener ora, kue aku entuk kading grup operator sekolah” (Nggak tahu, makanya akau nanya namanya bener nggak? Itu aku dapet dari grup operator sekolah)


Untuk memastikan namanya bener apa nggak, saya langsung cek website BKD kota Pemalang dan men-download kembali pengumuman seleksi CPNS tahun 2019. Begitu selesai, langsung saya search nama yang dimaksud dan ternyata nama lengkapnya sama. Saya semakin lemes.


Berikutnya, chat dari Pak Azhar masuk menambahkan informasi kalau nama yang dimaksud ini udah keluar dari berbagai grup CPNS yang diikuti. Ini semakin mempertegas kalau nama tersebut memang benar-benar meninggal dan pihak keluarga mengeluarkan dirinya dari berbagai grup di WhatsApp.


Mood nulis saya seketika hilang. Membayangkan betapa yang namanya umur beneran nggak ada yang tahu. Sebut saja Pak Norman. Pada usia yang tergolong masih muda, masih menjalani masa-masa CPNS-nya, harus meninggalkan dunia selamanya.


Saya langsung mengingat segala kebaikan Pak Norman selama mengenal beliau. Waktu masih jamannya berjuang di tes CPNS dulu. Pak Norman adalah orang yang paling rajin nge-share soal latihan CPNS. Paling antusias ngajakin kumpul-kumpul belajar bareng, walaupun kenyatannya... pada akhirnya hanya satu dua orang yang datang.


Selama menunggu proses tes Seleksi Kompetensi Bidang, tes yang dilaksanakan setelah lulus dari tes Seleksi Kompetensi Dasar. Lagi-lagi Pak Norman membuat grup WhatsApp untuk mempermudah komunikasi. Rajin memberi motivasi setiap hari yang kalau dipikir-pikir, kata-kata motivasinya tidak menambah semangat hidup sama sekali. 


Membayangkan Pak Norman yang begitu cepat harus meninggalkan dunia. Dalam hati saya berkata, “Ya Allah.. padahal bentar lagi udah mau setahun, udah mau 100% jadi PNS. Kalau masih CPNS gini berarti Pak Norman nggak dapat uang pensiun dong nantinya. Pak Norman kan juga belum nikah.” 


Masih dalam hati, saya melanjutkan, “Padahal Pak Norman juga udah selesai ikutan Pendidikan Profesi Guru. Tinggal nunggu 100% PNS, ngurus jabatan fungsional, Pak Norman harusnya udah bisa dapat sertifikasi. Gajinya udah dobel. Sayang banget.. Padahal Pak Norman ini termasuk guru yang juga aktif dan semangat.”


Sambil nunggu konfirmasi lebih jelas dari Didi di grup operator sekolah terkait penyebab meninggalnya Pak Norman. Saya mendadak muhasabah terhadap diri sendiri.


Membayangkan kalau selama ini saya masih banyak lalai, masih banyak dosa, ibadahnya kurang kenceng juga harus ngurangin ghibah yang tidak berguna.


Tapi kayaknya yang terakhir saya sebutkan tadi memang jadi sesuatu yang sepertinya paling sulit untuk diubah.


Bagaimanapun juga, berghibah memang udah menjadi sifat dasar manusia. Saking nikmatnya berghibah, bahkan kalau kita makan nasi putih lauknya ‘ghibah sama temen-temen’ mungkin rasanya jauh lebih nikmat dari lauk 4 sehat 5 sempurna.


Sebuah pesan dari Pak Zaka di komplotan ghibah masuk, isinya ‘innalilahi wa innalilahi rojiun.’


Saya pun membalas, “innalilahine simpen ndisit, Jek. Ngenteni kabari fix, angger wes ngko dewek innalilahi bareng-bareng” (innalilahinya simpan dulu, Jek. nunggu kabarnya fix. Kalau nanti udah fix, kita innalilahi bareng-bareng)


Yang kemudian dibalas, “ya.. arane palanga rah,” (Ya.. namanya juga jaga jaga-jaga)


Saking penasarannya dengan berita kematian ini, akhirnya saya langsung nelfon Pak Norman berharap dapat kejelasan. Kalau misal nggak diangkat ya wajar... Pak Norman kan udah meninggal. Tapi sapa tau, ada anggota keluarga yang bisa mengkonfirmasi berita ini. Meskipun saya agak ragu bakalan diangkat atau nggak karena pihak keluarga pasti masih dalam suasana berduka.


