Sabtu, September 07, 2019

Memang, Jangan Sok Jagoan Nolongin Orang di Jalan

September 07, 2019

Malam itu, saya lagi tenang naik motor kecepatan rendah dengan tangan kiri megangin HP sambil sesekali ngeliatin layar HP. Itu saya lakukan bukan karena lagi kesasar di jalan lalu ngeliatin Google Maps sebagai penunjuk jalan, bukan. Malam itu, saya sesekali ngeliatin HP di tangan kiri karena saya lagi asyik main game Pokemon Go.

Sambil jalan pelan, siapa tahu malam itu saya bisa nemu Pokemon yang bisa saya tangkap buat saya transfer dijadiin candy biar pokemon saya bisa segera di-evolve. Ya, syukur-syukur malam itu saya bisa nemu pokemon yang belum pernah saya dapetin.

Pas lagi fokus ngeliatin HP, tiba-tiba beberapa meter di depan saya ada suara kenceng banget. BRAK! SRAAAAK! Reflek, saya langsung ngeliat ke depan, saya ngeliat ada polisi naik motor goyang-goyang ngeluarin percikan api terus gas kenceng banget.

Saya yang penasaran, lalu segera naruh HP di kolong motor depan lalu melaju sedikit lebih kencang. Dugaan saya ternyata benar, setelah melewati mobil yang terparkir di pinggir jalan, saya melihat ada anak cowok dan cewek terkapar di pinggir jalan.

Otomatis, saya langsung berhenti, bantuin berdiriin motor karena Si Cowok udah gercep bangun sendri terus saya nanya, “Kenapa, Mas?”

Cowok itu panik banget, sambil mencoba bangunin ceweknya, dia bilang, “Nggak tahu ini Mas, tahu-tahu saya tadi ditendang motornya sama polisi tadi. Polisinya langsung kabur. Mas, Mas tolongin pacar saya, Mas...”

Cowok cewek ini kelihatan seperti pasangan alay yang kalau mau jalan minjem motor bapaknya terus minta uang saku sama orangtuanya buat pacaran. Malam itu, saya mengira dua anak ini masih SMP karena penampilannya yang keliatan masih alay banget.

Mereka berdua nggak pakai helm, yang cowok kaos kedodoran,  naik motor malem-malem di jalan raya tanpa takut disetop sama polisi, pemberani banget.

“Masnya keadaaannya gimana? Serius ini tadi ditendang sama polisi tadi?”

“Tangan saya luka, Mas. Tolongin pacar saya ini, Mas! Yaaank... yaaannk, sadar yaaank.”

Cowok tadi semakin panik ngeliat ceweknya mulai limbung seperti hampir pingsan sambil megangin kepalanya. Beberapa orang mulai mendekat dan mulai kepo sama cowok cewek ini, ga ada niat buat nolongin. Cuma bisa ngeliatin sambil tanya-tanya. Ya, memang cuma di Indonesia kalau ada kecelakaan di jalan malah jadi seperti tempat wisata yang menarik buat dikunjungi.

Untung ada Mbak-Mbak yang lagi nongkrong di lesehan kopi pinggir jalan nawarin buat nganterin cewek yang jatuh ke rumah sakit terdekat naik mobilnya. Sementara si cowok masih saja meracau ‘yank, yank..’ mulu karena panik ngeliat si cewek udah bener-bener butuh pertolongan banget.

Saya ngeliat kondisi motornya memang cukup parah. Body depan pecah, kepala motor atas juga pecah. Saya yang mendengar cerita ada polisi nendang pengendara terus kabur jadi mulai tersulut emosi.

Berbekal pemahaman akan kejadian di lokasi, saya pun memberanikan diri buat memposting kejadian ini di grup Facebook kota saya. Sebelumnya saya sempat mikir-mikir khawatir bakal jadi pencemaran nama baik terhadap aparat. Tapi karena saya ngeliat dengan mata kepala sendiri, akhirnya saya beranikan diri memposting kejadian ini.

Seperti yang saya duga, postingan saya langsung viral dan banyak banget dikomentarin sama netizen. Dari viralnya postingan itu, saya berharap kalau oknum polisi yang nabrak lari semalem bisa jadi perhatian dan akhirnya diproses sama propam. Polisi yang ngurusin polisi bermasalah.

Paginya, waktu saya lagi siap-siap berangkat ngajar, tiba-tiba ada panggilan WA baru dari nomor tidak dikenal. Saya sudah curiga jangan-jangan ini telfon dari anggota polisi. Begitu saya telfon balik, ternyata bener!

