Selasa, April 12, 2016

Bukalapak Vs Tokopedia

April 12, 2016
Sebelumnya gue nulis ini bukan karena gue dapet job review atau apapun, tapi cuma karena mau berbagi pengalaman aja kelebihan dan kekurangan belanja dan jualan di Bukalapak dan Tokopedia. 

Belanja online emang sekarang udah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tak terkecuali buat gue yang cuma guru SD, juga hobi transaksi belanja online. Ya, sapa tau aja suatu saat nanti kalo butuh duit gue juga bisa jual siswa gue secara online. Gue bisa pastikan kelengkapan fullset, harga nett, no nego, no tukar tambah atau barter. Jual aja, gan.

Gue kenal pertama kali toko online waktu jamannya masih tokobagusdotcom, yang sekarang ganti jadi OLX. Gara-gara Tokobagus gue pun ngerasain pertama kali sensasi ketipu toko online, sampai jutaan lagi. Bahkan nggak cuma gue yang bego, dua temen gue juga nasibnya sama. Dan Tokobagus sukses jadi surganya para penipu online waktu itu. Sementara pihak Tokobagus nggak bisa ngapa-ngapain.

Setelah Tokobagus ganti nama jadi OLX. Lalu OLX bikin slogan:  klik, ketemuan, deal. Enak banget keliatannya... Lah kalo ternyata penjualnya beda pulau, masa iya kita mesti ketemuan sampe nyebrang pulau? Nggak praktislah. Jargon: Klik, Ketemuan, Deal itu sebenernya lebih cocok buat situs layanan jodoh online. Klik fotonya, ketemuan, terus deal buat seriusan. Kalo sama-sama mau.

Sejak masalah Tokobagus yang belum bisa ngasih jaminan keamanan, muncullah toko online yang menyediakan jaminan keamanan transaksi pembeli dengan penjual. Memang sih, sekarang hampir semua toko online menjanjikan keamanan buat para pembeli, ya kecuali OLX. Tapi yang paling populer menurut gue itu cuma Tokopedia sama Bukalapak. Yang lain gue belum niat nyoba.

Jadi, Bukalapak sama Tokopedia ini punya sistem, kita beli barang, transfer uangnya ke rekening Bukalapak / Tokopedia dulu, penjual dikabarin suruh kirim barang dalam waktu tertentu. Lalu update resi, terus barang sampai ke tangan pembeli, uang baru cair ke rekening penjual.

Ini adalah sistem belanja online impian bagi warga Indonesia yang takut ketipu kalo mau transaksi.
Nah... terus mana yang lebih asik antara Tokopedia sama Bukalapak? Gue sharing pengalaman gue aja nih, nanti kalian bisa mengambil kesimpulan sendiri.

Kode Unik

Di setiap transaksi, pasti ada kode unik yang harus ditransfer buat mengenali kalo itu adalah uang yang kita transfer, mungkin biar nggak sama aja jumlah transfernya sama pembeli lain biar mudah dikenali. Misal, harga barang 20.000, nanti kita dapat kode unik, transfernya jadi 20.021. 

Kode unik yang ditransfer di Bukalapak, nantinya akan menjadi milik Bukalapak. Enggak masuk ke rekening pembeli atau penjual. Bukalapak ngambil keuntungan dari sini, kode unik yang nominalnya ratusan kali jumlah transaksi yang sehari bisa mencapai ribuan. Jos..

Sedangkan Tokopedia, kode unik yang disertakan dalam pembayaran. Nantinya akan dikembalikan ke rekening pembeli di akun Tokopedia. Nah, Tokopedia memakai kode unik buat mengenali transfer aja. Nggak ngambil keuntungan.



Cek Kualitas Barang
Bukalapak, semua feedback dari pembeli dijadikan satu. Jadi kalo mau ngecek kualitas barangnya kayak gimana, kita nggak bisa liat secara detail feedback barang yang mau dibeli karena feedback produk tercampur dengan feedback barang lainnya.



 Feedback semua penjualan dijadikan satu


Udah gitu, di Bukalapak feedback cuma ada dua. Positif dan negatif. Kalo positif berarti bagus, negatif berarti jelek. Entah itu dari segi pelayanan, kualitas barang, akurasi barang, pokonya cuma ada dua feedback aja.

Tokopedia, di setiap produk ada yang namanya fitur 'ulasan', secara mudah kita bisa lihat tingkat kepuasan pembeli sebelumnya disini. Misal, penjual memasang produk 'Buku Blogger Baper', kita bisa melihat bagaimana kualitas barang yang mau dibeli di kolom 'ulasan', juga ada rating dengan bintang minimal satu, maksimal lima yang bisa dikasih pembeli. Jadi, lebih asik aja, ada ukuran tingkat kepuasan dengan menggunakan bintang. Sama seperti di Goodreads gitu deh. Menurut gue sistem ini juga lebih transaparan. Feedback masuk di masing-masing produk. Jadi ini bisa jadi pertimbangan lebih matang, kalau bagus kita yakin beli, kalo banyak keluhan kita bisa lihat toko lain.

