Selasa, Juni 18, 2019

Susah Nulis

Juni 18, 2019

Akhir-akhir ini hidup saya beneran terasa sangat biasa-biasa aja. Bahkan kemampuan nulis saya pun jadi lebih biasa-biasa aja dari biasa-biasa aja sebelumnya.

Beneran deh, saya seperti sudah kehilangan kemampuan untuk menulis yang nggak tau malu kayak dulu. Saking nggak mampunya, udah banyak hal yang saya lewati selama ini tapi belum ada satu pun yang bisa saya tuangkan ke dalam blog. Padahal, niatnya saya bikin blog biar bisa nulis keseharian atau pengalaman hidup saya. Nyatanya, setiap buka microsoft word dan siap buat nulis, tangan saya mendadak gemetar. Otak  saya mendadak kaku, nggak tau mau ngapain. Akhirnya, jadi main PES di laptop sampai lupa waktu.

Rasanya saya jadi kasihan sama diri sendiri mengingat dulu sering banget sok-sokan ngasih motivasi ke blogger lainnya buat rajin nulis, buat rajin bikin postingan di blog, sampai buat rajin blogwalking.

Sekarang justru sendirinya jadi nggak bisa rajin nulis dan terlalu sibuk menikmati kemalesannya. Saking menyedihkannya tulisan saya yang sekarang, bahkan sampai ada yang komen di blog tulisan saya yang sekarang seperti tulisan bapak-bapak.

Ya Allah…  dia nggak tau aja, kalau saya lagi agak-agak depresi kehilangan kemampuan nulis kayak dulu. Sekarang, saya justru merasa kalau kemampuan menulis saya udah sampai di titik 'kampret, kaku banget nih orang tulisannya kayak bapak-bapak. Mending mati aja deh lu!"

Tulisan kali ini aja benar-benar saya paksakan setelah sekian lama saya nggak pernah nulis sama sekali. Sumpah, kaku banget rasanya! Niatnya pengen bisa tetep nulis komedi, tapi bikin satu punchline biar bisa lucu aja nggak kebayang sama sekali. Saya yang sekarang sudah terlalu jauh berubah dari saya yang dulu. 

Sebenernya wajar sih, tulisan saya jadi sekaku ini soalnya udah lama saya jarang baca novel, bahkan udah lama banget. Hasilnya, emang jadi ngaruh banget sama kemampuan nulis saya di blog.

Saya emang terlalu banyak menghabiskan waktu untuk hal yang kurang berguna. Beli komik terus-terusan tapi nggak diiringi sama semangat membaca yang tinggi misalnya. Akhirnya, komik yang udah dibeli hanya beberapa aja yang dibaca, sisanya cuma ditumpuk. Resiko banyak berteman sama penjual buku di Facebook ternyata emang riskan, liat penjual posting buku murah dikit langsung khilaf, begitu buku sampe rumah malah cuma digletakin aja. Kadang saya jadi kesel sama diri sendiri karena lemah sama urusan menahan diri. 

Disaat temen-temen lain udah pada sukses. Mulai dari jadi dosen sampe ketrima PNS. Hidup saya masih standar aja, sebatas inbox-an sama penjual buku di Facebook sambil jadi guru SD yang datang, ngajar, pulang. Nggak ada hal berguna lainnya.

Disaat temen-temen lain upload foto ngomongin kesuksesan hidupnya. Saya malah uploadnya foto koleksi komik yang baru aja saya dapet, yang sebenernya nggak penting-penting banget dan mungkin nggak ada yang peduli.

Bener-bener beda kelas.

Saya semakin kasihan sama diri sendiri setelah melihat postingan di blog ini yang dengan pedenya bilang ganti tagline 'DIARY TEACHER KEDER', sesumbarnya mau ngomongin hal-hal nyeleneh sebagai guru.

Sekarang kalian bisa lihat, kenyataannya... nol. Belum satu pun saya nulis keresahan saya sebagai guru sejak postingan itu saya publikasikan. Saya jadi mulai sadar kalau saya makin kesini makin bego aja. Cuma bisa kebanyakan ngomong kayak buzzer partai politik. Dimana-dimana nih ya, yang namanya orang nulis harusnya makin lama tulisannya makin bagus. Lah saya... udah lama nulis, makin lama malah makin males sampai jadi lupa gimana caranya nulis yang asik dan nggak kaku.

