Rabu, November 09, 2022

Kucing di Kelas Enam

November 09, 2022

Minggu lalu, entah dari mana datangnya tiba-tiba muncul seekor kucing dengan membawa dua ekor anaknya yang masih kecil-kecil masuk ke kantor. Tanpa merasa bersalah udah masuk nggak pake permisi, kucing ini langsung gegoleran santai meskipun di tempat asing dan cuek aja anak-anaknya pada nggak punya akhlak lari kesana kesini mainan seenaknya sendiri.


Saya udah suudzon aja kalau anak-anak ini pasti hasil hubungan di luar nikah dan bapaknya nggak mau tanggung jawab, atau kalau dugaan saya salah.. mungkin sekarang bapaknya lagi kerja cari nafkah merantau di ibukota sambil hidup sederhana demi bisa ngirim jatah bulanan ke kampung.


Guru-guru di kantor yang lagi gabut terlihat saling beradu suudzon tentang asal-usul kucing yang ujung-ujungnya meminta saya, yang terlihat cowok sendiri untuk memindahkan kucing-kucing ini keluar kantor.


Ibu-ibu ini ngerasa was-was, takut nggak sengaja nginjek kucing yang suka nelusup-nelusup ke kolong meja, khawatir kucing ini bakalan naik meja ngambil makanan yang ada di atas meja, sampai khawatir kalau kucing-kucing ini bakalan eek di bawah meja.


Saya yang lagi mager tentu saja mencoba cuci tangan dari masalah ini agar tidak perlu menurunkan tangan untuk menangkap anak-anak kucing yang lincah kesana kemari. Saya khawatir pas nyoba nangkep kucing jadi ngerasa antusias,  lalu saking antusiasnya ngejar malah jadi nyundul meja guru lain.


Pas lagi mikirin strategi untuk cuci tangan dari masalah, tiba-tiba ada anak kelas enam masuk nganterin kotak infaq ke kantor. Seolah dipermudah oleh semesta, salah satu anak bernama Zizah nyeletuk, “Ih, ada kucing.. kucingnya lucu.”


Ahaaaa~~~


Saya yang melihat peluang cuci tangan di depan mata langsung nawarin, “Zah, suka kucing ya? Sana kucingnya diambil aja, dibawa pulang buat dipelihara di rumah.”


“Ah, nggak Pak. Afri tuh, Pak. Biasanya suka kucing.” Kata Zizah sambil promosiin teman sekelasnya yang mungkin saat itu sedang sibuk mainan stik.


“Yaudah dibawa aja dulu nggak apa-apa, kasih ke Afri.”


“Emang boleh, Pak? Taruh kelas dulu ya?”


“Iya, boleh.. ambil aja nggak apa-apa~”


Dengan sedikit grogi karena Zizah sedang berkeliaran di kantor, tanpa perlu bertindak represif Zizah berhasil menangkap dua anak kucing yang enerjik ini. Selang beberapa menit kemudian, berita hadirnya kucing di kantor udah tersebar di kalangan kelas enam. Terbukti dalam waktu sesaat Afri masuk ke kantor buat nangkep emaknya kucing.


Setelah jam istirahat selesai, ketika saya masuk ke kelas enam. Anak-anak udah pada asyik mainan sama kucing-kucing ini. Bahkan mereka sigap menutup pintu kelas setelah saya masuk agar kucingnya nggak keluar.


Mereka mulai mengajukan diri untuk merawat kucing ini secara gotong royong. Mereka berjanji akan sungguh-sungguh menjaga kucing-kucing ini. Saya yang menganggap ini adalah sesuatu yang wajar (namanya juga anak-anak) dan berpikir mereka bisa belajar tanggung jawab dan menyayangi hewan ini, mengiyakan keinginan mereka untuk merawat kucing di kelas enam.


Hari-hari berikutnya, terlihat tidak ada masalah. Bahkan beberapa dari mereka ada yang niat banget bawa makanan kucing dari rumah terus nyediain minum juga buat kucing di dalam kelas. Kalau waktunya jam istirahat, mereka pada mainan sama kucing-kucing ini.