Dalam hati saya, “Nah kan! Kena deh saya saya urusan sama polisi."

Ya.. jujur aaja saya paling males kalau harus urusan sama polisi. Entah sebagai saksi atau amit-amit jadi buronan. Berhubung malam itu saya yang liat kejadiannya, maka saya ditanya-tanya sama polisi tersebut kronologinya. Saya jawab sesuai apa yang saya lihat, dan polisi itu ngucapin makasih untuk informasinya.

Setelah saya menutup telepon, saya nggak yakin kalau persoalan ini akan selesai semudah saya menutup telepon tadi. Saya juga sempet takjub sama polisi yang tahu-tahu udah ngehubungin saya, tahu dari mana coba nomor HP saya?

Siangnya, saya dapat WA lagi, dari polisi lain. Seorang propam yang menanyakan kesediaan saya untuk bisa ketemu ngobrolin kejadian semalem. Polisi ini nawarin saya untuk ketemu di luar atau di ruangannya. Karena polisi ini bahasanya baik dan saya juga merasa nggak bersalah. Akhirnya saya memilih untuk ketemu di ruangannya saja.

Selesai sholat Jum’at, saya langsung tancap motor ke Polres, sendirian buat nemuin bapak polisi dari propam ini. Kali ini nggak sambil main Pokemon Go.

Saya sudah sampai di ruangan ukuran sekitar 2x3 meter. Nggak tahu sih, tepatnya berapa. Setelah berbasa-basi, saya mulai ditanya kronologi kejadiannya. Polisi ini mencatat apa yang saya sampaikan, ada sekitar sepuluh pertanyaan yang diajukan terkait kejadian semalam.

Saya nggak merasa terintimidasi karena polisinya santai, bahkan polisi di sebelahnya justru mendukung apa yang sudah saya lakukan dengan memposting kejadian semalam, ya.. anggap aja itu juga sebagai kontrol dari masyarakat terhadap aparat, yang tentu saja tindakannya tidak bisa dibenarkan, menabrak orang terus kabur dengan menggunakan seragam dinas dan motor dinas pula.

Saya juga dikasih tahu kalau oknum polisi yang semalam menabrak itu sudah ketemu. Pihak Propam setelah mengetahui postingan saya di Facebook, langsung ngecek jadwal piket polisi dan lokasinya. Pak Propamnya juga menyampaikan kalau yang bersangkutan tadi pagi sudah disemprot sama komandannya karena perbuatannya itu. Lalu, Pak Propam itu berniat mempertemukan saya dengan polisi semalem sekaligus korbannya.

Singkat cerita, polisi yang diduga nabrak lari itu datang ke ruangan dengan seragam dinasnya. Kami bersalaman, lalu berbasa-basi sebentar sambil tunggu korban buat dateng. Jadi, nanti kami akan dipertemukan dengan korban biar ceritanya jelas. Berhubung saya nggak bisa tunggu sampai jam 3 karena harus ngelesin di rumah, akhirnya saya pulang ke rumah sambil disuruh bikin postingan klarifikasi kejadian semalem bahwa polisinya yang nabrak sudah bertanggungjawab dengan meminta temannya yang sesama rekan kepolisian buat menyusul dan membayar biaya pengobatan dua remaja alay tadi.

Ternyata, menjelang maghrib saya dapat telepon lagi kalau korban sudah datang dan saya diminta buat datang lagi. Biar persoalan lebih jelas, katanya.

Saya dateng ke ruangan tadi sekitar pukul enam lebih setelah sholat maghrib di rumah. Saya dipertemukan sama korban, oknum polisinya dan dua polisi lain yang sepertinya sengaja untuk menyimak percakapan ini.

Begitu korban dikasih kesempatan buat ngomong, korban langsung nyerocos, “Anda itu salah, Mas.. kenapa harus posting-posting di Facebook segala. Saya nggak mau bikin rame. Harusnya nggak usah sampe posting segala. Udahlah, yang jelek-jelek ditutup saja. Saya kan nggak minta diposting di Facebook segala.”

Saya begitu denger hal barusan langsung jadi ngegas, “Loh... kok malah jadi saya yang disalahin. Malah kesannya saya yang bikin rusuh. Masnya nggak ingat semalem gimana? Masnya jatuh, polisinya kabur. Masnya sendiri yang bilang ditabrak polisi terus polisinya kabur! Kenapa malah jadi pasrah? Lagian ya, apa yang tak posting itu saya bawa nama Masnya? Saya foto wajah masnya? Enggak kan? Saya cuma menyoroti tindakan oknum polisi yang habis nabrak orang malah kabur bukannya nolongin?! Paham nggak?!”