Kemudian Pak Azhar berinisiatif untuk menanyakan berita ini di grup CPNS kecamatan Pemalang. Berharap ada kejelasan perihal berita Pak Norman ini. Dan, nggak butuh waktu lama, ada sedikit titik terang dari Pak Dedi, teman CPNS satu sekolahnya Pak Azhar kalau katanya sebenarnya ini cuma ngerjain.


Bentar.. bentar.. ngerjain? Ngerjain siapa dong?


Simpang siur informasi ini akhirnya tercerahkan oleh kiriman foto dari Bu Hermin, salah satu anggota grup yang mengatakan kalau udah ada yang datang ke rumah Pak Norman langsung dan Pak Norman ‘ternyata’ masih hidup.


ASDFGHJKL@#$%&($($=×^


GILAAAAAA... BACANYA CAMPUR ADUK ANTARA KESEL SAMA LEGA.


Kesel karena ‘Kampreeet... ngapain sih bercanda pakai innalilahi-innalilahi segala?’


Lega karena, ‘untung deh ternyata orangnya masih hidup’


Walaupun saya jadi mikir, ‘Yah besok nggak jadi ijin keluar dari sekolah lebih cepet dengan alasan mau takziah dong’ 😄


Setelah diusut, jadi ternyata, Pak Norman ini niatnya mau ngerjain ayang bebnya dengan mengirim pesan yang mengabarkan kalau dirinya meninggal dunia. Entah gimana ceritanya, mungkin ayang bebnya ini terlalu shock sampai akhirnya menyebarkan berita duka tadi ke grup yang lain. 


Terciptalah kehebohan seperti cerita di atas..


Walaupun lega, tapi malam itu saya banyakan keselnya sih.. karena ya, kalau niatnya ngerjain pun, itu nggak lucu banget. 


Mesti pakai drama ngabarin dirinya meninggal segala. Padahal masih banyak bercandaan yang lebih pantas lainnya. Pak Norman tiba-tiba diculik alien, Pak Norman tiba-tiba kehilangan ingatan, atau Pak Norman ternyata selama ini adalah Power Rangers Biru misalnya.


Sebenernya yang lebih ngeselin adalah saya udah lemes-lemes denger berita duka, sampai mood nulis langsung anjlok, eh ternyata cuma kerjaan orang bucin. Padahal buat bisa dapat mood nulis yang bagus itu nggak gampang. Bahkan bisa dibilang ini termasuk fenomena alam yang jarang terjadi.


Beberapa hari kemudian, Pak Norman ngirim pesan ke salah satu admin grup CPNS minta dimasukin lagi ke grup tanpa merasa bersalah sama sekali. Yah, kan… sok-sokan keluar sendiri ujung-ujungnya minta dimasukin lagi. 


Intinya sih, apapun alasannya, seusil apapun niatnya, sebucin apapun hidupnya… bercanda dengan kematian itu bener-bener hal yang nggak lucu sih. Karena emang yang namanya umur itu bener-bener nggak ada yang tahu.  

Senin, November 01, 2021

Yang Terjadi Setelah 10 Tahun Ngeblog

November 01, 2021

Sebenernya, tulisan ini niatnya mau dipublish bertepatan dengan hari blogger nasional yang jatuh pada tanggal 27 Oktober kemarin. Tapi namanya juga manusia, hanya bisa berencana tapi malas merealisasikan.


Tulisan ini mungkin akan menjadi tulisan yang ‘cukup’ panjang. Ehm, jadi gini...


Kalau ada sebaik-baiknya tempat berbagi cerita dan berbagi keluh kesah, jawabannya adalah blog ini. Ya, nggak kerasa ternyata udah sekitar sepuluh tahun saya ngeblog. Walaupun nggak tahu tepatnya kapan sepuluh tahun itu saya alami. Yang jelas saya masih selalu ingat bagaimana saya memulai untuk membuat blog ini.