Jadi, ceritanya untuk kesekian kalinya saya akan mencoba belajar nulis dari awal, juga mendekatkan diri buat baca novel lebih sering lagi. Walaupun sederhana, buat saya ini resolusi yang cukup berat. Saya akan berusaha lagi.

Senin, Februari 04, 2019

Ngomelin Puncak Nasi Tumpeng - Fico Fachriza

Februari 04, 2019

Yaaap... Akhirnya bisa nulis lagi rubrik #Ngomel (Ngomongin Novel) di blog ini, dan kali ini yang mau saya omongin adalah bukunya Fico Fachriza yang kedua berjudul Puncak Nasi Tumpeng.

Buku ini sebenarnya udah lumayan lama berlalu lalang dalam kehidupan saya, namun waktu itu saya belum tergerak untuk membeli buku ini karena memang sepertinya kurang heboh kasak-kusuknya. Entah karena memang nasib novel genre komedi yang sedang lesu atau karena memang novelnya yang biasa saja.

Sampai suatu hari, mendadak kerinduan saya akan novel-novel komedi memuncak dan sepertinya harus dituntaskan. Maka, saya mulai bergerilya mencari referensi novel komedi yang baru pada terbit.

Mencari novel komedi di era bajak laut seperti sekarang ini ternyata lumayan susah juga, mungkin karena novel genre komedi sepertinya sudah tidak terlalu dilirik sama sekali oleh penerbit. Akhirnya, setelah hampir nyerah.. saya kepikiran sama novelnya Fico yang satu ini.

Waktu itu saya sempet mau beli lewat online di Bukalapak. Apesnya, yang jual buku ini udah mulai jarang banget. Sempat nemu satu seller yang masih punya stoknya, tapi harus terganjal oleh ongkir yang pilihannya cuma ada JNE dan lumayan mahal sekitar 27.000 rupiah.

Buat kalian yang sering belanja di Bukalapak pasti tahu kalau ekspedisi JNE cuma ada pilihan REG nggak ada yang OKE. Maka, saya pun mengurungkan niat karena rasanya sayang untuk beli satu buku harus ngeluarin ongkir yang menurut saya lumayan.

Untungnya, akhir pekan kemudian saya sama istri ada niatan pergi ke kota Tegal. Maka, saya pun sengaja nyempetin mampir ke Gramedia Rita Mall dan nemu Puncak Nasi Tumpeng ini teronggok di rak kedua paling bawah. Kalau nggak membungkuk dan menajamkan penglihatan, niscaya buku ini sulit dilihat untuk mata manusia biasa karena beretumpuk dengan buku lainnya yang berwarna-warni.

Ekspektasi saya untuk buku ini memang lumayan tinggi, setidaknya bisa mengembalikan saya pada masa di mana novel genre komedi berjaya luar biasa, masa di mana yang namanya kumpulan tweet saja bisa jadi buku. Walaupun saya tahu buku semacam itu nggak lucu, setidaknya banyak novel genre komedi berkualitas yang menguasai rak buku di setiap gramedia.

Puncak Nasi Tumpeng ini masih diterbitkan sama penerbit bukune, yang akhirnya juga harus menyerah untuk menerbitkan novel-novel komedi dan berpindah ke genre lain. Novel Fico ini mungkin salah satu pengecualian, ya.

Seperti novel komedi terbitan bukune pendahulunya. Buku ini tidak ada daftar isinya, sepertinya kita memang diminta untuk menikmati setiap lembar demi lembar semacam biar surprise gitu. Yang kedua, tentu saja pembatas buku tidak hadir dalam novel ini. Mungkin sepele sih, tapi tetap saja ini penting. Masa iya sih, nyelipin pembatas buku saja Bukune jadi penuh perhitungan gini.

Buku ini dibuka dengan bab Bumi Itu Bulat, bercerita tentang Fico yang tadinya bukan siapa-siapa dan sering dijulidin sama Ibu-Ibu komplek sebagai anak yang tidak berguna, mendadak penilaiannya berubah sejak ikut SUCI 3 di KompasTV.

