Senin, November 01, 2021

Yang Terjadi Setelah 10 Tahun Ngeblog

November 01, 2021

Sebenernya, tulisan ini niatnya mau dipublish bertepatan dengan hari blogger nasional yang jatuh pada tanggal 27 Oktober kemarin. Tapi namanya juga manusia, hanya bisa berencana tapi malas merealisasikan.


Tulisan ini mungkin akan menjadi tulisan yang ‘cukup’ panjang. Ehm, jadi gini...


Kalau ada sebaik-baiknya tempat berbagi cerita dan berbagi keluh kesah, jawabannya adalah blog ini. Ya, nggak kerasa ternyata udah sekitar sepuluh tahun saya ngeblog. Walaupun nggak tahu tepatnya kapan sepuluh tahun itu saya alami. Yang jelas saya masih selalu ingat bagaimana saya memulai untuk membuat blog ini.


Saya mulai membuat blog ketika masih kuliah di semester lima, waktu itu masih jam perkuliahan, salah satu teman saya, Imam, mengutak-atik komputer kelas yang terhubung ke LCD dan tiba-tiba memamerkan blog pribadinya. Meskipun isinya hanya seputar copy paste makalah-makalahnya yang palingan juga copy paste dari makalah temennya. Dalam hati saya kagum, “gilaa... keren banget bisa punya blog, gimana cara bikinnya tuh?”


Bukannya mengungkapkan kekaguman saya terhadap blognya Imam, saya justru nyeletuk, “Apaan sih, Mam... alay banget!”


Imam pun meringis sambil buru-buru menutup blognya. Ternyata Imam cukup tahu diri juga.


Beberapa hari setelah peristiwa Imam pamer blog, saya coba dekati Imam dan tanpa tahu diri malah minta diajarin bikin blog. Berhubung Imam memang anaknya nggak dendaman, dengan senang hati dia ngajarin saya buat bikin blog untuk pertama kalinya.


Setelah blog berhasil saya buat, yang saya lakukan bukanlah segera mengisi blog tadi dengan tulisan tapi ngutak atik blog saya terus menerus. Betapa bangganya saya waktu itu bisa punya blog sendiri, maka saya mencoba mendesain tampilan blog dengan sekeren mungkin.


Setiap hari saya buka tutorial-tutorial seputar ngeblog. Mulai dari masang musik di blog, bikin font judul jadi kelap-kelip, dikasih kalender, dikasih jam dan lain-lain. Waktu itu, semakin blog saya kelihatan rame, blog saya jadi semakin bagus.


Awalnya saya mengisi blog saya dengan puisi-puisi yang pernah saya bikin sendiri. Puisi yang tentu saja kalau dibaca di waktu sekarang ini bikin mata meleleh dalam artian meleleh yang sebenarnya, alias eneg banget Ya Allah ~~~


Ibarat orang yang pengin sok-sokan puitis tapi nggak pas sama wajahnya. Jatuhnya malah kayak Jamet Kudasai lagi nonjokin pohon pisang yang nggak bersalah.


Saya sempat meninggalkan blog sendiri cukup lama karena lama-lama bosan sendiri, cuma gitu-gitu aja. Sampai akhirnya saya ketemu sama Stand Up Comedy-nya Raditya Dika yang gilaa~ lucu bangettt!. 


Saya pun mulai berubah haluan sebagai blogger puitis jadi blogger  yang berharap lucu. Btw, saya sebelumnya udah baca buku-bukunya Radit tapi ngerasa belum bisa nulis panjang satu sampai dua halaman word buat dipublish ke blog.


Tapi sejak ngeliat Stand Up-nya Raditya Dika, saya mulai kembali untuk ngeblog, dan mencoba untuk menulis dengan lucu. Padahal waktu itu, saya nggak punya skill menulis sama sekali, saya nggak paham dengan aturan penulisan yang ada dalam bahasa Indonesia. Yang saya tahu, saya cuma pengin nulis absurd aja, syukur-syukur bisa selucu Raditya Dika.


Tulisan demi tulisan saya publish di blog dan menganggap kalau saya beneran udah bisa nulis lucu (yang kalau dibaca sekarang, lagi-lagi bikin mata meleleh dalam arti meleleh yang sebenarnya). Bisa dibilang, apa yang saya lakukan waktu itu adalah karena saya suka. Ya, padahal sebelum-sebelumnya, saya nggak pernah terbiasa nulis, sekedar mengarang cerpen satu lembar dua lembar aja nggak pernah.