Saya mulai membuat blog ketika masih kuliah di semester lima, waktu itu masih jam perkuliahan, salah satu teman saya, Imam, mengutak-atik komputer kelas yang terhubung ke LCD dan tiba-tiba memamerkan blog pribadinya. Meskipun isinya hanya seputar copy paste makalah-makalahnya yang palingan juga copy paste dari makalah temennya. Dalam hati saya kagum, “gilaa... keren banget bisa punya blog, gimana cara bikinnya tuh?”


Bukannya mengungkapkan kekaguman saya terhadap blognya Imam, saya justru nyeletuk, “Apaan sih, Mam... alay banget!”


Imam pun meringis sambil buru-buru menutup blognya. Ternyata Imam cukup tahu diri juga.


Beberapa hari setelah peristiwa Imam pamer blog, saya coba dekati Imam dan tanpa tahu diri malah minta diajarin bikin blog. Berhubung Imam memang anaknya nggak dendaman, dengan senang hati dia ngajarin saya buat bikin blog untuk pertama kalinya.


Setelah blog berhasil saya buat, yang saya lakukan bukanlah segera mengisi blog tadi dengan tulisan tapi ngutak atik blog saya terus menerus. Betapa bangganya saya waktu itu bisa punya blog sendiri, maka saya mencoba mendesain tampilan blog dengan sekeren mungkin.


Setiap hari saya buka tutorial-tutorial seputar ngeblog. Mulai dari masang musik di blog, bikin font judul jadi kelap-kelip, dikasih kalender, dikasih jam dan lain-lain. Waktu itu, semakin blog saya kelihatan rame, blog saya jadi semakin bagus.


Awalnya saya mengisi blog saya dengan puisi-puisi yang pernah saya bikin sendiri. Puisi yang tentu saja kalau dibaca di waktu sekarang ini bikin mata meleleh dalam artian meleleh yang sebenarnya, alias eneg banget Ya Allah ~~~


Ibarat orang yang pengin sok-sokan puitis tapi nggak pas sama wajahnya. Jatuhnya malah kayak Jamet Kudasai lagi nonjokin pohon pisang yang nggak bersalah.


Saya sempat meninggalkan blog sendiri cukup lama karena lama-lama bosan sendiri, cuma gitu-gitu aja. Sampai akhirnya saya ketemu sama Stand Up Comedy-nya Raditya Dika yang gilaa~ lucu bangettt!. 


Saya pun mulai berubah haluan sebagai blogger puitis jadi blogger  yang berharap lucu. Btw, saya sebelumnya udah baca buku-bukunya Radit tapi ngerasa belum bisa nulis panjang satu sampai dua halaman word buat dipublish ke blog.


Tapi sejak ngeliat Stand Up-nya Raditya Dika, saya mulai kembali untuk ngeblog, dan mencoba untuk menulis dengan lucu. Padahal waktu itu, saya nggak punya skill menulis sama sekali, saya nggak paham dengan aturan penulisan yang ada dalam bahasa Indonesia. Yang saya tahu, saya cuma pengin nulis absurd aja, syukur-syukur bisa selucu Raditya Dika.


Tulisan demi tulisan saya publish di blog dan menganggap kalau saya beneran udah bisa nulis lucu (yang kalau dibaca sekarang, lagi-lagi bikin mata meleleh dalam arti meleleh yang sebenarnya). Bisa dibilang, apa yang saya lakukan waktu itu adalah karena saya suka. Ya, padahal sebelum-sebelumnya, saya nggak pernah terbiasa nulis, sekedar mengarang cerpen satu lembar dua lembar aja nggak pernah.


Salah satu hal yang saya nggak habis pikir adalah bagaimana mungkin waktu itu saya bisa begitu pede kirim link tulisan saya di blog ke teman-teman lewat chat Facebook, meminta mereka membaca tulisan saya. Benar-benar rasa percaya diri yang luar biasa, dibandingkan dengan saya sekarang, yang mau share postingan blog saya di Facebook aja mesti mikir berkali-kali dulu.