Semua terasa indah… namun tentu saja, keindahan cerita anak-anak dengan kucing tidak berlangsung lama.


Sampai pada suatu Senin pagi, saya masuk kelas dengan santai kemudian duduk seperti biasa di meja guru. Beberapa saat kemudian, saya merasa ada yang aneh… saya mencium aroma sesuatu yang tidak asing. Aroma pesing yang familiar.


Saya langsung melakukan hipotesis, menganggap kemungkinan terbesar aroma ini disebabkan oleh tikus sawah yang emang biasa ninggalin oleh-oleh kotoran di sudut-sudut lemari karena sekolah saya emang sebelahan sama sawah.


Saya menganggap ini sesuatu yang wajar, nanti biar anak-anak saya suruh cari sumber baunya terus ngepel di sekitar meja saya. Tapi pas pelajaran dimulai dan saya keliling di dalam kelas. Ternyata aroma pesing ini juga ada di belakang. Nggak hanya ada di sekitar meja saya.


Setelah diresapi lagi aromanya, aroma pipis ini terasa lebih menyengat. Sampai akhirnya, saya sadar. Oh, iya! Kelas enam kan kemarin-kemarin pelihara kucing!


“Kalian pada sadar nggak kalau kelas ini baunya pesing banget?!” Dari belakang saya mulai melakukan interogasi.


“Iya, Pak! Disini juga bau banget!” Febri yang duduk di samping belakang, mengakui ada aroma pesing yang sama seperti yang saya rasakan.


“Ini pasti gara-gara kucing nih!” Saya langsung to the point.


“Ayok, siapa ini yang mau tanggungjawab?!”


Anak-anak mulai menunjukkan sikap bangga terhadap budaya bangsa Indonesia dengan cara saling menuduh dan mencari kambing hitam. Mereka mulai berisik menyebut nama teman-temannya sendiri buat disalah-salahin.


“Udah cukup! Pak Edot nggak mau tahu, ya.. sekelas harus tanggung jawab! Nanti siang semuanya bersihin kelas, satu ruangan ini harus dipel semua!” Saya bersabda.


“Ah, nggak mau ah! Saya kan nggak ikut-ikutan melihara kucing!” Nizam menyampaikan protesnya. Sebuah protes yang tentu saja tidak mengubah keadaan.


“Nggak bisa! Harus ikut semua, satu kelas bersih-bersih! Kalau nggak mau bersih-bersih kelas berarti bersihin ruang kepala sekolah.”


Setelah saya lakukan investigasi, sepertinya hari Sabtu sebelumnya, anak-anak lupa ngeluarin kucing-kucing ini dari kelas. Kucing ini jadi terkunci sampai hari Senin yang bikin kucing-kucing ini ‘mau nggak mau’ jadi pada pipis dan eek di dalam kelas.


Saya pun segera meminta beberapa anak buat beli wipol saschetan. Kemudian, anak-anak mulai bergerilya dengan alat kebersihannya. Naikin kursi ke meja, ambil ember di toilet, ngisi air di ember, pinjem sapu ke kelas sebelah, sampai nyapu ruang kelas dengan menggunakan sapu yang kondisinya menyedihkan.



Setelah anak-anak mulai bersih-bersih kelas, ternyata di belakang pintu ada e’ek kucing yang nempel di tembok. Dibanding mikirin bagaimana caranya mindahin eek ini keluar kelas, saya lebih mikirin bagaimana ceritanya kucing ini bisa nempelin e’eknya di tembok.


Beberapa anak ada yang akting muntah-muntah keluar kelas, sepertinya sengaja biar nggak ditunjuk buat bersihin eek kucing yang ada di tembok. Sebagian lainnya langsung menolak secara terang-terangan. Sebagian lainnya, cuma bisa ngeliatin sambil tetap berusaha nyalahin temennya yang sengaja melihara kucing di kelas.


Sementara anak-anak pada ribut sendiri ngeliatin eek kucing di tembok. Tiba-tiba muncullah seorang juru selamat yang dengan mantapnya ambil tisu di meja saya lalu membersihkan eek yang ada di tembok untuk dibuang di tempat sampah.