Feedback dan rating bintang dari satu produk saja


Info Stok Barang

Bukalapak memang menyediakan jumlah stok untuk ditampilkan di kolom produk, sayangnya kadang banyak pelapak yang punya toko offline, jadi jumlah stok pastinya kadang tidak sesuai. Kita harus kirim pesan dulu ke pelapak yang kadang nggak tahu mesti nunggu berapa lama baru dibales.

Tokopedia menyediakan fitur diskusi produk, kalau beruntung, tanpa perlu bertanya kita bisa tahu stok barang masih ready atau nggak dari pertanyaan calon pembeli sebelumnya dan balasan dari penjualnya. Karena sistemnya yang transparan kita jadi bisa tahu tanpa perlu tanya langsung. 



Dalam beberapa kesempatan, kadang diskusi produk memang kosong dari pertanyaan, tapi fitur ini menurut gue membuat calon pembeli jadi dimudahkan. Karena lebih transparan.

Pengembalian Barang

Gue pernah beli kamera digital merek kogan 16 Mp di Bukalapak dengan harga cuma empat ratus ribu rupiah. Waktu itu gue emang butuh kamera dadakan, jadi nyari yang seadanya. Nah... pas barang sampai, ternyata kualitasnya kampret banget. Hasil jepretannya sama kayak kualitas kamera HP dengan resolusi 2 Megapixel.

Karena nyesel, akhirnya gue berniat balikin produk ke penjualnya. Nah.. Bukalapak bisa memfasilitasi masalah ini dengan fitur komplain lalu diskusi. Kalo nggak terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli, dana akan dikembalikan ke pembeli, jadi pembeli merasa dilindungi. Tapi sayangnya kita perlu menunggu waktu lama, mulai dari ngasih resi valid. barang sampai ke penjual, penjual ngasih konfirmasi barang diterima. Dan masalah belum selesai karena harus dicek sama Customer Service Bukalapak dulu. Nah.. terus lama nggak? Lama banget! Proses begini aja bisa sampe seminggu lebih. Belum CS-nya Bukalapak yang suka plin-plan. Tapi setidaknya pembeli kalo mau sabar, duitnya bisa balik daripada beli barang yang mengecewakan.

Sementara Tokopedia, gue belum tau secara pasti gimana proses pengembalian produk. Tapi di Tokopedia penjual bisa memasang kebijakan 'barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan'. Buat gue ini mengkhawatirkan, jadi kalo kalian dapet barang yang cacat, misal mau ngembaliin bakalan susah karena terbentur kebijakan ini. Saran gue sih, cari toko yang nggak pake kebijakan kayak di atas kalo nggak yakin.


Kebijakan

Kalo ini khusus buat penjual. yang biasa jualan di Bukalapak, saran gue jangan kelamaan menahan dana di akun kalian yang disebut 'Bukadompet'. Bukalapak punya aturan yang sangat ketat. Bahkan ada yang namanya 'Policy Bukapalak' segala. 

Dan emang ya, yang namanya polisi tuh dimana-mana selalu arogan. Nggak di film india, film box office sampai polisi Bukalapak juga pada arogan. Ya, kecuali polisi di Indonesia, mereka baik. Baik banget malah. Eh tapi gue becanda.

Di Bukalapak, kalo kalian (pelapak) melanggar aturan dikit aja. Niscaya akun kalian bisa dibekukan, nggak bisa dibuka, dan saldo di dalamnya nggak tau gimana nasibnya. Parahnya lagi, kadang akun dibekukan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Polisi Bukalapak main bekukan sampai non-aktifkan seenaknya sendiri. Pelapak bisa dibikin stres karena nggak tahu salahnya apa, pelanggarannya dimana eh akunnya kekunci. Setelah dipelajari, ternyata di Bukalapak nggak boleh mencantumkan alamat toko, pin bbm, nomer hape atau akun sosial media lainnya. Jadi, semua transaksi wajib lewat Bukalapak. Bisa juga karena indikasi order fiktif, kadang cuma terindikasi aja, bisa sampai di-non aktifkan.

Mungkin ada yang bilang gini, ya namanya numpang jualan gratis kita harus ikutin aturan dong. Okesih, sekarang logikanya gini.

Di jalan raya, udah banyak rambu lalu lintas di pasang, tapi kadang tetep aja kita keblinger, atau gak liat, terus melanggar aturan, dikejar polisi, ditilang. Nah, tapi kan pas ditilang itu kita dikasih tau salahnya apaan.

Beda sama Policy Bukalapak. Misal kita melanggar, kadang kita nggak dapet pemberitahuan sama sekali salahnya dimana, mesti gimana dan solusinya apa. Bahkan menghubungi call center sampai email pun nggak ada balasan sama sekali. Sama aja kayak main tilang tanpa ngasih tau salahnya dimana dan nggak ngasih solusi. 


Gue sih curiganya,  Bukalapak sengaja menahan saldo pelapak yang melanggar aturan lebih lama biar dana bisa mengendap lebih lama di rekening Bukalapak. Semakin lama tentu bunganya di bank bisa makin besar.