“Iya, Mas, paham..  tapi saya kan itu nggak mau bikin rame, masalahnya sudah selesai. Polisinya sudah tanggung jawab ke rumah sakit.”

“Mas.. yang bilang semalem lagi naik motor terus tahu-tahu ditendang sama polisi siapa? Masnya sendiri kan? Saya kan cuma ngomong sesuai apa yang diomongin korban.”

“Semalem saya kan habis jatuh Mas, saya nggak fokus. Jadi asal njawab saja. Saya takut pacar saya kenapa-kenapa.”

Perdebatan itu lalu ditengahi oleh Pak Propam yang memanggil saya.

Saya debat sama korban karena ternyata kronologi kejadiannya berubah. Sebelumnya korban bilang ditendang sama polisi. Setelah semalam polisi datang membiayai pengobatan korban, kronologinya jadi berubah seperti ini...

Jadi, Si Cowok lagi naik motor sama pacarnya nggak pakai helm. Si Cowok ini telepon-teleponan sambil nyetir motor. Lalu, datang polisi yang baru pulang dari jaga pos jejerin motor korban sambil tanya, “Helm kamu mana?!”

Si Cowok yang kaget langsung ngegas motornya ke pinggiran jalan dan jatuh. Polisi tadi buru-buru pergi karena kakinya malah ketabrak motor Si Cowok. Polisi ini pergi karena kakinya sakit banget, jadi Polisi ini berhenti di pos satpam pinggir jalan telfon teman sesama polisi buat mengurusi korban  yang jatuh tadi.

Lalu, temennya polisi ini katanya pas sampai di TKP sudah sepi, lalu dia berkeliling ke beberapa RS buat cari korban. Begitu ketemu, segala biaya pengobatan ditanggung sama polisi ini.

Salah satu dari dua polisi yang datang di ruangan sore itu, sebut saja Pak A mengatakan kalau kesaksian saya yang melihat oknum polisi pakai motor dinas dibantah, karena oknum yang menabrak itu nggak punya motor dinas. Justru Pak A jadi disudutkan dan harus menanggung sanksi sosial karena dikiranya Pak A ini yang semalem nabrak lari orang.

Saya yang merasa yakin semalam melihat polisi pakai motor dinas jadi ragu dengan kesaksian Pak A barusan. Intinya, untuk memulihkan kesalahmpahaman ini saya diminta bikin postingan klarifikasi lagi di grup Facebook tempat saya membuat postingan kecelakaan semalam.

Dengan kronologi yang berubah seperti ini, akhirnya jadi saya yang justru disudutkan. Pertama, kejadiannya bukan ditendang polisi tapi korban jatuh sendiri karena kelalaian sendiri. Kedua, kesaksian saya salah karena motor yang dipakai polisi bukan motor dinas tapi motor pribadi.

Dua hal ini, sukses membuat saya jadi diserang sama netizen. Karena masih geregetan, saya tetap balesin semua komen netizen sebagai pembelaan karena tetap saja saya ngerasa nggak salah. Untungnya beberapa masih ada yang bisa berpikir rasional yaitu apapun yang terjadi, kenapa polisi semalem yang bersenggolan itu harus kabur? Kalau anaknya itu jatuh sendiri, kenapa malah polisinya yang bayarin biaya rumah sakit?

Lagian masa iya sih, gara-gara kaki sakit polisi ini justru ninggalin korban kecelakaan di pinggir jalan. Ada juga yang bilang, kalau begitu misal pas kejadian korbannya ditinggalin kondisinya kritis bagaimana?

Ya... pada akhirnya netizen bebas berargumen semaunya. Hanya saja yang saya sayangkan adalah, okelah... kejadian kecelakaan itu bisa saya klarifikasi lewat Facebook dengan versinya mereka sendiri. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang pada saat kejadian berhenti di TKP, mendengar cerita kalau korban ditendang polisi dan polisinya kabur? Orang-orang ini tentu saja akan pulang ke rumah dengan membawa versi yang mereka tahu di TKP dan mereka akan cerita ke orang sekitar dengan versi yang mereka lihat sendiri.

Saya lebih ke ‘terserah sih’ di kantor polisi sore itu karena oknum polisi sama korban tersebut udah nggak ada masalah. Walaupun rasanya masih mengganjal karena justru saya yang jadi tersudut, tapi yaudah... Saya ngotot juga percuma karena korban sama polisinya udah baik-baik aja. 