Thalia memang luar biasa, meskipun cewek tapi nggak ada jijik-jijiknya sama sekali. Bahkan di belakang kelas yang juga ada aroma pesing sangat kuat, dengan santai Thalia rela menggosok bagian itu dengan mantap.


Proses bersih-bersih kelas ini berlangsung cukup lama, sekitar satu jam lebih. Kalau dilihat-lihat hasilnya, kelas emang jadi bersih banget. Cuma masalahnya, kalau diresapi lebih dalam, aroma pesing ini kadang masih muncul di saat-saat tertentu. Bahkan selama beberapa hari ke depan, aroma ini masih belum benar-benar hilang. Padahal perasaan semua kemungkinan yang jadi tempat buat pipis kucing sudah dibersihin, tapi kayaknya masih ada yang lolos.


Karena rasanya susah juga buat mendeteksi lebih dalam di mana pipis kucing yang sebenarnya, kecuali ada anak yang rela menggunakan hidungnya untuk mengendus lebih dekat setiap sudut kelas. Akhirnya solusi terakhir, saya meminta anak buat beli kopi hitam sachetan buat ditabur di pojok-pojok kelas buat menetralkan aromanya.


Hari-hari berikutnya, saya nggak melihat kucing-kucing ini lagi di kelas. Sepertinya anak-anak sudah nyerah dan tahu kalau ngurus peliharaan itu nggak gampang. Entah ada di mana kucing-kucing ini sekarang, semoga sih.. mereka selalu bahagia.

Senin, Oktober 10, 2022

Ketika Tes Kesehatan

Oktober 10, 2022

Saya orangnya memang gampang grusa-grusu, suka nggak tenang setiap menghadapi sesuatu. Contohnya pagi tadi ketika saya ada jadwal tes kesehatan buat syarat persiapan penegrian. Tes kesehatannya pagi dan saya bisa saja ijin ke kepala sekolah buat langsung otw ke rumah sakit. Tapi setelah dipikir-pikir, rasanya kok agak mencemaskan kalau anak-anak di sekolah saya tinggalkan begitu saja tanpa diberi wejangan terlebih dahulu.


Saya nggak enak kalau ninggalin mereka gitu aja. Khawatir anak-anak bertindak anarkis di kelas, khawatir jadi ngerepotin guru kelas lain, juga karena saya sadar--beban mereka sendiri udah terlalu banyak. 


Dari sekian banyak kekhawatiran yang mungkin terjadi, saya paling khawatir kalau kelas saya akhirnya malah dipegang sama kepala sekolah. Khawatir setelah ngajar, keluar dari kelas kepala sekolah mendapat banyak temuan yang mengejutkan. Buku yang berantakan di meja, taplak yang posisinya tidak simetris, gelas bekas pop mie yang masih ada sisa kuahnya, sampai nemu ODGJ di pojokan kelas lagi tiduran.


Jadilah pagi tadi saya menyempatkan berangkat lebih pagi, lalu masuk ke kelas mengumpulkan anak-anak untuk saya sugesti agar tidak melakukan tindakan yang mengundang guru kelas lain kepo masuk kelas (baca:berisik). Saya membagikan fatwa-fatwa yang menyatakan bahwa berisik di kelas akan mendapat adzab pedih dari saya di kemudian hari dengan bonus pulang selalu terakhir sampai akhir hayat.


Setelah itu, saya keluar kelas, mampir ke toilet sebentar lalu melaju pergi menuju Indomaret yang letaknya persis di depan rumah sakit. Niatnya sih, mau beli minuman biar nggak ‘kering’ banget pas nungguin antrian, sekalian ambil uang buat pembayaran tes kesehatan sebesar lima ratus ribu kurang dikit.