Mungkin niatnya emang baik ya, meminimalkan penipuan transaksi. Tapi menurut gue Bukalapak lebay banget, karena yang kena blokir juga sebenernya nggak ada niat buat nipu. Cuma nggak tau aja.

Tokopedia, sistem keamanannya masih longgar, bahkan bisa mencantumkan alamat toko lengkap di profil penjual. Selain itu mencantumkan akun sosial media, website, pin bbm masih dibebaskan di Tokopedia. Tapi nilai plusnya, kalo mau beli langsung ke tokonya, atau COD bisa lebih gampang. Menurut gue yang begini lebih enak. Kadang ada kan, orang yang nyari Handphone, nyari yang se-kota. Pas ketemu, bisa nanya alamatnya, beli langsung di tokonya. Praktis.

Saldo

Semisal kita menjual barang, dana yang kita terima nggak langsung masuk ke rekening kita. Di Bukalapak masuk ke 'bukadompet', di Tokopedia masuk 'saldo'. Uang yang kita punya itu bisa kita pake buat belanja lagi kalo memang niatnya nggak kita cairkan.

Di Bukalapak, dana di bukadompet bisa kita pakai kalo nominal pembeliannya di bawah saldo bukadompet. Jadi kesannya nanggung, misal saldo bukadompet ada 100.000, sementara harga barang 120.000. Yaudah, bukadompet nggak bisa dipakai. Kita harus transfer seluruhnya. Nah, niatnya mau dicairkan ke rekening dulu baru transfer? Gak mungkin, butuh waktu 2×24 jam buat mencairkan dana sementara maksimal transfer pembelian cuma 1X12 jam di Bukalapak.

Di Tokopedia, saldo bisa digunakan berapapun harga barang yang dijual. Misal saldo tinggal 100.000 dan harga barang yang mau kita beli 120.000, maka kita pakai 100.000 buat nambahin pembayaran, kita tinggal transfer sisanya senilai 20.000.



Promo

Bukalapak memang lebih rajin ngadain promo, mulai dari potongan harga sampai promo gratis ongkos kirim. Untuk yang satu ini gue salut sama Bukalapak. Gara-gara promo gratis ongkos kirim ini, gue jadi nggak perlu mikirin ongkos kirim buat beli barang-barang cemen. Kayak misal beli komik cabutan yang harganya 10.000 tapi ongkos kirimnya 27.000. Sayangnya, Bukalapak terlau protektif. Jadi, kalau kurir pengiriman belum update resi barang udah diterima, maka pembayaran buat penjual pun mesti tertahan. padahal kurir ini kadang nggak langsung update nomer resi. 

Tapi seperti kita tahu, promo beginian rentan tindakan curang, maka dari itu akun yang 'dianggap' curang, langsung non aktifkan atau bekukan. Sayangnya... yang dianggap curang seperti apa juga belum jelas. Kadang meskipun ada resi valid, dikirim ke luar kota, tetep aja akun dibekukan. Jadi, di balik hebohnya promo Bukalapak ada puluhan bahkan ratusan kasus akun penjual yang dinon-aktifkan dan mereka cuma bisa gelisah menunggu kejelasan dari Bukalapak. Ini bener-bener nggak semenggembirakan keliatannya.

Bayangin aja, misal kalian jual barang, pas barang udah laku, uangnya mau dipakai, dana malah nggak bisa dicairkan sampai berminggu-minggu karena ada transaksi yang dianggap fraud. Padahal resi jelas-jelas dikirim ke luar kota.

Tokopedia masih kurang berani ngadain promo 'gila' kayak Bukalapak. bahkan hampir nggak ada sama sekali. Palingan tiap promo, seringnya buat pemegang kartu kredit mulu, sementara gue yang megangnya kartu tanda penduduk cuma bisa menatap nanar. Tapi nggak masalah karena nggak ada kasus membekukan dan menon-aktifkan puluhan bahkan ratusan akun hanya karena indikasi penipuan.

Nah, sekarang Tokopedia lagi ikutan promo ngasih potongan gratis ongkos kirim, sayangnya masih pake syarat pembelanjaan minimal 200.000, jadi emang kurang asik aja. Moga aja nggak seribet Bukalapak sih prosesnya.


Pembayaran lewat Indomaret

Kalo ini simpel aja, belanja lewat Bukalapak dengan pembayaran di Indomaret, akan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 5.000,- rupiah.

Sementara di Tokopedia, pembayaran lewat indomaret, biaya administrasi cuma Rp 2.500 rupiah. Udah keliatan jelas kan, perbedaannya. 
 
Fitur Promo


Bukalapak mesti pake fitur 'push' biar barang kita tampil di pejwan (bahasanya kaskus) dalam pencarian. Untuk mendapatkan 'push' juga nggak gratis. Jadi, kalo emang mau barang kita nongol secara strategis. Kita harus beli paket 'push'. Mulai dari 25ribu sampai ratusan ribu.