Satu pelajaran berharga paling penting yang saya dapatkan waktu itu adalah, “Nggak usah sok-pahlawan nolongin korban kecelakaan di jalan. Karena bisa jadi orang yang kita nolongin justru malah nyalahin kita sendiri.”

Selasa, Juni 18, 2019

Susah Nulis

Juni 18, 2019

Akhir-akhir ini hidup saya beneran terasa sangat biasa-biasa aja. Bahkan kemampuan nulis saya pun jadi lebih biasa-biasa aja dari biasa-biasa aja sebelumnya.

Beneran deh, saya seperti sudah kehilangan kemampuan untuk menulis yang nggak tau malu kayak dulu. Saking nggak mampunya, udah banyak hal yang saya lewati selama ini tapi belum ada satu pun yang bisa saya tuangkan ke dalam blog. Padahal, niatnya saya bikin blog biar bisa nulis keseharian atau pengalaman hidup saya. Nyatanya, setiap buka microsoft word dan siap buat nulis, tangan saya mendadak gemetar. Otak  saya mendadak kaku, nggak tau mau ngapain. Akhirnya, jadi main PES di laptop sampai lupa waktu.

Rasanya saya jadi kasihan sama diri sendiri mengingat dulu sering banget sok-sokan ngasih motivasi ke blogger lainnya buat rajin nulis, buat rajin bikin postingan di blog, sampai buat rajin blogwalking.

Sekarang justru sendirinya jadi nggak bisa rajin nulis dan terlalu sibuk menikmati kemalesannya. Saking menyedihkannya tulisan saya yang sekarang, bahkan sampai ada yang komen di blog tulisan saya yang sekarang seperti tulisan bapak-bapak.

Ya Allah…  dia nggak tau aja, kalau saya lagi agak-agak depresi kehilangan kemampuan nulis kayak dulu. Sekarang, saya justru merasa kalau kemampuan menulis saya udah sampai di titik 'kampret, kaku banget nih orang tulisannya kayak bapak-bapak. Mending mati aja deh lu!"

Tulisan kali ini aja benar-benar saya paksakan setelah sekian lama saya nggak pernah nulis sama sekali. Sumpah, kaku banget rasanya! Niatnya pengen bisa tetep nulis komedi, tapi bikin satu punchline biar bisa lucu aja nggak kebayang sama sekali. Saya yang sekarang sudah terlalu jauh berubah dari saya yang dulu. 

Sebenernya wajar sih, tulisan saya jadi sekaku ini soalnya udah lama saya jarang baca novel, bahkan udah lama banget. Hasilnya, emang jadi ngaruh banget sama kemampuan nulis saya di blog.

Saya emang terlalu banyak menghabiskan waktu untuk hal yang kurang berguna. Beli komik terus-terusan tapi nggak diiringi sama semangat membaca yang tinggi misalnya. Akhirnya, komik yang udah dibeli hanya beberapa aja yang dibaca, sisanya cuma ditumpuk. Resiko banyak berteman sama penjual buku di Facebook ternyata emang riskan, liat penjual posting buku murah dikit langsung khilaf, begitu buku sampe rumah malah cuma digletakin aja. Kadang saya jadi kesel sama diri sendiri karena lemah sama urusan menahan diri. 

Disaat temen-temen lain udah pada sukses. Mulai dari jadi dosen sampe ketrima PNS. Hidup saya masih standar aja, sebatas inbox-an sama penjual buku di Facebook sambil jadi guru SD yang datang, ngajar, pulang. Nggak ada hal berguna lainnya.

Disaat temen-temen lain upload foto ngomongin kesuksesan hidupnya. Saya malah uploadnya foto koleksi komik yang baru aja saya dapet, yang sebenernya nggak penting-penting banget dan mungkin nggak ada yang peduli.

Bener-bener beda kelas.

Saya semakin kasihan sama diri sendiri setelah melihat postingan di blog ini yang dengan pedenya bilang ganti tagline 'DIARY TEACHER KEDER', sesumbarnya mau ngomongin hal-hal nyeleneh sebagai guru.

Sekarang kalian bisa lihat, kenyataannya... nol. Belum satu pun saya nulis keresahan saya sebagai guru sejak postingan itu saya publikasikan. Saya jadi mulai sadar kalau saya makin kesini makin bego aja. Cuma bisa kebanyakan ngomong kayak buzzer partai politik. Dimana-dimana nih ya, yang namanya orang nulis harusnya makin lama tulisannya makin bagus. Lah saya... udah lama nulis, makin lama malah makin males sampai jadi lupa gimana caranya nulis yang asik dan nggak kaku.