Begitu sampai Indomaret, saya bergegas masuk menuju mesin ATM BCA karena di grup WA teman-teman lainnya udah pada naik ke lantai dua tempat tes kesehatan dilaksanakan. Disitu saya udah curiga ngeliat mesin ATM yang tumben-tumbennya sepi nggak ada antrian, pas saya deketin... ah ngeselin~ ternyata mesin ATM-nya lagi eror nggak bisa dipakai. Ini agak diluar dugaan karena saya pikir ATM di Indomaret mesinnya masih baru, kemungkinan eror seperti ATM-ATM pada umumnya kecil banget. Dan kemungkinan kecil itu justru terjadi disaat saya butuh mau ambil uang.


Akhirnya saya pun segera bergegas pergi sambil ngedumel dalam hati, saya harus ambil uang di ATM yang agak jauh dari rumah sakit dan harus ngelewatin lampu lalu lintas yang terkenal lama giliran hijaunya.


Pas lagi jalan, saya nengok ke seberang kanan, di pom bensin ada tulisan ATM Mandiri. Setelah sekian detik berpikir, saya memutuskan putar balik menuju pom bensin tersebut buat transaksi di mesin ATM Mandiri. Caranya saya transfer antar bank dari BCA ke Mandiri (karena tentu saja ATM Mandiri saya saldonya menyedihkan), walaupun rasanya hati agak berat karena mesti kena biaya admin 6.500 rupiah. Tapi ya... daripada mesti jalan jauh, buang waktu dan belum tentu pas sampai di tempat ATM-nya juga bener. Saya memilih mengorbankan biaya admin 6.500 rupiah.


Mengingat waktu yang udah makin siang, saya langsung berdiri depan ATM lalu buka M-BCA, pas mau transfer ternyata nomor rekening bank Mandiri saya belum saya masukkan di daftar. Saya pun menepi dulu dari ruang ATM karena harus cari nomor rekening dulu buat di-input. Pas udah selesai, saya balik lagi antri di depan ruang ATM nunggu giliran, sampai kemudian datang seorang ibu-ibu nanya, “Maaf, Pak? Bapak mau masuk ke ATM?”


Saya jawab singkat, “Iya, Bu.”


Yang kemudian dibalas sama ibu-ibu tadi, “ATM-nya nggak ada orangnya, Pak”


Saya nengok ke dalem dan ternyata memang kosong, duuh.. gara-gara gugup saya jadi nggak fokus. Mau ngerasa malu tapi lagi nggak ada waktu, akhirnya saya nyengir sebagai tanda pengakuan ‘bodoh’ sambil masuk ke mesin ATM.


Beres ambil uang, saya segera menuju rumah sakit. Masuk ke area parkiran buat cari parkiran yang strategis. Begitu udah jalan kaki mau masuk, saya baru sadar, saya nggak pakai masker!


Paraaaah.... akhirnya saya balik lagi naik motor pergi ke Indomaret di depan rumah sakit. Gara-gara gugup jadinya malah bolak balik gini. 


Setelah semua dirasa tidak ada lagi yang tertinggal, saya pun mantap masuk ke rumah sakit naik ke lantai dua. Setelah menyerahkan biaya cek kesehatan, saya disuruh ambil toples bening kecil seukuran balsem buat tempat pipis.


Nah, masalahnya... sebelum ke rumah sakit saya udah pipis di sekolah, saat itu saya ngerasa bener-bener nggak pengin pipis. Jadi gugup lagi deh mesti gimana? Sempet kepikiran mau minta pipisnya teman, tapi nggak mungkin juga, kan. Berdiri di depan toilet, pas teman keluar bilang, “Eh, Pak.. bagi pipisnya dong”


Saya pun mencoba minum banyak-banyak minuman yang barusan saya beli di Indomaret. Setelah nunggu lima menitan dengan tidak tenang, saya melangkah ragu ke toilet dan mencoba pipis. Meskipun hasilnya tidak banyak seperti teman yang lain, setidaknya ada dikit lah pipis yang bisa saya keluarin. Haha... 😄


Antrian demi antrian berlalu, saya nunggu giliran cek kesehatan sambil berghibah dengan teman-teman sekelompok waktu latsar. Berkeluh kesah tentang persoalan di sekolah masing-masing sambil diselingi candaan sebagai upaya menghibur diri dari kenyataan hidup.