Tokopedia pakai fitur topads, bayar yang di-klik. Sama juga kayak Bukalapak. Terus di Tokopedia ada cara juga dengan berlangganan gold merchant. Kita punya toko dengan logo emas yang bisa menjadi daya tarik pembeli. Kalo yang nggak punya duit gimana? Tokopedia tetap memberikan fitur gratis 'promosikan barang' setiap sejam sekali. Iya, sejam sekali. Tapi ini lumayan banget, masih ada fitur promo gratisan bagi penjual kecil-kecilan.

 
Nah, kira-kira begitu yang bisa gue bahas disini. Nggak cuma buat pembeli tapi juga buat kalian yang mau jual barang di kedua toko online tersebut. Gue pribadi suka sama promo-promo yang dikasih Bukalapak. Tapi gue nggak suka aja sama Bukalapak yang terlalu lebay dengan Policy Bukalapak. Pas gue masuk di forum tanya jawab dan blog-blog lain. Ternyata banyak penjual yang mengeluhkan sama pembekuan yang sepihak, tanpa dikasih teguran dan tanpa dikasih kepastian. Dikirim email sama customer service pun jawabannya muter-muter.



Tips :

Cari penjual toko online yang nggak arogan. Misal, di Bukalapak ada ketentuan barang bisa dikembalikan lewat fitur 'komplain' dan 'diskusi'. Tapi pelapak bikin aturan sendiri barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan. Emang sih produk gadget atau elektronik lain biasanya gak bisa dibalikin, palingan ada jaminan garansi. Tapi buat produk baju, tas yang ternyata kualitasnya ecek-ecek kalian kadang perlu balikin barangnya, jadi cari toko online yang syarat dan ketentuannya jelas dan nggak arogan.

Btw, nggak usah khawatir kalo pelapak di Bukalapak bikin aturan barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan, karena aturan pelapak tetap tunduk pada aturan Bukalapak. Kalo emang barang yang diterima cacat dan mau dikembalikan ya kembalikan aja.

Setelah mengulas dua toko online antara Bukalapak Vs Tokopedia. Gue sendiri sih lebih nyaman sama Tokopedia. Selain kelebihan yang udah gue sebutkan tadi. Di Tokopedia jangka waktu pembayaran juga agak lebih lama, sekitar 1X24 jam, bandingkan sama Bukalapak yang cuma 1×12 jam.  Lagian, penjual di Bukalapak dan Tokopedia kebanyakan orang yang sama. Orang yang jualan di Bukalapak, juga jualan di Tokopedia. Gitu… 

Terakhir nih… gue perjelas dulu, gue nulis ini berdasar pengalaman pribadi dan beberapa pengamatan. Kalo pengalaman gue beda sama kalian nggak usah ngotot, kecuali kalian dibayar buat ngotot disini. Nah... kalian udah pernah belanja di Bukalapak sama Tokopedia? Menurut kalian sendiri enakan mana? Share dong~

Rabu, Januari 27, 2016

Alasan Gue Nulis Postingan Ini, Semata-Mata Karena.....

Januari 27, 2016
Dalam dunia perbloggeran, gue mengawali tahun 2016 ini dengan sangat tidak layak untuk diperbincangkan. Gimana enggak, bulan Januari udah mau abis, sedangkan gue belum ngisi blog ini dengan postingan sama sekali. Padahal dulu, dulu bangetlah pokoknya, waktu Rangernya masih ada empat, gue pernah sok-sokan bilang ke temen-temen di komunitas Blogger Energy, “Jangan sampe jadi blogger yang murtadnya kebangetan, ninggalin blognya tanpa sebiji postingan selama sebulan.”

Lalu, gue sadar, gue hampir menjilat pantat ludah gue sendiri di awal tahun ini. Ya.. gue ngerasanya bulan ini gue lalui dengan sesuatu yang biasa aja, nggak ada yang kayaknya menarik buat gue ceritain. Padahal alasan sebenernya sih karena gue males nulis aja. Makin kesini selera nulis gue makin kacau. Kalo ditanya alasannya kenapa, gue juga nggak tahu. Ilang gitu aja.

Hampir sebulan ini gue juga lagi nggak selera buat blogwalking, semangat nulis berbanding lurus dengan semangat blogwalking yang bikin gue semakin menjauhkan diri dari keramaian dunia blogger. Begitu juga dengan komunitas kebanggaan gue, Blogger Energy. Sejauh ini gue belum bisa bener-bener ngeramein grup. Lagi-lagi karena gue sendiri nggak tahu kenapa.

Sebenernya sih ada beberapa hal yang pengen gue jadiin tulisan di blog. Tapi niat nulis yang ilang gitu aja belum gue temuin. Itu sebabnya gue lebih milih gegoleran daripada mesti nulis. Padahal dulu gue pernah jadi cowok tangguh yang tiap malem selalu nyempetin diri buat nulis. Dari hal ini gue jadi sadar, hidup emang nggak semulus selangkangannya Tyas Mirasih. Ternyata gue bisa juga hampir jadi blogger murtad. Sebulan blog hampir nggak diisi, sayang banget sebenernya sama domain yang nggak gratis ini kalo dianggurin.