Jadi, ceritanya untuk kesekian kalinya saya akan mencoba belajar nulis dari awal, juga mendekatkan diri buat baca novel lebih sering lagi. Walaupun sederhana, buat saya ini resolusi yang cukup berat. Saya akan berusaha lagi.

Senin, Februari 04, 2019

Ngomelin Puncak Nasi Tumpeng - Fico Fachriza

Februari 04, 2019

Yaaap... Akhirnya bisa nulis lagi rubrik #Ngomel (Ngomongin Novel) di blog ini, dan kali ini yang mau saya omongin adalah bukunya Fico Fachriza yang kedua berjudul Puncak Nasi Tumpeng.

Buku ini sebenarnya udah lumayan lama berlalu lalang dalam kehidupan saya, namun waktu itu saya belum tergerak untuk membeli buku ini karena memang sepertinya kurang heboh kasak-kusuknya. Entah karena memang nasib novel genre komedi yang sedang lesu atau karena memang novelnya yang biasa saja.

Sampai suatu hari, mendadak kerinduan saya akan novel-novel komedi memuncak dan sepertinya harus dituntaskan. Maka, saya mulai bergerilya mencari referensi novel komedi yang baru pada terbit.

Mencari novel komedi di era bajak laut seperti sekarang ini ternyata lumayan susah juga, mungkin karena novel genre komedi sepertinya sudah tidak terlalu dilirik sama sekali oleh penerbit. Akhirnya, setelah hampir nyerah.. saya kepikiran sama novelnya Fico yang satu ini.

Waktu itu saya sempet mau beli lewat online di Bukalapak. Apesnya, yang jual buku ini udah mulai jarang banget. Sempat nemu satu seller yang masih punya stoknya, tapi harus terganjal oleh ongkir yang pilihannya cuma ada JNE dan lumayan mahal sekitar 27.000 rupiah.

Buat kalian yang sering belanja di Bukalapak pasti tahu kalau ekspedisi JNE cuma ada pilihan REG nggak ada yang OKE. Maka, saya pun mengurungkan niat karena rasanya sayang untuk beli satu buku harus ngeluarin ongkir yang menurut saya lumayan.

Untungnya, akhir pekan kemudian saya sama istri ada niatan pergi ke kota Tegal. Maka, saya pun sengaja nyempetin mampir ke Gramedia Rita Mall dan nemu Puncak Nasi Tumpeng ini teronggok di rak kedua paling bawah. Kalau nggak membungkuk dan menajamkan penglihatan, niscaya buku ini sulit dilihat untuk mata manusia biasa karena beretumpuk dengan buku lainnya yang berwarna-warni.

Ekspektasi saya untuk buku ini memang lumayan tinggi, setidaknya bisa mengembalikan saya pada masa di mana novel genre komedi berjaya luar biasa, masa di mana yang namanya kumpulan tweet saja bisa jadi buku. Walaupun saya tahu buku semacam itu nggak lucu, setidaknya banyak novel genre komedi berkualitas yang menguasai rak buku di setiap gramedia.

Puncak Nasi Tumpeng ini masih diterbitkan sama penerbit bukune, yang akhirnya juga harus menyerah untuk menerbitkan novel-novel komedi dan berpindah ke genre lain. Novel Fico ini mungkin salah satu pengecualian, ya.

Seperti novel komedi terbitan bukune pendahulunya. Buku ini tidak ada daftar isinya, sepertinya kita memang diminta untuk menikmati setiap lembar demi lembar semacam biar surprise gitu. Yang kedua, tentu saja pembatas buku tidak hadir dalam novel ini. Mungkin sepele sih, tapi tetap saja ini penting. Masa iya sih, nyelipin pembatas buku saja Bukune jadi penuh perhitungan gini.

Buku ini dibuka dengan bab Bumi Itu Bulat, bercerita tentang Fico yang tadinya bukan siapa-siapa dan sering dijulidin sama Ibu-Ibu komplek sebagai anak yang tidak berguna, mendadak penilaiannya berubah sejak ikut SUCI 3 di KompasTV.

Kisah Fico selama ikut SUCI 3 diceritain di sini yang di dalamnya ada juga tentang celetukan Arie Kriting yang seolah bisa membaca masa depan.

Bab Kedua, berjudul Jalan-Jalan Itu Nagih. Bab ini nyeritain tentang Fico sesudah kelar ikutan SUCI 3 dan dapet program The Tour Suci 3 di mana semua finalis harus ikut. Sayangnya, ini jadi masalah buat Fico yang nggak bisa lama-lama ninggalin rumah. Takut jadi kangen berat sama rumah dan seisinya.