Pukul sepuluh semua pemeriksaan kesehatan yang saya dan teman-teman lakukan selesai. Kami melanjutkan keluh kesah di sebuah tempat makan yang tempatnya cukup mendukung buat berkamuflase. Khawatir kalau milih tempat makan di pinggir jalan, dengan seragam mencolok hitam putih khas seragam dinas para PNS bakalan mudah dikenali sama petugas satpol PP yang lagi keliling. Walaupun sebenernya alasan habis tes kesehatan cukup masuk akal, tapi ya barangkali tetap jadi masalah, mending kami cari tempat yang nggak terlalu mencolok.


Obrolan siang itu berlangsung cukup panjang dengan tema keresahan di sekolah masing-masing. Siang itu, saya kepikiran.. kalau selama ini saya ngeliat teman-teman lain kayaknya hidupnya fine-fine aja di sekolah masing-masing, tapi ternyata memang yang namanya hidup nggak seindah status WA.


Ah.. ternyata saya nggak sendirian ngejalanin kerjaan yang akrab dengan masalah~

Senin, Agustus 22, 2022

Tentang Hal-Hal yang Harus Dihadapi Meskipun Sambil Deg-Degan

Agustus 22, 2022

Rasanya jadi orang yang suka gampang kepikiran itu nggak enak.


Hari-hari ini saya sedang mengikuti kegiatan PPG atau Program Profesi Guru selama tiga bulan secara daring. Itu artinya, saya harus mengikuti perkuliahan PPG ini dari depan laptop, dengan durasi waktu yang tidak pasti. Kadang tiga jam, kadang empat jam, bahkan pernah sampai tujuh jam dalam waktu satu hari. Pantat dan punggung yang udah menua ini rasanya nggak bisa diajak kompromi buat duduk seharian. 


Dengan jadwal di depan laptop yang cukup menguras waktu, saya masih tetap harus bisa membagi waktu untuk ngajar atau minimal nungguin anak-anak di kelas enam. Tentu saja hasilnya nggak bisa maksimal, tapi ya memang harus gini caranya. Nggak ada guru pengganti, nggak ada keringanan dari sekolah juga. Padahal saya sudah menyerahkan surat permakluman dari universitas biar setidaknya saya diberi kelonggaran berkaitan dengan tugas-tugas sekolah. Tapi ternyata nggak ngefek 😅


Saat saya menulis ini, saya sudah melewati rutinitas PPG selama satu bulan. Meskipun semuanya terlihat baik-baik saja, tapi untuk bisa sampai di titik ini saya banyak melewati lelah yang kadang rasanya ‘pengen deh, istirahatnya ditambahin’. Atau, ‘tolong dong untuk yang bagian ini di-skip aja, langsung ke bagian selanjutnya.’


Sebenarnya target saya sederhana, ngikutin kuliah PPG dengan duduk manis, ngerjain tugas seadanya, tahu-tahu lulus. Saya coba bikin santai semampunya. Tapi kenyatannya enggak, selalu ada momen di mana saya harus merasakan deg-degan lebih kenceng, bahkan kadang sampai bikin tidur nggak nyenyak.


Gara-gara saya yang suka gampang kepikiran, kadang saya harus ngerasain deg-degan kenceng lebih dini dari yang seharusnya. Misal, pas tahu kalau tiga hari lagi mesti presentasi tugas. Apa yang harus saya persiapkan, sepertinya jauh lebih banyak dari teman-teman PPG lainnya.


Disaat teman-teman lain berjuang dengan lingkungan yang mendukung. Saya justru harus berjuang dengan lingkungan yang nggak bersahabat. Wifi di sekolah kecepatannya cuma tiga megabyte, juga nggak ada ruang kosong di sekolah yang bisa dipakai kalau sewaktu-waktu saya mesti presentasi dan butuh ruangan yang sepi dan nggak berisik.


Ya, gimana, ya... sekolah saya cuma ada enam ruang kelas, satu ruang kantor dan satu mushola yang agak-agak difungsikan jadi gudang juga. Jangankan ada aula, ruang UKS dan ruang perpustakaan aja nihil.