Kisah Fico selama ikut SUCI 3 diceritain di sini yang di dalamnya ada juga tentang celetukan Arie Kriting yang seolah bisa membaca masa depan.

Bab Kedua, berjudul Jalan-Jalan Itu Nagih. Bab ini nyeritain tentang Fico sesudah kelar ikutan SUCI 3 dan dapet program The Tour Suci 3 di mana semua finalis harus ikut. Sayangnya, ini jadi masalah buat Fico yang nggak bisa lama-lama ninggalin rumah. Takut jadi kangen berat sama rumah dan seisinya.

Seperti novel genre komedi kebanyakan, tentu saja akan lebih afdol kalau di dalamnya juga diisi dengan kisah cinta penulisnya. Nah, buku ini pun begitu, di bab keempat yang berjudul Cinta Itu Luka. Fico nyeritain tentang dirinya yang deket sama cewek SMP. Iya, SMP! Unik banget. Tapi entah teteknya udah tumbuh apa belum, ya. Saya malah kepikiran jangan-jangan waktu itu teteknya malah masih gedean punya Fico, haha ...

 Tapi untung ketemuanya bukan sama cewek SD, ya.. :D

Dalam bab ini, Fico ngerasa nyambung banget sama cewek SMP yang bernama Acha, yang menurutnya adalah orang yang tepat untuk diajak ngobrol apa adanya, nggak perlu sampai sok hebat segala. Benar-benar sebuah hubungan yang sangat mulus tanpa terkendala apa pun.

Sampai pada akhirnya, suatu hal terjadi, dan...baca sendiri deh, ya biar lebih afdol dan nggak spoiler juga.

Skip langsung ke bab tujuh yang berjudul Dunia Itu Fana, Begitu Juga Cinta. Fico ceritanya kenal sama seorang cewek di Twitter yang biasa dipanggil Elga. Setelah melalui proses berbalas mention dan berlanjut DM. Mereka akhirnya tuker-tukeran nomor HP dan tentu saja ngerasa nyambung banget ngobrolnya.

Setiap hari mereka berdua jadi sering curhat dan Fico bener-bener kesengsem sampai merasa dia dilahirkan di bumi ini hanya untuk menjaga Elga. Nah, buat kalian yang berpikir suatu saat mau baca buku ini. Paragraf selanjutnya sebaiknya diskip ya. Karena khusus bab ini sepertinya saya mau berbagi spoiler, ya tapi nggak sampai keterlaluan sih. Soalnya kalau nggak salah dulu saya pernah baca twitnya @shitlicious yang bahas masalah di bab ini.

Jadi, kehidupan Elga ini ternyata memprihatinkan banget. Sudah nikah, dan jadi korban KDRT sama suaminya. Bahkan Elga pernah didorong suaminya jadi kepentok meja, berdarah dan kandungannya jadi sampai keguguran.

Fico yang denger cerita ini jadi semakin mantap untuk menyerahkan dirinya menjaga Elga dari kerasnya dunia ini. Sampai akhirnya, Fico dan Elga ini resmi pacaran. Bahkan Fico sampai mendeklarasikan hubungannya dengan Elga di Twitter dengan hashtag #ficopunyapacar yang bahkan sampai trending.

Sampai pada suatu hari, Alitt (@shitlicious) menyadarkan Fico bahwa semua ini adalah fana. Seperti kata biksu yang doyan travelling bareng muridnya, Tong Sam Chong bahwa kosong adalah isi, isi adalah kosong. Ternyata Elga sebenarnya nggak ada. Fico sempat tidak percaya, namun setelah ditunjukin sama Alitt, Fico baru sadar kalau ternyata selama ini Elga yang setiap hari diajak ngobrol dan cerita ini itu ternyata entah seperti apa, yang jelas bukan seperti yang ada dalam ava di Twitternya. Ya, Elga ini ternyata akun bodong.

Kata-kata “Hahaha! Guoblokkkk!” yang diucapkan Alitt ke Fico ini, sepertinya mewakili para pembaca buku ini yang tentu juga ingin ngatain Fico. Ya, gimana, ya... masa iya Fico bisa ngobrol banyak hal dan akhirnya pacaran ternyata belum pernah ketemu di dunia asli. Heran banget asli, deh.