Ngomong-ngomong masalah ngeblog, gue sama temen-temen Blogger energy lagi bikin buku yang bakal diterbitin self publishing. Dengan jalan self publishing ini, gue harap siapa aja yang punya semangat nulis mereka jadi punya kesempatan tulisannya dimasukkan ke dalam sebuah buku. Mereka jadi punya sesuatu yang bisa dibanggain.

Setelah gue browsing sana sini mencari penerbit indie dengan harga ramah dan kualitas yang nggak kacangan. Akhirnya pilihan gue jatuh ke Penerbit Raditeens. Alasannya, karena editornya sendiri yang nawarin diri dan ngasih paket menarik. Maka, tanpa melakukan shalat istikharah gue mantep untuk memilih Penerbit Raditeens untuk jadi partnernya Blogger Energy kali ini. Iya, sesimpel itu alasannya.

Setelah nunggu secukupnya, akhirnya 17 blogger bersedia mengirimkan tulisannya. Gue pilih tema ‘Blogger Baper’ karena emang ngomongin baper nggak sulit. Gue yakin, mereka udah jago dan berpengalaman ngomongin masalah baper. Tadinya sih gue mau ambil tema ‘Peran Kicauan Twitter Farhat Abbas Bagi Perekonomian Negara Gambia’. Lalu, karena gue takut bikin blogger pada eneg, akhirnya gue batalin tema barusan.

Buku Blogger Baper ini rencananya bakal terbit pertengahan atau akhir bulan Februari nanti. Untuk sekarang sih masih bukunya masih proses lay out dan ngurus ISBN dulu. Abis itu baru naik cetak. 


Nah biar nggak ribet, rencananya gue mau pake Tokopedia buat ngejual buku ini karena caranya yang simpel. Yang bisa ngitung ongkos kirim otomatis dan ada pilihan mana ekspedisi yang paling murah, juga bisa bayar lewat Indomaret. Jadi nggak perlu ribet-ribet antri di bank cuma buat bayar buku. Lalu, yang beda bank juga nggak perlu bayar biaya transfer antar bank biar hemat. Cukup nunjukkin kode pembayaran setelah ‘add to cart’, buku Blogger Baper siap dikirim.

Btw, gue ikutan nulis juga di buku ini. Sapa tau ada yang mau baca tulisan baper gue ngomongin cewek bisa ikutan beli bukunya pas nanti udah nongol. Menurut gue, dari atas sampai bawah, paragraf inilah yang paling penting. Jadi diinget-inget ya, ada tulisan gue di buku ini.

Sampai paragraf ini, kayaknya udah pantes disebut postingan blog kan ya... Jadi alasan gue nulis postingan ini kayaknya udah terpenuhi. Itu semua karena semata-mata gue nggak bisa membiarkan blog gue nggak diisi tulisan sama sekali. Kan nggak asik, kalo sebulan gue nggak ngeblog, bisa-bisa elektabilitas gue sebagai blogger gagal gaul menurun.

Senin, Desember 21, 2015

Tentang Bukunya Alitt Susanto yang Nggak Dianggap

Desember 21, 2015

Beberapa waktu yang lalu, gue jalan-jalan ke Tegal. Niatnya cuma pengen refreshing setelah tangan sempet keriting gara-gara nulis raport meskipun jumlahnya nggak seberapa. Gue sengaja main ke Rita Mall, buat sekedar nyobain KFC karena di kota gue nggak ada yang namanya KFC. Walopun tetep aja sih gue sanggupnya beli yang gocengan.

Sebelum gue masuk ke parkiran Rita Mall, di seberang jalan nggak sengaja gue liat ada tulisan ‘Toko Buku Bekas’ yang gue lupa apa namanya. Merasa menemukan harta karun yang (juga) nggak ada di Pemalang. Pulangnya gue mampir kesitu.

Di dalam kios minimalis itu, ada banyak tumpukan buku bekas yang bikin gue mendadak pengen khilaf. Tapi gue segera perbanyak istighfar inget sama dompet gue yang isinya hanya tinggal beberapa lembar gambar Oto Iskandar Dinata.

Setelah ditunjukin dimana letak rak novel, mata gue segera mengawasi ratusan judul dengan cerdas dan cermat. Jangan sampe momen langka ini gue lewatkan begitu saja, bahkan menurut gue, koleksi buku disini jauh lebih menggiurkan daripada pameran buku yang digelar di Pemalang kemarin.

Hanya beberapa menit, gue udah nemuin buku-buku yang sempet pengen gue beli lewat toko buku online kayak Curcol Si Rantau Kacau, Diary Momo dan Juga The Journeys, gue juga nemu satu koleksi Goosebumps 'Tiga Horor Goosebumps' yang gue belum punya. Kemudian ada satu buku lagi yang bikin gue tertarik, judulnya Gado-Gado Kualat.
 
Kover 'baru' yang konsepnya minibook
 
Gado-Gado Kualat ini gue kira cuma mitos belaka, karena buku ini penulisnya Alitt Susanto (dulu ‘T’-nya cuma satu, tapi nggak pernah dicantumin sama Bang Alitt di bio Twitter. Jadi yang diakui cuma buku Shitlicious, Skripshit, dan Relationshit.

Diliat di profil Twitternya, buku Gado-Gado Kualat nggak ikut ditulis tuh..