Udah gitu, waktu saya coba minta ijin buat presentasi di rumah karena faktor wifi yang lebih kenceng dan ruangan yang lebih mendukung, eh.. ada aja orang sekolah yang mempersulit.


Kadang rasanya jadi kesel sendiri. Tapi ya, mau gimana lagi kan~


Akhirnya ya saya paksakan buat presentasi di kelas, dengan wifi thetring dari HP sendiri yang kadang kalau share screen pas lagi presentasi jadi tersendat-sendat, suara juga putus-putus. Ditambah suara bising anak-anak yang ada di halaman sekolah. Kalau bandingin dengan teman PPG lain, yang bahkan dapat hak eksklusif buat fokus PPG, kelas udah ada yang nge-handle, rasanya kok sekolah sendiri terlihat kejam sekali. Haha 😄


Btw, tugas-tugas PPG ini beneran bisa membuat pola tidur nyenyak jadi terganggu. Apalagi pas besoknya mesti presentasi, mesti praktek ngajar teman-teman PPG lainnya via Google Meet. Duh... rasanya pengen banget yang ini di-skip aja, atau kalau bisa digugurin aja sifat wajibnya. Jadi buat yang mau aja, silakan presentasi. Kalau ada yang nggak mau, nggak usah nggak apa-apa.


Tapi, ya nggak mungkin kan bisa se-sunnah itu. Tetep aja mau nggak mau semua kebagian praktek ngajar. Saking kepikirannya sama hal ini, pas tidur saya bahkan sampai mimpi lagi praktek ngajar, sampai akhirnya terbangun dan ngeliat jam.. duh masih tengah malam. Begitu ngelanjutin tidur lagi, anehnya.. saya mimpi prakter ngajar lagi. Ajaib, mimpi bisa ada series-nya gitu.


Paginya, dengan deg-degan yang sudah bikin mules. Saya akhirnya kebagian harus praktek ngajar, dan setelah selesai mengucap wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, rasanya.... lega~ sekali~


Setelah dijalanin, ya.. plong, nggak tahu deh gimana penampilan saya di mata teman-teman PPG lainnya dan dosen yang menyaksikan. Alhamdulillah-nya begitu nilai saya keluar, hasilnya ternyata lumayan.


Merasa lega berhasil melewati tantangan praktek ngajar online. Ternyata itu nggak berlangsung lama, jadwal selanjutnya saya harus melaksanakan uji komprehensif. Hanya ada saya, admin kelas dan dua dosen penguji di dalam sebuah ruangan Google Meet.


Apesnya, saya adalah mahasiswa pertama yang akan tampil, pukul 06.15 WIB udah harus stand by di depan laptop. Saya jadi nggak punya referensi sama sekali, kira-kira bentuk ujiannya akan seperti apa karena belum ada teman yang bisa ditanya-tanya.


Ketika jadwal keluar, dua hari sebelumnya saya sudah mulai risau. Rasanya pengen skip aja bagian ini, langsung lanjut ke materi selanjutnya. Tapi ya itu, nggak mungkin.


Mengingat judulnya yang ujian, saya jadi mengobrak-abrik lagi RPP saya, sebuah dokumen yang akan menjadi acuan guru buat mengajar. Saya poles-poles lagi berharap besok pas ujian nggak dapat pembantaian dari dosen. Hari Minggu yang syahdu terpaksa saya korbankan untuk persiapan ujian ini.


Malamnya, saya setel alarm untuk tiga waktu yang berbeda. Khawatir nggak denger bunyi alarm, bangun jadi kesiangan. Jadwalnya jadi kelewatan. Cuma bisa nangis meratapi nasib.


Walaupun sebenernya, nggak mungkin banget saya bisa tidur tenang bangun sampai kesiangan pas udah tahu paginya mau ujian. Hasilnya terbukti, alarm pertama belum sempat berbunyi, saya sudah bangun duluan.