Semakin hari, saya semakin keranjingan ngeblog. Bahkan dengan pedenya saya pernah ghibahin dosen sendiri di blog. Apesnya, dosen tersebut baca tulisan saya dan nggak terima. Saya dipanggil ke ruang dosen dan ditunjukkan print out tulisan blog saya. Hari itu, saya dimarahi habis-habisan di ruang dosen.


Satu tahun kemudian, dosen tersebut juga yang menjadi dosen pembimbing skripsi saya, setelah di postingan saya yang waktu itu pernah meninggalkan komentar dengan kalimat yang tidak akan pernah saya lupakan, “semoga selamat sampai wisuda.”


Tapi saya bersyukur, karena nyatanya dosen tersebut benar-benar membimbing dan nggak pernah mempersulit saya.


Semakin lama ngeblog, saya mulai mencari-cari komunitas blogger di Facebook. Dari beberapa grup blogger yang saya masuki, kebanyakan dari mereka hanya nyampah link aja, nggak ada interaksi dari setiap anggotanya.


Sementara itu, skill ngeblog saya semakin bertambah. Walaupun ya, cuma bertambah buat bisa ganti template blog bawaan blogger ke template download-an. Saya pun menjelma menjadi blogger ababil yang hobi banget gonta-ganti template.


Ilmu ngeblog yang saya pahami lainnya lagi adalah pentingnya blogwalking. Berkunjung ke blogger lain dan meninggalkan komentar di sana. Dengan begitu, blogger lain rata-rata melakukan hal yang sama, berkunjung balik dan meninggalkan komentar.


Dan, ya... ketika awal-awal mendapat komentar dari orang lain di postingan blog sendiri itu rasanya benar-benar bahagia banget~


Bahagia beneran bisa sesederhana itu, saya merasa, “Waaah... tulisan saya ada yang baca! Saya harus rajin menulis lebih banyak lagi!”


Saya juga mulai memikirkan untuk membuat domain dot com. Tentunya biar lebih keren dan lebih eksklusif. Jadi, domain pertama saya waktu itu adalah www.edotherjunot.com, namun karena kebodohan saya yang nggak tahu kalau domain blog itu harus diperpanjang sebelum jatuh tempo. Domain blog saya yang itu akhirnya expired.


Definisi nyesek pun ternyata juga bisa sesederhana itu, domain blog expired dan nggak bisa diperpanjang lagi. Nggak mau terlalu lama larut dalam kesedihan, saya mencoba bangkit dan memikirkan nama lain buat blog saya.


Setelah sempat galau mau bikin nama dengan nama lain seperti catatan mahasiswa gagal gaul (yang ternyata jadi panjang banget), diary mahasiswa nggak mutu, atau sejenisnya. Akhirnya saya memutuskan untuk membuat alamat blog saya dengan nama edotzherjunotz.com, mirip dengan alamat blog saya yang pertama, cuma bedanya di belakang edot dan herjunot ditambahin huruf Z.


Setelah hampir setahun ngeblog, saya iseng buat ngumpulin tulisan saya yang ada di blog dan saya jadikan di satu di Microsoft Word (dengan tata tulis yang sangat berantakan, tentunya). Bermodal alamat penerbit yang saya dapat dari belakang buku 5 CM. Dengan rasa nggak punya malu saya kirim naskah saya ke penerbit Grasindo. Dan secara ajaibnya, naskah saya diterima!


Ini adalah pencapaian paling mengesankan dalam hidup saya. Dari orang yang sampai semester 5 mahasiswa nggak punya skill nulis sama sekali, ternyata bisa nerbitin buku dengan judul Cancut Marut.



Oh iya, waktu itu karena masih dalam masa-masa alay, saya iseng saja pakai nama pena Edotz Herjunot. Ceritanya biar keren aja kayak Herjunot Ali. Eh, ternyata masih kebawa sampai sekarang.. haha 😄


Selain sukses nerbitin buku, saya juga sukses bertemu dengan komunitas blogger yang benar-benar menyenangkan dan sesuai dengan apa yang saya harapkan selama ini, namanya Blogger Energy. Dari komunitas ini, saya kenal lebih banyak dengan teman-teman yang blog personal.