Salah satu hal yang saya nggak habis pikir adalah bagaimana mungkin waktu itu saya bisa begitu pede kirim link tulisan saya di blog ke teman-teman lewat chat Facebook, meminta mereka membaca tulisan saya. Benar-benar rasa percaya diri yang luar biasa, dibandingkan dengan saya sekarang, yang mau share postingan blog saya di Facebook aja mesti mikir berkali-kali dulu.


Semakin hari, saya semakin keranjingan ngeblog. Bahkan dengan pedenya saya pernah ghibahin dosen sendiri di blog. Apesnya, dosen tersebut baca tulisan saya dan nggak terima. Saya dipanggil ke ruang dosen dan ditunjukkan print out tulisan blog saya. Hari itu, saya dimarahi habis-habisan di ruang dosen.


Satu tahun kemudian, dosen tersebut juga yang menjadi dosen pembimbing skripsi saya, setelah di postingan saya yang waktu itu pernah meninggalkan komentar dengan kalimat yang tidak akan pernah saya lupakan, “semoga selamat sampai wisuda.”


Tapi saya bersyukur, karena nyatanya dosen tersebut benar-benar membimbing dan nggak pernah mempersulit saya.


Semakin lama ngeblog, saya mulai mencari-cari komunitas blogger di Facebook. Dari beberapa grup blogger yang saya masuki, kebanyakan dari mereka hanya nyampah link aja, nggak ada interaksi dari setiap anggotanya.


Sementara itu, skill ngeblog saya semakin bertambah. Walaupun ya, cuma bertambah buat bisa ganti template blog bawaan blogger ke template download-an. Saya pun menjelma menjadi blogger ababil yang hobi banget gonta-ganti template.


Ilmu ngeblog yang saya pahami lainnya lagi adalah pentingnya blogwalking. Berkunjung ke blogger lain dan meninggalkan komentar di sana. Dengan begitu, blogger lain rata-rata melakukan hal yang sama, berkunjung balik dan meninggalkan komentar.


Dan, ya... ketika awal-awal mendapat komentar dari orang lain di postingan blog sendiri itu rasanya benar-benar bahagia banget~


Bahagia beneran bisa sesederhana itu, saya merasa, “Waaah... tulisan saya ada yang baca! Saya harus rajin menulis lebih banyak lagi!”


Saya juga mulai memikirkan untuk membuat domain dot com. Tentunya biar lebih keren dan lebih eksklusif. Jadi, domain pertama saya waktu itu adalah www.edotherjunot.com, namun karena kebodohan saya yang nggak tahu kalau domain blog itu harus diperpanjang sebelum jatuh tempo. Domain blog saya yang itu akhirnya expired.


Definisi nyesek pun ternyata juga bisa sesederhana itu, domain blog expired dan nggak bisa diperpanjang lagi. Nggak mau terlalu lama larut dalam kesedihan, saya mencoba bangkit dan memikirkan nama lain buat blog saya.


Setelah sempat galau mau bikin nama dengan nama lain seperti catatan mahasiswa gagal gaul (yang ternyata jadi panjang banget), diary mahasiswa nggak mutu, atau sejenisnya. Akhirnya saya memutuskan untuk membuat alamat blog saya dengan nama edotzherjunotz.com, mirip dengan alamat blog saya yang pertama, cuma bedanya di belakang edot dan herjunot ditambahin huruf Z.


Setelah hampir setahun ngeblog, saya iseng buat ngumpulin tulisan saya yang ada di blog dan saya jadikan di satu di Microsoft Word (dengan tata tulis yang sangat berantakan, tentunya). Bermodal alamat penerbit yang saya dapat dari belakang buku 5 CM. Dengan rasa nggak punya malu saya kirim naskah saya ke penerbit Grasindo. Dan secara ajaibnya, naskah saya diterima!


Ini adalah pencapaian paling mengesankan dalam hidup saya. Dari orang yang sampai semester 5 mahasiswa nggak punya skill nulis sama sekali, ternyata bisa nerbitin buku dengan judul Cancut Marut.



Oh iya, waktu itu karena masih dalam masa-masa alay, saya iseng saja pakai nama pena Edotz Herjunot. Ceritanya biar keren aja kayak Herjunot Ali. Eh, ternyata masih kebawa sampai sekarang.. haha 😄


Selain sukses nerbitin buku, saya juga sukses bertemu dengan komunitas blogger yang benar-benar menyenangkan dan sesuai dengan apa yang saya harapkan selama ini, namanya Blogger Energy. Dari komunitas ini, saya kenal lebih banyak dengan teman-teman yang blog personal.