Seperti novel genre komedi kebanyakan, tentu saja akan lebih afdol kalau di dalamnya juga diisi dengan kisah cinta penulisnya. Nah, buku ini pun begitu, di bab keempat yang berjudul Cinta Itu Luka. Fico nyeritain tentang dirinya yang deket sama cewek SMP. Iya, SMP! Unik banget. Tapi entah teteknya udah tumbuh apa belum, ya. Saya malah kepikiran jangan-jangan waktu itu teteknya malah masih gedean punya Fico, haha ...

 Tapi untung ketemuanya bukan sama cewek SD, ya.. :D

Dalam bab ini, Fico ngerasa nyambung banget sama cewek SMP yang bernama Acha, yang menurutnya adalah orang yang tepat untuk diajak ngobrol apa adanya, nggak perlu sampai sok hebat segala. Benar-benar sebuah hubungan yang sangat mulus tanpa terkendala apa pun.

Sampai pada akhirnya, suatu hal terjadi, dan...baca sendiri deh, ya biar lebih afdol dan nggak spoiler juga.

Skip langsung ke bab tujuh yang berjudul Dunia Itu Fana, Begitu Juga Cinta. Fico ceritanya kenal sama seorang cewek di Twitter yang biasa dipanggil Elga. Setelah melalui proses berbalas mention dan berlanjut DM. Mereka akhirnya tuker-tukeran nomor HP dan tentu saja ngerasa nyambung banget ngobrolnya.

Setiap hari mereka berdua jadi sering curhat dan Fico bener-bener kesengsem sampai merasa dia dilahirkan di bumi ini hanya untuk menjaga Elga. Nah, buat kalian yang berpikir suatu saat mau baca buku ini. Paragraf selanjutnya sebaiknya diskip ya. Karena khusus bab ini sepertinya saya mau berbagi spoiler, ya tapi nggak sampai keterlaluan sih. Soalnya kalau nggak salah dulu saya pernah baca twitnya @shitlicious yang bahas masalah di bab ini.

Jadi, kehidupan Elga ini ternyata memprihatinkan banget. Sudah nikah, dan jadi korban KDRT sama suaminya. Bahkan Elga pernah didorong suaminya jadi kepentok meja, berdarah dan kandungannya jadi sampai keguguran.

Fico yang denger cerita ini jadi semakin mantap untuk menyerahkan dirinya menjaga Elga dari kerasnya dunia ini. Sampai akhirnya, Fico dan Elga ini resmi pacaran. Bahkan Fico sampai mendeklarasikan hubungannya dengan Elga di Twitter dengan hashtag #ficopunyapacar yang bahkan sampai trending.

Sampai pada suatu hari, Alitt (@shitlicious) menyadarkan Fico bahwa semua ini adalah fana. Seperti kata biksu yang doyan travelling bareng muridnya, Tong Sam Chong bahwa kosong adalah isi, isi adalah kosong. Ternyata Elga sebenarnya nggak ada. Fico sempat tidak percaya, namun setelah ditunjukin sama Alitt, Fico baru sadar kalau ternyata selama ini Elga yang setiap hari diajak ngobrol dan cerita ini itu ternyata entah seperti apa, yang jelas bukan seperti yang ada dalam ava di Twitternya. Ya, Elga ini ternyata akun bodong.

Kata-kata “Hahaha! Guoblokkkk!” yang diucapkan Alitt ke Fico ini, sepertinya mewakili para pembaca buku ini yang tentu juga ingin ngatain Fico. Ya, gimana, ya... masa iya Fico bisa ngobrol banyak hal dan akhirnya pacaran ternyata belum pernah ketemu di dunia asli. Heran banget asli, deh.

Bab sembilan ceritanya nyambung ke bab sepuluh yang berjudul Puncak Itu Tinggi Sekali. Berawal dari Fico yang ngerasa hidupnya datar banget seperti berada di puncak titik jenuh. Fico ngerasa perlu ngelakuin hal yang belum pernah lakuin, dan itu adalah naik gunung bareng temennya Bibir dan Jepoy.

Mereka berdua adalah sahabat Fico dari jaman SMP yang sempat berjauhan karena kesibukan pekerjaan masing-masing. Setelah melalui proses yang ribet dan berbeit-belit itu, akhirnya rencana mereka bertiga nggak hanya sekedar jadi wacana.

Mereka bertiga mantap untuk naik gunung di gunung Merbabu. Suka duka tiga orang ini diceritain lengkap mulai dari naik sampai turun, yang akhirnya membuat Fico sadar kalau Bibir dan Jepoy ini adalah sahabat terbaiknya yang bener-bener bisa diandalkan.