Lalu, apakah tidurnya nyenyak? Tentu saja tidak. Saya sempat terbangun tiga kali malam itu, anehnya adalah malam itu saya tidur dan bermimpi sedang melaksanakan ujian komprehensif. Benar-benar tekanan alam bawah sadar yang luar biasa sampai-sampai kebawa mimpi.


Saat saya telah menulis di bagian ini. Saya berhasil melewati ujian komprehensif dengan baik-baik saja, meskipun dipenuhi dengan rasa grogi dan deg-degan berhadapan dengan dua dosen penguji. Alhamdulillah, dosen yang saya temui benar-benar baik hati sekali. Tidak ada penghakiman, justru banyak pemakluman dengan apa yang saya tampilkan.


Beberapa menit kemudian setelah saya cek nilai ujian saya, hasilnya jauh diluar ekspektasi. Nilai saya lumayan untuk presentasi yang apa adanya di pagi hari itu.


Btw, selama ngejalanin proses PPG ini serunya tuh saya bisa ketemu dengan guru SD dari berbagai daerah, bisa berbagi pengalaman, saling tuker cerita. Terus nggak nyangka juga bisa ketemu sama dosen yang baik hatinya kebangetan. Bahkan saya sampai ngira, jangan-jangan nih dosen bukan manusia tapi malaikat, saking baiknya. 


Ditambah, ketemu juga sama guru pamong yang juga sama baik hatinya. Seneng sih aslinya, tapi ya itu... tugasnya kadang emang bikin sport jantung 😄


Sekarang, saya sudah bisa deg-degan lagi dengan normal. Masih ada beberapa kegiatan lagi yang saya yakin akan membuat deg-degan saya lebih kencang lagi dan juga merusak ritme tidur nyenyak saya. Bahkan, mungkin saya juga akan bertemu lagi dengan mimpi-mimpi tentang tugas.


Saya nggak bisa menolak itu, yang perlu saya lakukan hanya perlu menghadapi semua itu, karena siap atau nggak siap, semua hal akan terus berjalan.

Jumat, Agustus 12, 2022

Bayar Kemah

Agustus 12, 2022

Pagi itu, saya baru saja memulai basa-basi ke anak-anak. Sekedar menanyakan paginya sudah pada shalat subuh apa belum, pas mau berangkat sudah pada mandi apa belum, atau pas mau berangkat sudah salim sama seluruh tetangga samping rumah apa belum.


Kemudian saya juga nanya, “Anak-anak, udah pada sarapan semua ya sebelum berangkat ke sekolah?”


Bersahut-sahutan anak-anak menjawab, “Udah, Pak...” ada juga yang menjawab, “semalem sih, udah, Paaaak”, bahkan ada juga yang menjawab, “Basi, ah nanyanya.”


Saya melanjutkan, “Ya kalau ada yang belum sarapan kan nanti Pak Edot kasih nasi.”


Seketika jiwa gratisan anak bergelora, “saya mau, Pak... saya mau, Pak. Tambahin minyak goreng satu liter, Pak.”


Entah apa maksudnya mau dikasih nasi malah minta tambah minyak goreng satu liter. Benar-benar anak yang memikirkan kondisi dapur keluarganya.


Saya melihat ke seisi ruangan, mengamati wajah anak-anak satu per satu, ngeliat pada jujur apa enggak.


“Yaudah nih, yang belum sarapan Pak Edot kasih nasi. Nasi... hat!” Saya diam sejenak, “Tapi nanti jangan ditelan mentah-mentah, ya. Pelan-pelan aja biar nggak keselek nasihat.”


Anak-anak langsung pada kesel lalu ngomel-ngomel. Rasanya menyenangkan sekali ngeliat mereka pagi-pagi udah pada emosi.


Disela-sela percakapan tidak penting saya dengan anak-anak, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kelas. Seorang nenek yang sudah berusia lanjut, mungkin usianya sekitar tujuh puluh tahunan.


“Monggo Mbah, wonten keperluan nopo, nggeh?”


(silakan Mbah, ada keperluan apa, ya?)