Bahkan komunitas ini berhasil nerbitin buku juga di Penerbit Grasindo judulnya Asem Manis Cinta. Satunya lewat penerbit Indie berjudul Blogger Baper. Nggak pernah nyangka juga, kalau dari kenal di dunia maya, saya pernah merasakan ketemu sama teman-teman blogger di Jakarta.


Seperti nasib komunitas blogger lainnya, Blogger Energy juga berakhir ditinggalkan penghuninya. Banyak yang udah pada berhenti ngeblog, bahkan banyak yang sampai menghapus blognya. Gara-gara ini, saya sempat kesulitan mencari teman yang bisa dikunjungi blognya dan ninggalin komentar di sana. 


Blogger Energy ini beberapa kali sempat mencoba 'dibangkitkan' kembali oleh beberapa membernya yang berharap bisa melihat keramain grup ini seperti dulu, tapi selalu berakhir dengan keadaan yang 'lagi-lagi' sepi. Btw, walaupun udah nggak ada aktivitas ngeblog, konon anggotanya masih tetap berkumpul di suatu grup WhatsApp.


Tahun-tahun berikutnya, saya masih mencoba konsisten ngeblog meskipun saya sempat kebingungan pengin nulis apa di blog ini karena waktu itu saya udah lulus dari mahasiswa. Saya takut kehabisan keresahan, nggak relate lagi kalau masih terus nulis tentang mahasiswa.


Dari sini, saya mengubah tagline blog saya yang tadinya ‘Mahasiswa Gagal Gaul’ jadi ‘Lelaki Gagal Gaul’, beruntungnya... Lelaki Gagal Gaul ini akhirnya jadi judul buat buku kedua saya yang diterbitkan oleh penerbit Mediakita.


Kalau diingat-ingat ke belakang, udah banyak banget hal yang saya tuliskan dalam blog ini. Kadang, kalau lagi kangen sama masa-masa dulu, saya membuka lagi arsip blog ini yang dulu-dulu. Membaca dan mengenang hal-hal yang mungkin bisa saja saya lupakan seandainya saya tidak menuliskannya di blog ini.


Blog ini sudah mendampingi saya tumbuh sampai saat ini. Dari tulisan-tulisan saya yang alay, saya yang mulai belajar tata penulisan, saya yang banyak mindernya, saya yang kehilangan circle pertemanan, saya yang pernah ngerasa tertinggal jauh dari teman-teman yang sudah pada sukses.


Blog ini juga yang sudah membantu mewujudkan mimpi terbesar saya buat jadi penulis, yang bahkan waktu itu berani bermimpi untuk benar-benar memiliki buku sendiri aja rasanya saya terlihat nggak tahu diri.




Dari blog ini juga saya merasakan bagaimana rasanya mendapatkan uang dari tulisan saya sendiri karena tawaran dari beberapa pihak untuk bekerja sama. Ikut beberapa lomba blog dan (pernah) menang juga.


Satu hal yang lebih mengesankan lagi adalah dari blog ini, saya bisa menerbitkan buku terbaru berjudul Diary Teacher Keder, karena editor penerbit Buku Mojok, pernah nyasar kesini dan tertarik dengan tulisan-tulisan yang ada di blog ini.


Meskipun sekarang blog udah banyak ditinggalkan orang-orang. Seleb-seleb blogger yang dulu pernah nge-hits juga pada rame-rame pindah platform. Nyatanya saya masih tetap bertahan di sini. Blog ini udah memberi banyak hal buat saya, kalau nggak ada blog ini saya nggak mungkin bisa nerbitin buku, kenal dengan banyak temen blogger lain, dan nggak tahu kalau mau berbagi keresahan harus kemana. 


Btw, meskipun ada banyak sekali hal yang berubah dari dunia perbloggeran.. setidaknya, sampai saat ini masih banyak blogger-blogger yang tetap ngeramein update blog. Masih banyak juga blogger yang bisa di-blogwalking-in. Saya jadi nggak terlalu kesepian-kesepian banget.