Bab sembilan ceritanya nyambung ke bab sepuluh yang berjudul Puncak Itu Tinggi Sekali. Berawal dari Fico yang ngerasa hidupnya datar banget seperti berada di puncak titik jenuh. Fico ngerasa perlu ngelakuin hal yang belum pernah lakuin, dan itu adalah naik gunung bareng temennya Bibir dan Jepoy.

Mereka berdua adalah sahabat Fico dari jaman SMP yang sempat berjauhan karena kesibukan pekerjaan masing-masing. Setelah melalui proses yang ribet dan berbeit-belit itu, akhirnya rencana mereka bertiga nggak hanya sekedar jadi wacana.

Mereka bertiga mantap untuk naik gunung di gunung Merbabu. Suka duka tiga orang ini diceritain lengkap mulai dari naik sampai turun, yang akhirnya membuat Fico sadar kalau Bibir dan Jepoy ini adalah sahabat terbaiknya yang bener-bener bisa diandalkan.

*** 

Kalau melihat genrenya yang komedi, seharusnya buku ini sukses membuat saya tertawa atau minimal membuat saya cengengesan. Sayangnya, buku ini gagal untuk menunaikan tugasnya. Bisa dibilang Fico masih belum sanggup untuk membuat tulisan selucu saat dia Stand Up Comedy.

Di dalam buku ini ada beberapa bab yang menurut saya bahkan rasanya datar banget. Lucu enggak, sedih enggak, keren enggak, jelek juga enggak. Ya, biasa banget lah. Saya bahkan butuh berhari-hari untuk menyelesaikan novel ini.

Untuk penggunaan judul Puncak Nasi Tumpeng juga menurut saya agak terlalu memaksakan. Analogi yang digunakan untuk menghubungkan makna cerita di bab terakhir dengan puncak nasi tumpeng saya rasa terlalu biasa, nggak mengena. Mungkin judul Puncak Nasi Tumpeng ini dipakai karena Fico ingin mempertahankan ciri khas dalam setiap bukunya yaitu yang berbau makanan, seperti halnya Raditya Dika yang judul bukunya selalu diambil dari nama hewan.

Walaupun begitu, buku ini tidak bisa dibilang mengecewakan. Secara tidak langsung, buku ini juga membuat saya banyak belajar dari kisah-kisah Fico. Banyak juga hal positif yang bisa diambil dari setiap bab di buku ini.

Jadi, walaupun buku ini tidak begitu lucu. Saya tidak merasa menyesal sudah membeli buku ini. Seandainya nanti Fico menerbitkan buku lagi pun, saya tidak kapok untuk membelinya.

Selasa, Desember 18, 2018

Perihal E'ek yang Datang Tiba-Tiba

Desember 18, 2018
Setelah sekian lama lupa akan sensasi menghadapi fenomena anak yang e’ek di celana. Kali ini saya dipaksa untuk mengingat kembali semua itu setelah satu bulan kemarin ada dua anak yang secara sukarela mengingatkan saya agar saya tanggap terhadap hal-hal yang berbau e’ek di celana.

Kasus yang pertama
Terjadi pada suatu siang menjelang istirahat yang kedua. Seorang anak laki-laki seukuran Daus Mini tatapannya kosong dan enggan beranjak dari tempat duduknya. Sebut saja Fahri, anak kelas tiga yang sehari-harinya pendiam dan suka bermusyawarah ini, siang itu terlihat lebih diam dari sehari-harinya.

Berbeda dengan insiden ‘siapa yang kentut?’, di mana yang kentut biasanya justru yang berteriak paling lantang mengatakan, “Woy.. siapa yang kentut nih? Bau banget sumpah! Pasti kamu, ya?!” sambil tangan kiri nutupin hidung, tangan kanan nunjuk temannya.

Perkara e’ek di celana memang jauh lebih krusial dari kentut-mengentut karena orang yang e’ek sudah pasti tidak bisa berteriak lantang sambil nuduh yang lain karena tingkat baunya jauh lebih tinggi, dan tentu saja yang nuduh nggak bisa bangkit dari tempat duduknya sambil nunjuk temennya karena pasti akan terlihat jelas noda yang tercipta di celana bagian belakangnya.