Nenek ini masuk kelas sambil menyodorkan sejumlah uang, to the point mengatakan, "Niki Pak, kulo badhe mbayar arto kemah kangge Thalia. Awit wingi larene sampun protes, mboten purun pangkat sekolah terose isin. Terose lare-lare teng kelas mpun bayar sedoyo. mung Thalia sing dereng bayar. Akhire nggeh tak sabar-sabari ben purun pangkat. Mbah golek duit disek" 


(Ini, Pak.. saya mau bayar uang kemah buat Thalia. Dari kemarin anaknya sudah protes, nggak mau berangkat sekolah karena malu. Katanya anak-anak di kelas sudah bayar semua, tinggal Thalia yang belum bayar. Akhirnya tak sabar-sabari biar mau berangkat, Mbah cari uang dulu.)


Saya yang akhir-akhir ini nggak ngikutin masalah perkemahan karena sedang fokus di PPG, baru tahu kalau ternyata ada pembayaran kemah. “Oh, nggeh Mbah... pinten nggeh?”


(Oh, iya Mbah.. berapa ya?)


“Enam puluh ribu, Pak” Kemudian nenek ini melihat ke tempat duduk anak-anak mencari keberadaan cucunya. Lalu berjalan mendekat, yang sebenernya beliau belum tahu di mana letak tempat duduk cucunya, mungkin karena sudah mulai rabun.


Nenek ini berkata, “Wes yo, Nduk. Ojo nangis maneh, sekolah sing rajin. Kemahe wes simbah bayar. Ning sekolah sinau sing kieng.”


(Sudah ya, Nduk. Jangan nangis lagi, sekolah yang rajin. Kemahnya sudah simbah bayar. Di sekolah belajar yang rajin)


Nenek ini mendekat lagi ke saya, kemudian bercerita, “Thalia ini sudah nggak punya ibu, Pak Guru. Bapaknya ninggalin Thalia sejak kecil nggak tahu pergi kemana. Anaknya pengin sekali kemah, tapi saya harus ngumpulin uangnya dulu. Biasanya dikasih sama Om-nya, tapi kan kadang Om-nya juga ada kebutuhan sendiri, belum bisa ngasih.”


“Oh..”, itu kata yang pertama kali saya ucapkan saking terkejutnya. Nenek ini terlihat bergetar saat bercerita. Terlihat sekali ada kesedihan yang sedang dihadapinya.


“Thalia cuma anak satu-satunya, Pak Guru. Tinggal berdua sama saya saja. Kadang kasihan, liat teman-temennya bisa beli jajan, bisa beli mainan. Thalia buat makan saja alhamdulillah.”


Saya ikut nyesek dengernya, “Sing sabar mawon nggeh, Mbah. Mboten usah khawatir, mangke pas kemah Thalia sing nyanguni kulo. Mbah mboten usah mikir sangune Thalia.”


(Yang sabar ya Mbah. Tidak usah khawatir, nanti pas kemah Thalia yang ngasih uang saku saya. Mbah tidak usah mikir uang sakunya Thalia)


Nenek ini masih nampak bergetar. Sambil manggut-manggut mengucapkan terima kasih beliau lalu ijin pamit.


Saya melihat langkah nenek ini yang sudah tidak tegap lagi. Nggak tahu kenapa, saya tiba-tiba khawatir, “Ya Allah, semoga simbah diberi panjang umur. Biar bisa terus nemenin Thalia.”


Saya nggak bisa membayangkan, bagaimana beratnya jadi Thalia. Nggak pernah merasakan kasih sayang ibu dari kecil, nggak bisa mendapat perhatian hangat dari bapaknya. Tumbuh dengan banyak keinginan seorang anak yang harus terus dipendam karena keadaaan.


Mungkin selama ini Thalia ingin ini, ingin itu banyak sekali, yang tidak pernah bisa dapatkan, Thalia pasti menyadari itu. Tapi saya tahu, mungkin yang paling Thalia inginkan dari sekian banyak hal itu adalah kehadiran ibu dan bapaknya menemani Thalia beranjak dewasa.

About Us

DiaryTeacher Keder

Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.




Random

randomposts