Sebagai orang yang suka sama tulisannya Bang Alitt, hal ini jelas bikin gue jadi kepo. Bang Alitt pernah nulis buku ini, tapi kenapa buku ini kesannya nggak diakuin sama penulisnya sendiri? Pas gue nemu buku ini kemarin juga akhirnya gue tau kalo buku ini ternyata penerbitnya sama kayak buku pertamanya Shitlicious, yaitu Gradien Mediatama.

Sedikit informasi aja sih buku Gado-Gado Kualat ini isinya tentang cerita komedi yang udah sering keluar tapi sedikit diimprovisasi, kalo bahasa anak stand up comedy sih ‘kodian’.. Konsepnya sih, semacam parodi dari bukunya Ferdiriva Hamzah yang judulnya Cado-Cado Kuadrat yang diterbitkan sama Bukune.


Kover Gado-Gado Kualat yang pertama dibikin dengan sangat mirip kayak Cado Cado Kuadrat.

Nih biar gue nggak ribet jelasinnya, gue kasih liat beberapa isi ceritanya...


Karena penasaran banget dan kepikiran mulu, akhirnya gue coba mention Bang Alitt setelah gue memastikan kalo Bang Alitt lagi online di Twitter. Sebenernya gue agak males juga sih, kalo mesti mention selebtweet karena sering banget dikacangin. Tapi karena ini penting, akhirnya gue mantepin diri buat mention minta klarifikasi. Gini nih mention gue..


Beberapa menit setelah gue mention Bang Alitt, Haris mention gue nanggepin bukunya Bang Alitt, kayak gini nih...


Sementara itu mention gue masih juga belum dibales Bang Alitt, padahal Bang Alitt udah ngetwit lagi tentang lainnya. Gue mulai mikir, tuh kan bener ... pasti dikacangin.

Namun beberapa menit kemudian, yang gue tunggu-tunggu akhirnya datang juga, Bang Alitt mention gue ngasih klarifikasinya tentang buku Gado-Gado Kualat ini. Begini...


Terus @yogaesce juga ikut nanggepin.


Nah, sayangnya masih ada beberapa kejanggalan dari klarifikasi Bang Alitt di atas. Pertama, Bang Alitt nggak pengen namanya dicantumin, tapi kenapa Bang Alitt nyantai aja pas ternyata namanya dicantumin lewat penerbit?

Kedua, di kover buku ada fotonya Bang Alitt, ghost writer mana yang nampilin wajahnya di kover buku? Meskipun setelah itu Bang Alitt bilangnya, foto itu asal comot dari FB. Tapi harusnya Bang Alitt ini bisa ngajuin keberatan ke penerbit kan kalo emang fotonya nggak pengen ditampilin. Setau gue juga, tiap penerbit ngeluarin kover pasti ngasih tau penulisnya dulu, nggak asal main nerbitin gitu aja.

Nah, yang ketiga nih yang paling bikin gue jadi makin keder. Kalo namanya akhirnya dicantumin, fotonya dicomot dari FB, terus kenapa di buku ini ada nama penyusunnya Bang Alitt Susanto juga, bahkan lengkap sama deskripsinya segala. Nggak mungkin juga kalo deskripsi di profil ini juga yang bikin penerbit tanpa sepengetahuan Bang Alitt.

Menurut gue ini gaya tulisannya Bang Alitt banget, jadi menurut gue ini bukan alasan kalo Bang Alitt niatnya mau jadi ghost writer.

Akhirnya kan nanggung jadinya, mau bilang ghost writer tapi identitasnya udah jelas banget. Mau dibilang bukunya Bang Alitt tapi dianya sendiri nggak ngakuin. Kalopun dibilang penerbit sendiri yang improvisasi nulis nama Bang Alitt sama ngasih foto di kover depan, tapi Bang Alitt juga kayaknya nggak keberatan.

Menurut gue sih, udah jelas Bang Alitt keliatan malu buat ngakuin buku ini dia yang nulis. Padahal kayak gimanapun bentuknya, yang namanya karya sendiri harus tetep dibanggain ya. Setau gue sih, menulis adalah proses, dan buku Gado Gado Kualat ini ya bagian dari proses kreatif menulis Bang Alitt sampai jadi seterkenal ini, bahkan buku ketiganya sampai difilm-in. Minimal seharusnya kita nggak malu-malu buat mengakui kalo itu memang karya kita.

Mendadak gue jadi inget sama buku-buku antah berantah yang tiba-tiba menjamur pada bawa judul yang ada ‘pocong’-nya waktu bukunya @poconggg meledak waktu itu. Bahkan ada yang kovernya sengaja dimirip-miripin. Dan ternyata Bang Alitt juga pernah ngelakuin hal seperti itu, malah lebih dulu. Duh..

Setelah dipikir-pikir lagi, mungkin memang ini lebih mengarah ke personal branding aja sih ya. Makanya Gado-Gado Kualat ini kesannya jadi terpinggirkan seperti nggak dianggap. Lagian udah ciamik banget ketiga buku Bang Alitt judulnya semua ada kata ‘shit’-nya. Shitlicious, Skripshit, Relationshit. Jadi kurang matching kalo Gado-Gado Kualat diselipin setelah Shitlicious. :D

Nah.. menurut kalian sendiri setelah baca postingan ini gimana? Ada apa dengan Bang Alitt?