Bahkan komunitas ini berhasil nerbitin buku juga di Penerbit Grasindo judulnya Asem Manis Cinta. Satunya lewat penerbit Indie berjudul Blogger Baper. Nggak pernah nyangka juga, kalau dari kenal di dunia maya, saya pernah merasakan ketemu sama teman-teman blogger di Jakarta.


Seperti nasib komunitas blogger lainnya, Blogger Energy juga berakhir ditinggalkan penghuninya. Banyak yang udah pada berhenti ngeblog, bahkan banyak yang sampai menghapus blognya. Gara-gara ini, saya sempat kesulitan mencari teman yang bisa dikunjungi blognya dan ninggalin komentar di sana. 


Blogger Energy ini beberapa kali sempat mencoba 'dibangkitkan' kembali oleh beberapa membernya yang berharap bisa melihat keramain grup ini seperti dulu, tapi selalu berakhir dengan keadaan yang 'lagi-lagi' sepi. Btw, walaupun udah nggak ada aktivitas ngeblog, konon anggotanya masih tetap berkumpul di suatu grup WhatsApp.


Tahun-tahun berikutnya, saya masih mencoba konsisten ngeblog meskipun saya sempat kebingungan pengin nulis apa di blog ini karena waktu itu saya udah lulus dari mahasiswa. Saya takut kehabisan keresahan, nggak relate lagi kalau masih terus nulis tentang mahasiswa.


Dari sini, saya mengubah tagline blog saya yang tadinya ‘Mahasiswa Gagal Gaul’ jadi ‘Lelaki Gagal Gaul’, beruntungnya... Lelaki Gagal Gaul ini akhirnya jadi judul buat buku kedua saya yang diterbitkan oleh penerbit Mediakita.


Kalau diingat-ingat ke belakang, udah banyak banget hal yang saya tuliskan dalam blog ini. Kadang, kalau lagi kangen sama masa-masa dulu, saya membuka lagi arsip blog ini yang dulu-dulu. Membaca dan mengenang hal-hal yang mungkin bisa saja saya lupakan seandainya saya tidak menuliskannya di blog ini.


Blog ini sudah mendampingi saya tumbuh sampai saat ini. Dari tulisan-tulisan saya yang alay, saya yang mulai belajar tata penulisan, saya yang banyak mindernya, saya yang kehilangan circle pertemanan, saya yang pernah ngerasa tertinggal jauh dari teman-teman yang sudah pada sukses.


Blog ini juga yang sudah membantu mewujudkan mimpi terbesar saya buat jadi penulis, yang bahkan waktu itu berani bermimpi untuk benar-benar memiliki buku sendiri aja rasanya saya terlihat nggak tahu diri.




Dari blog ini juga saya merasakan bagaimana rasanya mendapatkan uang dari tulisan saya sendiri karena tawaran dari beberapa pihak untuk bekerja sama. Ikut beberapa lomba blog dan (pernah) menang juga.


Satu hal yang lebih mengesankan lagi adalah dari blog ini, saya bisa menerbitkan buku terbaru berjudul Diary Teacher Keder, karena editor penerbit Buku Mojok, pernah nyasar kesini dan tertarik dengan tulisan-tulisan yang ada di blog ini.


Meskipun sekarang blog udah banyak ditinggalkan orang-orang. Seleb-seleb blogger yang dulu pernah nge-hits juga pada rame-rame pindah platform. Nyatanya saya masih tetap bertahan di sini. Blog ini udah memberi banyak hal buat saya, kalau nggak ada blog ini saya nggak mungkin bisa nerbitin buku, kenal dengan banyak temen blogger lain, dan nggak tahu kalau mau berbagi keresahan harus kemana. 


Btw, meskipun ada banyak sekali hal yang berubah dari dunia perbloggeran.. setidaknya, sampai saat ini masih banyak blogger-blogger yang tetap ngeramein update blog. Masih banyak juga blogger yang bisa di-blogwalking-in. Saya jadi nggak terlalu kesepian-kesepian banget.

About Us

DiaryTeacher Keder

Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.




Random

randomposts