Bisa menerbitkan buku sendiri,
tentu saja itu jadi impian bagi sebagian besar para blogger personal.
Blogger yang lebih suka nulis bebas di blognya dengan pikiran sendiri daripada
harus copy paste tulisan orang lain dari berbagai sumber untuk meningkatkan
traffic blognya.
Gue juga termasuk dari salah satu blogger yang (pernah) punya
mimpi untuk bisa menerbitkan buku sendiri. Setiap kali gue membaca buku, gue
selalu kagum sama penulisnya yang bisa menulis buku sampai setebal itu. Jauh
lebih tebal dari rambut gue yang udah mau habis.
Menulis itu bebas, asal bisa
dipertanggungjawabkan dan enggak menyinggung orang lain. Dengan kebebasan itu,
gue dulu masih saja belum habis pikir, gimana caranya bisa menulis buku yang tebalnya sampe ratusan halaman.
Sampai pada saat itu, gue
mengenal Raditya Dika, penulis yang pertama kali blognya dibukukan. Dari iseng-iseng
santai, Radit bisa menerbitkan buku yang akhirnya jadi best seller. Dan harus gue akui, ketika sekarang ada begitu banyak
blogger personal yang genre tulisannya komedi, bisa dipastikan mereka pasti ‘latah’
karena mengikuti jejak Radit. Mungkin ada, blogger yang terinspirasi karena
Alitt Susanto, penulis buku SKRIPSHIT. Ya, dan Alitt pun dulu terinspirasi oleh
Radit.
Setelah setahun menjadi blogger,
gue kepikiran buat mengikuti jejak Raditya Dika, mengirimkan tulisan di blog ke
Penerbit. Berharap gue bisa beruntung bisa nerbitin buku dari tulisan di blog
gue. Namun, gue masih ragu dengan keinginan gue saat itu.
Gue sadar diri. Kemampuan menulis
gue belum seberapa. Membedakan EYD dan KBBI aja gue masih bingung, apalagi bedanya ITP
dan IPB gue bener-bener enggak paham sama sekali.
Saking cupunya gue dalam hal
menulis, meletakkan tanda ‘titik’ dan ‘koma’ aja, gue enggak paham. Gue dilema
berat, gue pengin banget nerbitin buku tapi gue sadar diri kualitas tulisan gue
masih parah.
Setelah berhari-hari berpikir,
gue akhirnya sadar. Namanya usaha, gak ada salahnya. Kalo gue gak coba
sekarang, kapan lagi? Seandainya naskah gue ditolak, toh gue gak akan mati.
Iya, itu pikiran sederhana gue. Gue coba buat nekat. Gue coba buat nyari alamat kantor penerbit, eh.. gue malah nyasar ke http://surabayavirtualoffice.com/, website yang nyediain sewa kantor virtual super murah. Kapan-kapan kalo gue mau bikin usaha sendiri, website ini pasti bakal gue kunjungi buat menunjang usaha gue kelak.
Pokoknya, gue harus berani bermimpi hebat.
Gue pengen jadi penulis, maka gue juga harus berani bermimpi kalo gue bisa
nerbitin buku sendiri. Gak bisa terus-terusan gue mikir kalo tulisan gue
selamanya hanya ada di blog aja. Gue pengin tulisan gue dibaca oleh banyak
orang, gue harus bisa bikin buku.
Maka sejak saat itu, dengan
semangat ROSO! Gue mengumpulkan tulisan di blog dan menata urutan per babnya. Merasa
belum cukup jumlah halaman dari ketentuan penerbit, gue menulis bab tambahan
untuk naskah gue, gue keluar dari zona nyaman gue sendiri.
Gue masih inget kutipan menarik di buku Manusia Setengah Salmon, Raditya Dika. “Gue jadi berpikir, ternyata untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, gue ga perlu menjadi manusia super. Gue hanya perlu menjadi manusia setengah salmon: berani pindah”
Dari kutipan itu, gue sadar.. kalo gue pengen sesuatu yang
lebih baik dalam hidup gue. Gue harus berusaha. Gue pengen jadi penulis, ya gue
harus nulis. Kalo biasanya malam
hari gue nyeduh marimas jeruk nipis sambil tiduran di teras depan kontrakan. Tiap
malam gue menghadap laptop untuk menyelesaikan tulisan gue.
Gue harus pindah kebiasaan, dari yang tadinya bengong gak
ada arti di teras kontrakan. Gue harus pindah ke depan laptop dan nulis.
Beberapa hari kemudian, tulisan
gue terkumpul 96 halaman. Gue segera kirim naskah gue ke dua penerbit. Grasindo
dan salah satu penerbit gede lain. Saat itu, gue berpikir, kalo gue kirim
satu-satu dengan asumsi satu penerbit memberi kabar empat bulan. Gue gak tau
kapan naskah gue bakalan jadi buku, karena
gue gak tau, penerbit mana yang akan khilaf menerima naskah gue. Gue takut
nunggu bertahun-tahun.
Buat antisipasi biar gue bisa
menerima kenyataan dengan ikhlas kalo naskah gue gak diterima penerit. Gue udah
kepikiran, gue tetep akan membukukan naskah gue lewat jalur penerbit indie. Gue
bahkan udah sempet browsing beberapa website yang menyediakan jasa penerbitan
buku indie. Demi keinginan gue untuk membukukan tulisan-tulisan gue.