Kamis, Oktober 21, 2021

Gonta-Ganti Header Blog

Oktober 21, 2021

Bisa dibilang, saya ini orang yang hobi banget gonta-ganti header blog. Kalau kebanyakan blogger jaman sekarang lebih suka dengan tampilan simpelnya, seperti hanya menuliskan nama blognya sebagai header. Saya justru masih suka buat nempelin gambar pada header blog saya.

Sebenernya kalau dipikir-pikir, tampilan blog yang lagi ngetren belakangan ini memang simpel. Cukup nulis nama blog atau tagline dengan font warna hitam. udah, gitu aja, beres. Tampilannya jadi kelihatan simpel dan elegan.


Tapi entah kenapa, saya justru masih kebawa sama tren blogger beberapa tahun lalu, blogger sekitar tahun 2011-2015 kalau nggak salah. Pada tahun itu memang kebanyakan para blogger berlomba-lomba untuk bikin ilustrasi header blog yang unik dan keren. Hal ini nggak lepas dari tren yang dibawa Raditya Dika, Shitlicious dan juga Bena Kribo. Nih, tak ingetin header blog mereka yang memorable banget.

Blogger paling kreatif, banyak tulisan-tulisan dan game seru di blognya Bena

Sekarang blognya Radit langsung nge-link ke channel Youtube Raditya Dika

Blog yang paling relate sama kehidupan mahasiswa. 

Gilaa... cuma ngeliatin header mereka gini aja mendadak jadi kangen sama tulisan-tulisan mereka waktu masih aktif ngeblog 😅

👐👐👐

Saya juga dulu ikut-ikutan bikin header yang "dianggap" keren buat dipajang di blog sendiri. Tapi sebagai orang yang nggak ahli nggambar sama sekali, saya nggak bisa berbuat banyak 😁

Sampai akhirnya saya ketemu sama teman-teman yang pada jago bikin gambar, akhirnya ya urusan header blog saya serahkan pada ahlinya.

Sekian lama nggak ngeblog, saya ngeliat tren para blogger memang udah berubah. Banyak yang udah mulai meninggalkan gambar di header blog dan lebih milih buat tampil simpel. Bagus-bagus sih, tapi saya kayaknya masih belum bisa move on dari tren blogger beberapa tahun sebelumnya. 😀

Kalau diingat-ingat lagi, beberapa tahun belakangan ini saya memang udah beberapa kali ganti header blog. Selain karena ‘butuh’ suasana baru. Juga buat jadi alasan biar tetap rajin ngeblog. Kalau headernya baru kan harusnya bisa bikin lebih semangat ngeblog. Harusnya sih.... tapi nggak tahu nanti realisasinya kayak gimana. 😁

Nah.. kali ini saya mau coba nampilin header-header yang pernah saya rencanakan dan saya gunakan di blog ini selama tahun 2021 ini. Seperti ini ini...

Header ini yang pertama kali saya gunakan ketika saya memutuskan untuk deklarasi tagline blog ini jadi 'Diary Teacher Keder' di tahun 2018. Bertahan cukup lama karena setelah itu saya justru nggak aktif ngeblog. 

Header ini saya improvisasi sendiri dengan modal kemampuan hanya crop dan hapus background. Saya pakai background dominan putih niatnya biar lebih klop sama aja sama warna blognya.


Entah udah berapa bulan, gambar ini jadi yang paling awet jadi header blog saya, pertimbangannya karena warnanya yang pas banget sama warna blog saya. Jadi kesannya klop banget. Gambar ini saya order di @maple.design_

Gambar ini akhirnya nggak jadi dipakai buat header blog. Padahal menurut saya sih bagus, tapi karena header blog di atas ternyata masih terlihat lebih serasi sama tampilan blog secara keseluruhan. Jadi saya memutuskan masih pakai yang guru bingung dikelilingi siswanya. Gambar ini masih saya order di @maple.design_ juga.

Gambar ini nggak jadi dipakai, karena setelah coba dipasang di blog ternyata warnanya nggak matching sama blog saya. Akhirnya gambar ini saya jadiin ilustrasi buat postingan tentang buku saya Diary Teacher Keder. Yang bikin juga masih sama, @maple.design_

Gambar ini yang paling baru, yang jadi header blog saya entah sampai kapan. Saya order gambar ini juga awalnya nggak ada rencana. Jadi ceritanya, waktu kemarin ikut latsar CPNS. Salah satu teman saya, Pak Azhar dari kelompok lain, bikin status WA tentang gambar kelompoknya versi gambar digital gini dan baguuus banget. 