*** 

Kalau melihat genrenya yang komedi, seharusnya buku ini sukses membuat saya tertawa atau minimal membuat saya cengengesan. Sayangnya, buku ini gagal untuk menunaikan tugasnya. Bisa dibilang Fico masih belum sanggup untuk membuat tulisan selucu saat dia Stand Up Comedy.

Di dalam buku ini ada beberapa bab yang menurut saya bahkan rasanya datar banget. Lucu enggak, sedih enggak, keren enggak, jelek juga enggak. Ya, biasa banget lah. Saya bahkan butuh berhari-hari untuk menyelesaikan novel ini.

Untuk penggunaan judul Puncak Nasi Tumpeng juga menurut saya agak terlalu memaksakan. Analogi yang digunakan untuk menghubungkan makna cerita di bab terakhir dengan puncak nasi tumpeng saya rasa terlalu biasa, nggak mengena. Mungkin judul Puncak Nasi Tumpeng ini dipakai karena Fico ingin mempertahankan ciri khas dalam setiap bukunya yaitu yang berbau makanan, seperti halnya Raditya Dika yang judul bukunya selalu diambil dari nama hewan.

Walaupun begitu, buku ini tidak bisa dibilang mengecewakan. Secara tidak langsung, buku ini juga membuat saya banyak belajar dari kisah-kisah Fico. Banyak juga hal positif yang bisa diambil dari setiap bab di buku ini.

Jadi, walaupun buku ini tidak begitu lucu. Saya tidak merasa menyesal sudah membeli buku ini. Seandainya nanti Fico menerbitkan buku lagi pun, saya tidak kapok untuk membelinya.

Sabtu, Desember 08, 2018

Ngomelin Lambe Akrobat - Agus Mulyadi

Desember 08, 2018

Setelah sekian lama tidak ada progressnya. Saya mencoba mengisi kembali rubrik #Ngomel a.k.a Ngomongin Novel di blog ini. Nah, untuk edisi kali ini saya mau ngomongin novelnya Agus Mulyadi. Seorang blogger asal Magelang yang sebelumnya sudah menerbitkan tiga buku (kalau nggak salah).

Sebenarnya sudah lama saya absen beli novel dengan genre komedi. Alasannya karena pertama, harga novel yang semakin hari semakin mahal. Kedua, buku komedi sekarang sudah semakin susah dicari. Ketiga, kalaupun ada novel genre komedi, saya nggak tahu bukunya beneran lucu apa enggak.

Ya.. buku komedi di era hoax seperti sekarang ini memang terlihat memprihatinkan. Hidup segan, mati pun enggan. Sejak era keemasan selebtweet berakhir, buku komedi jadi ibarat seperti HP Nokia. Dulunya sangat digemari, sekarang benar-benar ditinggalkan.

Dulu, waktu masih jadi mahasiswa. Hampir setiap ada novel komedi terbaru saya selalu menyempatkan diri untuk beli setelah beberapa hari rela mengakrabkan diri dengan mie instan. Sekarang, disaat novel komedi begitu jarang muncul. Sekalinya ada, saya sering ragu buat beli. Khawatir bukunya garing, padahal harganya mahal.

Beberapa waktu yang lalu, disaat saya refreshing ke kota Tegal dan menyempatkan mampir ke Gramedia Rita Mall. Mendadak saya jadi kangen sama novel genre komedi. Beberapa rak buku coba saya puterin, tapi belum ada satu pun novel komedi yang membuat saya tergoda.

Sampai akhirnya, setelah saya jongkok dan mengais-ngais rak buku kedua dari bawah. Saya menemukan buku Agus Mulyadi yang berjudul Lambe Akrobat. Sebelumnya, saya sempat lihat beberapa kali buku ini lewat di linimasa Twitter saya.

Agus Mulyadi bukan seorang yang asing buat saya karena saya juga sudah membaca dua buku Agus Mulyadi sebelumnya yang berjudul Jomblo Tapi Hafal Pancasila dan Bergumul dengan Gusmul. Dua bukunya itu adalah hasil dari tulisan yang pernah ditulis di blognya lalu ditambah dengan beberapa tulisan baru.

Sebenarnya saya bukan pembaca setia blognya Agus. Bahkan jarang sekali saya berkunjung ke blognya Agus. Karena itu, bagi saya walaupun tulisan di buku Agus ini merupakan kumpulan dari tulisan blognya, bagi saya itu nggak masalah.

Setelah meyakinkan diri untuk beberapa saat akhirnya saya memutuskan untuk membeli buku Lambe Akrobat dan satu lagi bukunya Fico Fachriza yang berjudul Puncak Nasi Tumpeng.