Begitu juga dengan Fahri, yang siang itu lebih memilih diam. Ya... mungkin sedang fokus mencari jalan keluar untuk masalah e’ek yang sedang dihadapi. Mau lari ke toilet, rute perjalanannya lumayan sulit, harus melewati beberapa tempat duduk yang dihuni beberapa siswa lain, harus melewati pintu kelas yang juga sedang ramai oleh anak-anak, dan tentu saja masih harus melewati lorong kelas yang masih ramai oleh anak-anak kelas lain. Ini jelas rute yang jauh lebih sulit dibandingkan dengan rintangan Benteng Takeshi.

Melihat situasi yang sulit itu, Fahri pun lebih memilih pasrah... dan menangis. Iya, solusinya memang sederhana. Menangis.

Hanya itu yang bisa dipikirkan oleh seorang anak laki-laki kelas tiga yang tidak tahu harus berbuat apa saat dirinya tidak bisa mengontrol e’ek di dalam perutnya yang harus keluar dengan tiba-tiba.

Beruntung, saat itu saya sedang keluar karena harus memfotocopy soal ulangan. Tidak beruntung, Partner kelas saya yang biasa disebut Pak Virgoun, harus turun gunung mengunjungi kelas setelah mendapat laporan dari warga kelas akan datangnya aroma familiar yang tidak nikmat dihisap dalam-dalam.

Btw, di sekolah saya memang ada partner guru lain yang tugasnya untuk membimbing anak-anak sholat dhuha di pagi hari dan sholat dhuhur sebelum istirahat kedua. Selain membimbing sholat, Pak Virgoun juga bertugas mengajar mengaji dan hafalan surat pendek.

Begitu saya kembali ke kelas, semua persoalan sudah berhasil diselesaikan dengan cantik oleh Pak Virgoun. Fahri sudah mengenakan celana olahraga dan seragam batik kebesaran yang merupakan pinjaman dari sekolah. Meskipun begitu, Fahri tetap terisak setelah melihat wali kelasnya yang tidak berguna ini datang blusukan ke tempat duduknya setelah semua persoalan selesai diatasi.

Akhirnya, saya pun menelepon orangtuanya untuk meminta Fahri dijemput lebih cepat. Alhamdulillah, setelah bel pulang orang tuanya baru jemput ke sekolah. Keingina Fahri pulang lebih cepat tidak terkabulkan.

Kasus kedua
Pagi itu saya sedang menjelaskan materi untuk persiapan menghadapi Ujian Akhir Semester. Tiba-tiba, salah satu anak bergerak melata mendekati saya lalu untuk melaporkan ada salah satu warga kelas yang terindikasi melakukan aksi e’ek di celana secara sadar.

Saya yang tidak mungkin menuduh sang pelaku di depan umum karena khawatir mentalnya tercederai di-bully oleh warga lainnya. Berusaha mendekat secara alamiah sambil menajamkan indera penciuman, dan... tepat! Saya mencium aroma kegelisahan dari sang anak diiringi aroma busuk yang menampar hidung!

Tidak butuh episode yang berlarut-larut, semuanya sudah bisa dimengerti. Rafa, siswa yang lebih pendiam dari Fahri, terbukti e’ek di celana, di dalam kelas dan di tengah jam pelajaran. Tanpa memberi aba-aba terlebih dahulu.

Satu-satunya hal yang saya pikirkan saat itu adalah bagaimana caranya saya mengevakuasi Rafa ke toilet agar tidak menimbulkan kerusuhan di dalam kelas. Saya khawatir, Rafa, akan mendapat persekusi dan teriakan warga kelas lain yang tujuannya memanas-manasi keadaan.

Mau saya gendong, takut e’eknya jatuh di lantai. Mau saya gandeng, takut juga e’eknya tetap jatuh di lantai. Kali ini situasinya tidak menguntungkan buat saya karena saya ada di dalam kelas. Berarti, saya yang harus menangani semua ke-e’ek-an ini.