Akhirnya saya kepo ke Pak Azhar tanya itu gambarnya bikinannya siapa. Ternyata, ini gambar dari salah satu peserta latsar juga, berhubung beda kelompok dengan saya, makanya saya hampir nggak pernah ketemu karena beda lokasi. 

Waktu ngecek akun instagramnya di @mimbargambar, saya jadi semakin pengen order gambar buat header blog saya. Hasilnya, jauh di luar ekspektasi saya... karena gambarnya jauh lebih keren 😄

Jadilah saat ini blog saya masih betah pakai gambar buat ditempel di header blog. Ya, nggak tahu sih mau sampai kapan mau gonta ganti header, yang jelas semoga saya bisa tetap betah ngeblog terus sampai seterusnya 😁


Senin, Oktober 18, 2021

Cerpen Saya di Majalah Putra Cendekia Edisi Oktober 2021

Oktober 18, 2021

Waktu kepala sekolah saya yang baru, tahu kalau saya hobi nulis, beliau mengenalkan saya pada sebuah majalah anak yang wajib jadi langganan di setiap sekolah dasar di kota Pemalang. Namanya majalah Putra Cendekia. Beliau bilang, “Pak Edot, njenengan kenapa nggak coba ngirim tulisan ke majalah ini aja? Kan lumayan tulisannya udah ada yang nyetak.”Beliau pikir, tulisan yang terbit di majalah prosesnya sama seperti tulisan yang jadi buku. 


Saya yang penasaran, nyamperin meja kepala sekolah dan meminjam majalah tersebut. Lalu membuka halaman demi halaman. Kesan pertama saya adalah majalahnya bagus, full color dan banyak cerita pendek serta dongeng buat anak-anak. Ya, mirip-mirip sama Majalah Bobo lah.


Tapi berhubung saya belum pernah nulis cerpen buat anak dan selama ini yang saya tulis tentang anak-anak justru aib-aibnya, tentu saja saya sama sekali nggak kepikiran buat nulis cerpen anak yang mengandung pesan moral dan secara sadar ngirim tulisan saya ke redaksi majalah yang sedang saya pegang ini.


Karena nggak mungkin saya menolak kepala sekolah secara terang-terangan dengan jawaban, “Hahaha... nggak mungkin lah bu, saya nulis cerpen anak. Saya aja moralnya mengkhawatirkan. Masa sok-sokan ngasih pesan moral buat anak-anak. Bisa-bisa nanti saya malah kena somasi.”


Dengan penuh kesantunan, saya hanya menjawab, “Oh nggih bu, nanti saya coba lihat-lihat dulu majalahnya.”


Beberapa minggu kemudian, isi dari majalah tersebut ternyata sanggup mengusik hari-hari saya. Kalau dipikir-pikir, kayaknya saya perlu coba keluar dari zona nyaman deh, coba nulis cerpen anak nggak ada salahnya juga, kan. Saya jadi merasa tertantang untuk membuat tulisan yang bisa tembus di majalah ini. Kalaupun ditolak, ya nggak papa juga. Kan selama ini saya juga sudah biasa ditolak waktu ngirim naskah ke berbagai penerbit.


Nggak butuh waktu lama, cerpen pertama saya pun selesai. Saya ambil cerita yang intinya seorang guru tua sepedanya rusak, terus diservis di sebuah toko sepeda. Pak Guru tua ini nggak punya biaya buat membayar biaya servis sepedanya. Setelah beberapa hari datang lagi ke toko sepeda tadi, secara mengejutkan biaya servisnya justru gratis, karena ternyata pemilik toko sepeda ini adalah mantan muridnya dulu.


Setelah saya kirim ke redaksi majalah tersebut, beberapa minggu kemudian saya dapat balasan yang mengatakan kalau cerpen saya... ditolak. Hahaha... alasannya terlalu mengeksploitasi kemiskinan, nggak logis banget, masa guru bayar servis sepeda saja nggak mampu.


Padahal sih menurut saya, guru yang ekonominya memprihatinkan itu beneran masih ada loh, nanti kapan-kapan saya ceritain, deh. Balasan dari redaksi tersebut saya terima dengan legowo. Ya, berarti memang tulisan saya belum sesuai standar.


Beberapa bulan kemudian, waktu lagi ngeliatin rak buku sendiri. Saya jadi kepikiran mau nulis cerpen anak lagi tentang anak yang suka baca buku tapi nggak enak mau minta dibelikan buku sama orangtua karena orangtuanya terdampak aturan PPKM akibat Covid-19. 