Selama proses menunggu kabar dari
penerbit. Hati gue deg-degan tak menentu. Kadang gue optimis naskah gue
diterima karena komentar dari temen-temen yang bilang tulisan di blog gue itu
lucu. Kadang gue pesimis parah, tulisan gue itu malu-maluin dan enggak keren
sama sekali.
Sampai pada suatu siang, ketika
gue masih mengamati guru mengajar di kelas III B tempat gue mengikuti Praktek
Pengalaman Lapangan. Gue mendapat sebuah email dan gue terpana. Gak percaya
dengan apa yang barusan gue baca.
Perasaan siang itu sulit gue
ungkapkan. Bahkan kata ‘bahagia’ enggak cukup menggambarkan betapa luar
biasanya perasaan gue saat itu. Padahal, naskah gue belum tentu diterima, baru
dibilang cukup menarik. Sejak hari itu, boker gue jadi gak menentu.
Tiga hari kemudian, gue dikabarin
buat menentukan judul lain untuk naskah gue. Iya, awalnya gue mengajukan judul ‘Kuliah
Tak Seindah dalam Dongeng.’ Dan saat itu gue belum sadar kalo judul itu alay.
Berhari-hari berpikir, mengajukan beberapa judul ditolak terus. Akhirnya gue
nemu judul yang pas ‘Cancut Marut’ plesetan dari Catatan Kecut Mahasiswa Calon Guru. Emang agak maksa sih.
Setelah itu, proses revisi naskah
gue berjalan dengan mengerikan. Hampir tiap hari gue revisi naskah. Saat itu
gue berpikir, mungkin sisa hidup gue bakalan gue lalui untuk merevisi naskah
calon buku gue. Tapi dengan semangat ‘pengen buku cepet terbit’. Proses serem
itu gue jalanin sepenuh hati.
Belum berhenti sampai disitu…
Perjuangan gue mendapatkan endorsement pun enggak mudah.
Berkali-kali gue menghubungi comic-comic Indonesia agar mau memberikan
komentarnya buat buku gue. Tapi kebanyakan gue malah kena PHP. Bahkan saking
pengennya buku gue keliatan elegan, gue sampai menghubungi manajemen grup lawak
“Cagu*” buat ngasih komentar di buku gue. Dan gue diputer-puter enggak jelas
sampai akhirnya gue mikir, ‘yaudahlah... Cari yang lain.’
Perjuangan mencari endorsement bener-bener gak mudah. Gue
dapet konfirmasi dari manajemen salah satu comic yang agak-agak ngondek. Mereka
dengan senang hati mau bantu, dan minta
naskah gue dikirim buat dibaca dulu, begitu tiba harinya, gue minta komennya, ternyata
enggak bisa ngasih dengan alasan sibuk. Gue cuma bisa mengaduh tapi enggak
sampai gaduh.
Beberapa comic lain gue hubungi.
Ada yang PHP, ada yang gak ada kabar sama sekali. Gue emang cuma modal nekat
saat itu. Gue harus terus berusaha nyari comic yang mau ngisi endorsement buku gue, gue gak boleh nyerah. Gue harus terus nyari sapai ada yang mau gue repotin.
Sampai akhirnya, gue mencoba menghubungi @kemalpalevi dan
@topenk_enk, dua comic lulusan SUCI 2
KompasTV. Alhamdulilah, respon mereka baik banget. Bahkan waktu itu, Kemal sendiri
yang ngirimin email ke gue buat ngasih endorsement-nya.
Sementara Topenk, disela-sela kesibukan kuliah tingkat akhirnya masih bisa
membantu memberikan komentar untuk buku gue.
Hingga akhirnya, mimpi gue untuk bisa
menerbitkan buku sendiri bisa kesampaian. Bahkan gue bisa menerbitkan buku di
penerbit sekelas Grasindo. Padahal gue udah kepikiran buat nerbitin buku secara
indie.
Pelajaran yang gue ambil adalah…
ketika kamu bisa melakukan sesuatu untuk meraih mimpi kamu sekarang. Maka gak
ada alasan untuk menunda mimpi kamu sampai besok, besok dan besoknya lagi.
Seandainya gue enggak bertindak untuk terus menerus mencari orang yang mau
menjadi endorsement di buku gue,
mungkin gak akan ada nama Kemal Palevi dan Topenk di blekang cover buku gue.
Seandainya, gue menunda niat gue
untuk mengirimkan naskah gue, mungkin sekarang gue gak akan punya buku sendiri
dengan judul ‘Cancut Marut’. Karena saat gue ngirim naskah, grasindo baru aja
merekrut editor baru, Anin patrajuangga. Setelah sebelumnya sempat vakum cukup
lama.
Waktu itu, buku gue adalah buku
kedua yang dieditorinya, gue masuk dalam catatan awal karir Anin sebagai editor
buku. Sampai sekarang, Anin sudah mengedit puluhan bahkan mungkin ratusan buku.
Dan kabar yang gue dengar sekarang, untuk sementara waktu grasindo enggak
menerbitkan naskah komedi dulu. Seandainya saja saat itu gue baru berani ngirim
naskah sekarang, mungkin gue gak akan pernah punya buku Cancut Marut, dan buku
keroyokan Asem Manis Cinta dan Colover.