Langkah pertama, saya meminta Rafa untuk ke toilet dulu dengan melangkah lurus tanpa menengok ke belakang. Masalah e’ek yang mungkin jatuh selama perjalanan itu urusan nanti, saya masih bisa menyuruh anak-anak lain untuk membersihkan kalau memang itu terjadi—yang tentu saja dengan sedikit paksaan.

Untungnya, Rafa cukup kooperatif pagi itu. Rafa sadar dirinya butuh bantuan dan gurunya yang tidak berkarisma ini sudah membukakan jalan untuknya melarikan diri ke toilet. Setelah Rafa berlalu, saya bersabda di kelas, “Barangsiapa di kelas ini yang ketahuan membully temennya yang e’ek di celana, niscaya adzab yang pedih akan menimpa kalian.” 

Saya diam-diam foto mereka pakai kamera HP yang sudah disetting keluar lampu kilatnya, sengaja biar anak-anak mengira itu petir kayak di sinetron adzab Indosiar. Anak-anak serempak bergidik ngeri.

Saya pun segera menyusul Rafa ke toilet. Kebetulan Fahri sudah mengembalikan baju dan celana yang dipinjamnya waktu itu. Begitu saya sampai, ternyata pintu toilet sudah terkunci. Saya hanya perlu menunggu di depan toilet sambil sesekali menahan nafas. Ventilasi udara telah berhasil mengantarkan aroma e’ek Rafa pada hidung saya.

Hari itu saya sadar, semua e’ek aromanya sama di hidung manusia. Sama-sama nusuk!

Rafa masih terdengar cebar-cebur di dalam toilet sedangkan saya tidak mau sok-sokan jadi pahlawan yang membantu proses Rafa membersihkan diri.

Saya hanya bisa memandu Rafa dari luar, mengingatkan jangan lupa cebok yang bersih, e’ek yang menempel di celana dibersihkan dan semua e’ek yang masih tersisa disiram sampai tandas.

Beberapa saat kemudian, Rafa membuka pintu tanpa rasa bersalah sama sekali. Sesaat saya berpikir, enak banget ya jadi anak-anak bisa e’ek di celana tanpa perlu menahan malu.

Saya melongok ke dalam toilet untuk memastikan semuanya sudah beres. Ternyata, masih banyak e’ek kecil-kecil bergelimpangan di lantai toilet. Aroma e’ek tidak henti-hentinya masih terus memukuli hidung saya. Ternyata, nggak sekedar menahan rindu yang berat, tapi menahan aroma e’ek juga berat.

Saya menyerahkan baju dan celana ganti pada Rafa untuk digunakan sebagaimana mestinya. Tidak lama kemudian, Rafa keluar dari kamar mandi sambil menenteng celana penuh e’eknya. Setelah saya amati, ada satu hal yang kurang dari seragam Rafa.

“Rafa, celana dalam kamu mana?”

“Udah tak pakai, Pak” Rafa menjawab dengan polos.

“Astaghfirullahaladziiiiiiim......” Saya geleng-geleng kepala melihat kepolosan Rafa. Untung ini bukan iklan Ramayana, saya ngebayanginnya kalau Rafa yang e'ek di celana ini sedang berada di dalam iklan Ramayana, mungkin setelah ini bakalan ada adegan kepala emak-emak qosidahan keluar dari lubang kakus.

Dalam hati saya teriak, “Ya ampun Rafaaa... Percuma banget dibawain celana panjang kalau akhirnya harus ditempelin sama sempak bekas taik lagiiiii....”

Ya... celana dalam bekas e’ek yang seharusnya dilepas dan diamankan, malah dipakai lagi bersama celana baru yang saya bawakan. Percumaaaaa....

Udah gitu, setelah saya amati, baju sekolah Rafa di ujung bawahnya bersinar kekuning-kuningan tanda e’ek sudah mulai menguasai seragam sekolah Rafa. 

Rafa cebok sendirian di toilet e'eknya sampai kemana-mana Ya Allaaaah.... 

Perjuangan panjang pun berakhir dengan remidinya Rafa di dalam toilet untuk membersihkan diri kedua kalinya.