Sabtu, Desember 12, 2015

UAS Mendadak Buas

Desember 12, 2015
Udah cukup lama gue nelantarin blog ini, seperti biasa... alasan klasik yang gue pakai adalah karena kesibukan yang makin lama makin niat ngajakin berantem. Padahal guenya aja yang emang males nulis.

Minggu ini sekolah gue lagi musim UAS. Sebagai guru kelas yang bertanggung jawab, gue merasa perlu memberi persiapan ekstra buat bekal 19 anak didik gue agar tangguh menghadapi UAS dan sukses melewati siksaan UAS tanpa remedial. Walaupun gue tau, itu adalah hal yang sangat mustahil.

Jelas aja, sebelum gue resmi ngajar mereka. Guru kelas dua udah pesen sama gue, “Mas Edotz, anak kelas tiga nanti kayaknya bakalan lebih ekstra ngajarnya, hampir separuh dari mereka kecerdasannya masih kurang. Bahkan ada dua anak yang masih belum lancar membaca.”

Mendengar pernyataan tadi, gue langsung berpikir, “Mati deh! Ada dua anak yang belum lancar membaca, dan gue juga udah enggak naikin dua anak ke kelas empat gara-gara belum bisa baca juga. Berarti tahun ini gue bakalan ngajar empat anak yang belum bisa baca! Ditambah beberapa anak yang kecerdasannya masih dipertanyakan.” Gue mendadak pengen frustasi, tapi gue simpen buat nanti, kalo udah beneran ngajar mereka.

Untuk meminimalisir kemungkinan remidi masal yang bikin gue ngerasa gagal jadi guru. Seminggu sebelum UAS gue udah bagiin soal UAS tahun kemarin buat anak-anak, biar mereka bisa mempelajari jenis soal yang kemungkinan besar bakal keluar saat UAS nanti. Karena gue bener-bener sadar kemampuan mereka banyak yang di bawah rata-rata, terlihat saat gue meminta mereka sekedar bedain mana foto Aliando sama foto gue aja mereka pada kebingungan.

Maka, membiarkan mereka mengerjakan soal sendirian di rumah, sepertinya sama saja memaksa mereka memakai celana dalam di kepala, iya.. kepalanya kepala sekolah. Setelah melalui berbagai pertimbangan, gue membagi mereka menjadi beberapa kelompok untuk bersama-sama mengerjakan soal yang gue kasih. Harapannnya, biar yang pinter bisa ngajarin yang agak enggak pinter, yang pinter bisa membimbing yang butuh dibimbing karena selalu hilang arah. Meskipun gue sendiri waktu sekolah dulu, yang namanya belajar kelompok nggak pernah bener-bener jadi ‘belajar kelompok’ dalam arti sebenarnya.

Pelajaran yang paling gue waspadai adalah pelajaran matematika. Udah dari sejak jaman PKI mencoba melakukan revolusi di Indonesia, matematika selalu jadi mata pelajaran yang menyakitkan untuk dikerjakan. Udah baca dengan sungguh-sungguh soalnya, lalu berusaha nyari jawabannya dengan coret-coret di kertas, pas ketemu hasilnya, eh di pilihan ganda nggak ada jawabannya. Sia-sia. Mungkin itu sebabnya banyak orang Indonesia yang kalo ngomong suka nggak dipikir dulu, kayak Farhat Abbas misalnya. Gue curiga, Farhat Abbas males mikir gara-gara punya trauma masa lalu sama matematika.

Sebelum gue melepas mereka untuk belajar kelompok di luar jam sekolah, gue mencoba membahas bersama soal-soal yang ada di lembar soal UAS tahun kemarin. Pokoknya gue pengen anak-anak bisa bener-bener paham atau minimal ngerti dikit pas baca soal UAS kemarin. Walaupun gue sendiri sama yang namanya matematika lemah banget, namun di hadapan anak-anak gue harus terlihat sebagai guru yang cerdas, guru yang tampan dan bersahaja. Untung aja gue ngajarnya kelas III SD, kalo gue ngajarnya kelas III SMA mungkin gue mendadak hernia saking seringnya mikir yang berat-berat.

Dulu gue sering heran sama guru atau dosen yang sok belagu tiap jaga UAS terlalu protektif, sampai-sampai peluang buat nyontek bener-bener 0%, jangankan niat mau nyontek, baru menghela napas aja udah dipelototin. Penjaga UAS tipe kayak gini emang nggak ada enak-enaknya, malah cenderung bikin eneg. Dan ternyata, setelah jadi guru gue juga ikutan-ikutan menganut aliran yang sama.

Gue bener-bener memperhatikan bagaimana mereka mengerjakan soal. Bahkan karena terlalu protektif, gue sampai meminta mereka untuk memberi batas buku di atas meja agar pergerakan teman semeja bisa diminimalisir. Mereka harus mengerjakan semuanya sendiri! HAHAHA.