Alhamdulillah... akhirnya memang saya tidak menyesal membeli buku Lambe Akrobat ini. Baru beberapa lembar baca aja, buku ini sudah berhasil untuk membuat saya cengar-cengir. Memang, salah satu ciri khas Agus yang saya suka adalah Agus punya banyak sekali kosakata dalam menulis, diksinya bikin geli. Hal itu dipadukan dengan campuran bahasa jawa Magelang yang membuat saya jadi semakin betah membaca.

Di buku Lambe Akrobat ini ada dua bab utama, yang pertama Keluarga Hansip dan yang kedua Marcopolo dan Geng Koplo.

Bab pertama terbagi lagi ke dalam tujuh belas cerita yang menceritakan suka duka sebagai keluarga hansip. Yang juga lebih berfokus menceritakan betapa superiornya bapak Agus yang bernama Trimo Mulgiyanto.


Dua halaman di bab pertama yang berjudul Seni Menjawab dengan Taktis sukses membuat saya cengar-cengir. Jadi, ceritanya Agus ini merasa punya firasat kalau bapaknya sebenarnya punya bakat untuk menjadi seorang tokoh besar. Seperti tokoh-tokoh besar lainnya yang kalau mendapat pertanyaan mendadak selalu bisa menjawab dengan santai dan penuh makna. Begitu juga dengan bapaknya Agus.

Ketika itu Agus bertanya, “Pak, apakah bapak bisa bertahan hidup selama seminggu dengan uang lima ratus rupiah?”

Sang Bapak menjawab dengan mantap, “bisa.”, lalu Bapak melanjutkan, “Lima ratus tak belikan aqua gelas. Airnya tak minum, terus gelasnya buat ngemis.”

Saya mendadak cengar-cengir dan ikutan yakin Bapaknya Agus ini memang punya bakat untuk jadi orang besar.

Cerita tentang bapaknya Agus ini memang unik dan haha banget. Mulai dari bapaknya Agus yang pernah dihukum sama tentara karena suatu hal, tentang bapaknya Agus yang hampir pernah ikutan yang namanya pesugihan terlarang sampai Agus kecil yang pernah sengaja ditinggalin bapaknya di sebuah kebun dan akhirnya Agus jadi sakit-sakitan karena katanya ‘kesambet’.

Saya yakin, tidak semua orang bisa menceritakan kisah bapaknya sendiri dengan gaya penulisan yang nyentrik ini. Saya yakin juga, tidak semua orang punya bapak yang kisahnya banyak ajaib seperti bapaknya Agus ini.

Bab utama yang kedua, Agus banyak menceritakan tentang Marcopolo dan Geng Koplo. Salah satunya ada cerita berjudul Tawakal Kaum Gentho yang menceritakan tentang salah satu pertandingan panas klub sepakbola kebanggaan kota Magelang yaitu PPSM melawan Persis Solo.


Seperti yang sudah bisa ditebak ending khas liga sepakbola Indonesia. Kedua pertandingan ini pun berakhir ricuh. Teman Agus yang bernama Marcopolo tentu saja tidak mau ketinggalan untuk ikut berpartisipasi di acara tawuran massal ini.

Paijo, teman Marcopolo yang khawatir akan hal-hal buruk di momen tawuran ini. Mengingatkan Marcopolo dengan berkata, Ojo kemajon, Su, kowe ki ra nganggo helm, keno watu bocor ndasmu,”

Namun seakan tidak takut menghadapi kemungkinan terburuk dari insiden tawuran ini. Marcopolo mengeluarkan sabdanya yang penuh bobot, “Mati-urip ki nang tangane Gusti Alloh, ora nang tangane Pasoepati, Su!”

Luar biasa, sekali.

Secara kesuluruhan buku yang diterbitkan oleh Mojok ini ada cukup banyak bab yaitu 33 bab. Maklum aja sih, soalnya setiap bab rata-rata ceritanya tidak terlalu panjang. Walaupun begitu, semuanya selalu enak dibaca.

Di akhir buku ini juga ada semacam kamus kecil-kecilan buat yang nggak paham sama bahasa jawa yang dipakai dalam buku ini. Mungkin, buat orang yang nggak ngerti bahasa jawa, jadi kurang bisa menikmati isi buku ini karena kendala bahasa. Tapi buat orang yang paham bahasa jawa. Buku ini nggak ada salahnya buat dijadikan salah satu buku yang layak buat dibaca.

About Us

DiaryTeacher Keder

Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.




Random

randomposts