Setelah itu saya minta plastik ke koperasi sekolah. Dengan hati riang saya memasukkan baju dan celana bekas e’ek Rafa ke dalam plastik karena celana baru yang saya bawakan sudah tidak berarti lagi karena ketempelan celana dalam bekas e’eknya Rafa. Saya pun berinisiatif mengantar Rafa pulang naik motor dengan mengikhlaskan jok motor saya ternoda oleh rembesan e'ek Rafa.

Pagi itu, saya serahkan Rafa ke orangtuanya untuk diganti pakaian lainnya yang bersih dan kembali ke sekolah.
***
Pelajaran yang bisa diambil dari cerita kali ini adalah walaupun hidup kita dekat dengan yang namanya e’ek dan aromanya sama-sama menusuk. Anehnya, entah kenapa kita masih sering grogi kalau menghadapi e’ek yang bukan milik kita sendiri. Padahal hampir setiap hari kita menghadapi hal itu, kan? Untuk hal ini sepertinya peribahasa rumput tetangga tebih hijau daripada rumput sendiri, tidak berlaku, ya. 

Sabtu, Desember 08, 2018

Ngomelin Lambe Akrobat - Agus Mulyadi

Desember 08, 2018

Setelah sekian lama tidak ada progressnya. Saya mencoba mengisi kembali rubrik #Ngomel a.k.a Ngomongin Novel di blog ini. Nah, untuk edisi kali ini saya mau ngomongin novelnya Agus Mulyadi. Seorang blogger asal Magelang yang sebelumnya sudah menerbitkan tiga buku (kalau nggak salah).

Sebenarnya sudah lama saya absen beli novel dengan genre komedi. Alasannya karena pertama, harga novel yang semakin hari semakin mahal. Kedua, buku komedi sekarang sudah semakin susah dicari. Ketiga, kalaupun ada novel genre komedi, saya nggak tahu bukunya beneran lucu apa enggak.

Ya.. buku komedi di era hoax seperti sekarang ini memang terlihat memprihatinkan. Hidup segan, mati pun enggan. Sejak era keemasan selebtweet berakhir, buku komedi jadi ibarat seperti HP Nokia. Dulunya sangat digemari, sekarang benar-benar ditinggalkan.

Dulu, waktu masih jadi mahasiswa. Hampir setiap ada novel komedi terbaru saya selalu menyempatkan diri untuk beli setelah beberapa hari rela mengakrabkan diri dengan mie instan. Sekarang, disaat novel komedi begitu jarang muncul. Sekalinya ada, saya sering ragu buat beli. Khawatir bukunya garing, padahal harganya mahal.

Beberapa waktu yang lalu, disaat saya refreshing ke kota Tegal dan menyempatkan mampir ke Gramedia Rita Mall. Mendadak saya jadi kangen sama novel genre komedi. Beberapa rak buku coba saya puterin, tapi belum ada satu pun novel komedi yang membuat saya tergoda.

Sampai akhirnya, setelah saya jongkok dan mengais-ngais rak buku kedua dari bawah. Saya menemukan buku Agus Mulyadi yang berjudul Lambe Akrobat. Sebelumnya, saya sempat lihat beberapa kali buku ini lewat di linimasa Twitter saya.

Agus Mulyadi bukan seorang yang asing buat saya karena saya juga sudah membaca dua buku Agus Mulyadi sebelumnya yang berjudul Jomblo Tapi Hafal Pancasila dan Bergumul dengan Gusmul. Dua bukunya itu adalah hasil dari tulisan yang pernah ditulis di blognya lalu ditambah dengan beberapa tulisan baru.

Sebenarnya saya bukan pembaca setia blognya Agus. Bahkan jarang sekali saya berkunjung ke blognya Agus. Karena itu, bagi saya walaupun tulisan di buku Agus ini merupakan kumpulan dari tulisan blognya, bagi saya itu nggak masalah.

Setelah meyakinkan diri untuk beberapa saat akhirnya saya memutuskan untuk membeli buku Lambe Akrobat dan satu lagi bukunya Fico Fachriza yang berjudul Puncak Nasi Tumpeng.

Alhamdulillah... akhirnya memang saya tidak menyesal membeli buku Lambe Akrobat ini. Baru beberapa lembar baca aja, buku ini sudah berhasil untuk membuat saya cengar-cengir. Memang, salah satu ciri khas Agus yang saya suka adalah Agus punya banyak sekali kosakata dalam menulis, diksinya bikin geli. Hal itu dipadukan dengan campuran bahasa jawa Magelang yang membuat saya jadi semakin betah membaca.