Tulisan itu saya buat nggak ada waktu satu jam. Setelah selesai, saya diamkan semalaman, besoknya di sekolah saya baca dan beberapa saya revisi kemudian saya coba kirim lagi ke redaksi tersebut. Anehnya, cerpen saya kali ini justru nggak ada balasan sama sekali dari redaksi majalah. Saya sampai kepikiran, ini cerpen saya sampai nggak, ya? Saya bahkan sampai membuka email lagi dan memastikan kiriman cerpen saya alamat email tujuannya sudah bener apa belum.


Dan di minggu kedua bulan Oktober ini, waktu lagi asyik nonton Netflix di ruang kelas, secara mengejutkan saya dikabarin salah satu rekan guru kalau saya dapat kiriman amplop coklat dari Majalah Putra Cendekia.



Saya pun buru-buru nerima amplop tersebut dan melihat isinya. Ada satu eksemplar majalah Putra Cendekia, surat pemberitahuan cerpen saya diterbitkan, dan juga honor tulisan saya dalam amplop putih berlogo Majalah Putra Cendekia.


Waaah... rasanya surprise banget! Padahal itu udah pertengahan minggu, dan harusnya saya udah ngecek duluan Majalah Putra Cendekia yang dibagikan di sekolah di awal bulan. Tapi berhubung nggak ada balasan email sama sekali saya jadi mikir kalau cerpen saya mungkin ditolak (lagi).


Yah.. mungkin bagi sebagian orang ini biasa aja. Tapi bagi saya, melihat nama sendiri muncul di sebuah majalah ternyata bisa bikin sumringah banget. 😁 setidaknya ini jadi pencapaian tersendiri bagi saya, kalau saya... ya, bisa nulis cerpen anak juga. Walaupun mungkin masih banyak kekurangan dan masih belum bisa dibilang sebagai tulisan yang bagus. Tapi dengan ini, saya jadi bisa lebih berani lagi untuk mencoba nulis cerpen anak lainnya.


Nah, buat yang mau baca cerpen saya yang dimuat di Majalah Putra Cendekia edisi Oktober tahun 2021, kalian bisa baca langsung di bawah ini:



Buku untuk Vio


Hari Minggu ini Vio hanya tiduran di kamar setelah selesai membantu ibu membereskan rumah. Mencuci piring dan menyapu halaman sudah diselesaikannya sejak setengah jam yang lalu. Sekarang, Vio tidak tahu harus mengerjakan apa lagi.


Saat memandang rak buku di kamarnya, Vio segera bangkit dan mendekat ke rak bukunya untuk melihat deretan judul buku bacaan di kamarnya. Sayangnya, dari sekian banyak buku bacaan yang berjejer, semuanya sudah selesai Vio baca. Bahkan ada beberapa buku yang sudah beberapa kali Vio baca.


Sebenarnya sudah lama Vio ingin membeli buku bacaan baru, tapi Vio nggak enak ngomong sama ayah. Vio sadar keadaan ekonomi oangtuanya akhir-akhir masih pas-pasan. Jualan ayam bakar ayah kadang masih sering sisa, dampak dari diberlakukannya PPKM yang membuat para pedagang harus menutup dagangannya lebih cepat karena di kota Vio diberlakukan jam malam. Itu artinya, baru sekitar pukul delapan malam ayah dan pedagang lainnya harus segera berhenti jualan.


Awalnya Vio sempat marah, gara-gara PPKM dagangan ayah sering masih banyak sisanya. Vio jadi teringat perkataan ayah pada suatu malam ketika Vio bertanya, “kenapa sih orang mau jualan saja dibuat susah?” Tapi dengan tersenyum ayahnya menjawab, “Mungkin ini yang terbaik, Vio. Biar orang-orang tidak banyak berkerumun di waktu malam hari. Jadi risiko penyebaran virus covid-19 tidak terlalu tinggi.”


“Tapi kan, jualan ayah jadi nggak laku kaya dulu, sering masih banyak yang sisa?!” Vio masih belum puas dengan jawaban ayah.


“Rejeki kan tidak hanya dari jualan di pinggir jalan saja, anak ayah dan ibu masih diberi kesehatan saja itu sudah termasuk rejeki yang luar biasa buat ayah.” Kata ayah sambil mengelus kepala Vio.