***

Beberapa hari yang lalu, setelah UAS matematika berlalu. Gue pasang tampang sangar di kelas III. Bayangin aja gimana sangarnya muka gue, dalam keadaan normal aja udah sangar, ini gue sangar dalam keadaan sangar. Gue tau betapa sangarnya wajah gue setelah melihat ekspresi kesedihan dan keputusasaan anak-anak kelas III ngeliat wali kelasnya lagi masang wajah sangar. Bahkan beberapa ada yang pegang tasbih saking resahnya ngeliat gue.

Hari itu, setelah istirahat, gue mengawali masuk kelas dengan muka sangar karena ada sebabnya. Nilai UAS matematika mereka hampir 70% jeblok! Terus kenapa mereka yang jeblok, gue yang sangar? Itulah sedihnya jadi guru. Karena gue harus ikut menanggung perbuatan yang dilakukan mereka. Selama jadi guru, baru kali ini gue ngerasa bener-bener gagal. Gila aja, ngajar setengah tahun sampe keringetan, hasil UASnya kayak gini. Kan itu artinya gue yang bego jadi guru.

Hari itu gue sengaja marah-marah, “Kalian pada belajar apa enggak di rumah?! Udah dikasih soal buat latihan, udah dijelasin soal-soalnya malah nilainya berantakan semua kayak mukanya Pak Edotz!”

Mereka diem.

“Makanya kalo gurunya lagi ngomong kalian dengerin! Bukan malah pada mainan upil dipeperin ke temennya!” Gue masih ngomong dengan nada kenceng siang itu, mungkin kalo ngomongnya ke anak-anak SMA, kalimat yang gue ucapin bakal beda, kayak gini jadinya, “Makanya kalo gurunya lagi ngomong kalian dengerin! Bukan malah pada mainan sabun di kelas!”

“.....”

“Pak itu Pak, Aji kalo sore malah main sepeda-sepedaan Pak!” Diki tiba-tiba bersuara.

“Nggak ding Pak, Diki malah mandi di sungai Pak kemarin!” Aji melakukan pembelaan sekaligus melakukan serangan balik.

“Pak, Faisal masih belum mau berangkat ngaji Pak, malah mainan di rumah, males banget Pak Faisal!” Anggi ikutan bersuara sengaja melakukan pengalihan isu biar gue enggak ngebahas nilai matematika mulu.

“UDAH GAK USAH PADA CURHAT! GAK USAH NGADUIN TEMENNYA! KALIAN LIAT NILAI KALIAN SENDIRI!” Gue enggak terpengaruh isu politik yang mereka beberkan.

Mereka diem lagi.

Gue nggak tau mau ngomong apaan lagi, dengan presentase nilai yang jeblok sampe 70 persen. Jelas sebenernya gue yang salah. Gue gagal ngajarin mereka. Dari awal ngajar mereka, gue udah tau kalo perjuangan gue bakal sulit. Bekal perkalian satu sampai sepuluh aja mereka banyak yang belum bisa. Apalagi mereka mesti belajar perkalian puluhan sampai ratusan. Mereka pasti mabok.

Mau nggak mau gue mesti mencoba maklum, gue inget kata-kata Deddy Corbuzier bahwa kita nggak bisa memaksa anak untuk menguasai semua mata pelajaran yang ada. Nyatanya guru di SMP, SMA aja per mata pelajaran yang ngajar beda-beda. Mungkin kalo dites, guru sosiologi nggak akan paham sama pelajaran kimia. Begitu juga sebaliknya.

Lagipula kalo dipikir-pikir lagi, nilai mereka di mata pelajaran lain masih normal, walopun tetep aja ada yang remidi, tapi yang jelas nggak separah matematika. Siang itu, saat mengerjakan UAS jam kedua. Suasana kelas begitu hening. Mereka terlalu gemeter buat sekedar nanya sama gue gara-gara gue masih masang tampang sangar sepanjang UAS.

Sebenernya geli juga sih ngeliat mereka pada sok serius ngerjain soal. Karena nggak tega ngeliat wajah mereka yang pura-pura fokus namun aslinya cemas, akhirnya gue ngajakin bercanda lagi dikit-dikit. Kasian sih, beban hidup mereka udah terlalu berat. Ketemu sama guru kayak gue, dan hampir tiap hari mesti bertatap muka sama guru kayakgue. Pasti itu ujian hidup yang sulit sekali.

Memang adakalanya, anak-anak juga perlu dikasih shockteraphy. Ya, gue emang marah-marah, tapi sebenernya niatnya buat ngasih tau aja sih kalo mereka juga punya tanggung jawab buat belajar. Gue marah bukan karena gue benci sama anak-anak, gue marah karena kalo mereka nilainya jeblok itu sama artinya malu-maluin gue juga sebagai wali kelasnya. Ya, gue mawas diri aja, struktur wajah gue udah malu-maluin, udah gitu gue juga punya kemaluan yang udah melekat sejak lahir. Gue nggak pengin tambah lebih malu-maluin lagi di mata publik.

About Us

DiaryTeacher Keder

Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.




Random

randomposts