Di buku Lambe Akrobat ini ada dua bab utama, yang pertama Keluarga Hansip dan yang kedua Marcopolo dan Geng Koplo.

Bab pertama terbagi lagi ke dalam tujuh belas cerita yang menceritakan suka duka sebagai keluarga hansip. Yang juga lebih berfokus menceritakan betapa superiornya bapak Agus yang bernama Trimo Mulgiyanto.


Dua halaman di bab pertama yang berjudul Seni Menjawab dengan Taktis sukses membuat saya cengar-cengir. Jadi, ceritanya Agus ini merasa punya firasat kalau bapaknya sebenarnya punya bakat untuk menjadi seorang tokoh besar. Seperti tokoh-tokoh besar lainnya yang kalau mendapat pertanyaan mendadak selalu bisa menjawab dengan santai dan penuh makna. Begitu juga dengan bapaknya Agus.

Ketika itu Agus bertanya, “Pak, apakah bapak bisa bertahan hidup selama seminggu dengan uang lima ratus rupiah?”

Sang Bapak menjawab dengan mantap, “bisa.”, lalu Bapak melanjutkan, “Lima ratus tak belikan aqua gelas. Airnya tak minum, terus gelasnya buat ngemis.”

Saya mendadak cengar-cengir dan ikutan yakin Bapaknya Agus ini memang punya bakat untuk jadi orang besar.

Cerita tentang bapaknya Agus ini memang unik dan haha banget. Mulai dari bapaknya Agus yang pernah dihukum sama tentara karena suatu hal, tentang bapaknya Agus yang hampir pernah ikutan yang namanya pesugihan terlarang sampai Agus kecil yang pernah sengaja ditinggalin bapaknya di sebuah kebun dan akhirnya Agus jadi sakit-sakitan karena katanya ‘kesambet’.

Saya yakin, tidak semua orang bisa menceritakan kisah bapaknya sendiri dengan gaya penulisan yang nyentrik ini. Saya yakin juga, tidak semua orang punya bapak yang kisahnya banyak ajaib seperti bapaknya Agus ini.

Bab utama yang kedua, Agus banyak menceritakan tentang Marcopolo dan Geng Koplo. Salah satunya ada cerita berjudul Tawakal Kaum Gentho yang menceritakan tentang salah satu pertandingan panas klub sepakbola kebanggaan kota Magelang yaitu PPSM melawan Persis Solo.


Seperti yang sudah bisa ditebak ending khas liga sepakbola Indonesia. Kedua pertandingan ini pun berakhir ricuh. Teman Agus yang bernama Marcopolo tentu saja tidak mau ketinggalan untuk ikut berpartisipasi di acara tawuran massal ini.

Paijo, teman Marcopolo yang khawatir akan hal-hal buruk di momen tawuran ini. Mengingatkan Marcopolo dengan berkata, Ojo kemajon, Su, kowe ki ra nganggo helm, keno watu bocor ndasmu,”

Namun seakan tidak takut menghadapi kemungkinan terburuk dari insiden tawuran ini. Marcopolo mengeluarkan sabdanya yang penuh bobot, “Mati-urip ki nang tangane Gusti Alloh, ora nang tangane Pasoepati, Su!”

Luar biasa, sekali.

Secara kesuluruhan buku yang diterbitkan oleh Mojok ini ada cukup banyak bab yaitu 33 bab. Maklum aja sih, soalnya setiap bab rata-rata ceritanya tidak terlalu panjang. Walaupun begitu, semuanya selalu enak dibaca.

Di akhir buku ini juga ada semacam kamus kecil-kecilan buat yang nggak paham sama bahasa jawa yang dipakai dalam buku ini. Mungkin, buat orang yang nggak ngerti bahasa jawa, jadi kurang bisa menikmati isi buku ini karena kendala bahasa. Tapi buat orang yang paham bahasa jawa. Buku ini nggak ada salahnya buat dijadikan salah satu buku yang layak buat dibaca.

About Us

DiaryTeacher Keder

Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.




Random

randomposts