Vio pun tersenyum mendengar jawaban ayah, “Semoga ayah juga sehat terus, ya.” Kata Vio sambil berbalik dan mencium pipi ayah.


***


Saat sedang bingung menatap buku bacaan di kamarnya, tiba-tiba Vio mendengar suara Citra memanggil-manggil nama Vio dari depan rumah. Vio pun bergegas keluar kamar dan menemui Citra di teras rumah.


“Eh Vio, hari ini aku mau pinjam buku bacaan kamu dong, bingung nih mau ngapain? Daripada main HP terus, kata mamahku mending baca buku aja. Tapi buku bacaan di rumahku udah ludes tak baca semua.” 


“Yaaah.. kok sama sih, Cit. Aku juga tadi lagi bingung ngeliatin rak buku aku. Niatnya pengen baca buku yang bagus tapi ternyata udah aku baca semua.”


“Jadi, belum ada yang baru lagi, ya Vi? Kirain kamu ada buku bacaan baru jadi aku bisa pinjem bukumu.” Kata Citra.


“Belum ada, Cit. Aku nggak enak sama ayah mau minta buku baru. Soalnya dagangan ayah nggak terlalu rame. Seringnya kalau pulang belum habis ayamnya.”


“Siapa yang tadi pengen buku baru tapi nggak enak sama ayah?” tiba-tiba ayah sudah berdiri di depan teras tersenyum melihat ekspesi Vio yang kaget.


“Eh, enggak kok Yah, nggak apa-apa.” Kata Vio menahan malu karena ayah mendengar percakapannya dengan Citra.


“Mumpung hari Minggu, gimana kalau Vio ikut ayah jalan-jalan? Sama Citra juga, jalan-jalannya juga nggak jauh-jauh kok, kan masih PPKM. Hehe...” Kata ayah sambil tersenyum tenang.


“Serius, Yah? Mau kemana sih emangnya?” Vio langsung antusias mendengar ajakan ayah karena Vio juga bosan di rumah nggak tahu mau apa. Pertanyaan Vio hanya dijawab senyuman penuh rahasia oleh ayah.


Bersama Citra, Vio membonceng ayah keliling kota. Sampai akhirnya, ayah menghentikan motornya di sebuah kios yang membuat Vio takjub.


Ayah menghentikan motornya di kios-kios yang berisi banyak tumpukan buku. Hampir semua toko penuh dengan aneka tumpukan buku. 


Vio langsung takjub melihat deretan toko yang baru pertama kali ini didatanginya. “Ayah ini di mana, kok banyak tumpukan buku?”


“Kita lagi ada di kios-kios buku bekas. Di sini ada banyaaak sekali buku bacaan yang menyenangkan buat Vio sama Citra.”


“Jadi, ayah mau belikan buku buat Vio?” Kata Vio dengan mata berbinar.


“Iya, buat Vio dan juga buat Citra. Karena ini kios buku bekas, jadi buku yang dijual bukan buku baru seperti yang biasa ayah belikan buat Vio. Nah, karena namanya buku-buku bekas, jadi harganya sangat terjangkau. Jauh lebih murah dibanding buku baru. Tapi untuk isi ceritanya, sama saja. Sama-sama seru! Bagaimana? Walaupun buku bekas Vio sama Citra mau?”


Vio sama Citra mengangguk dengan penuh semangat bersamaan. “Nggak apa-apa, Yah... yang penting kan isi ceritanya. Vio udah boleh lihat-lihat belum, Yah?” 


“Yaudah sana, jangan buru-buru ya... tetap jaga jarak dan jangan dilepas maskernya.” Kata ayah mengingatkan.


“Horeeee.... makasih Ayah.” Vio menjawab dengan penuh semangat


“Makasiiih ya, Om.” Citra juga penuh semangat.


Vio dan Citra pun segera menghampiri kios buku bekas terdekatnya. Memilih buku bacaan yang kelihatannya seru. Terbayang hari-harinya tidak lagi membosankan karena ada buku bacaan baru. 


Vio jadi kepikiran buat menyisihkan uang jajannya dan kalau sudah terkumpul lumayan, Vio pengen beli buku bacaan dengan uangnya sendiri biar tidak terlalu memberatkan ayahnya.


Dalam hati Vio berdo’a, “Ya Allah.. semoga ayah selalu diberikan rejeki yang cukup setiap hari dan juga selalu diberi kesehatan.”

Jumat, Oktober 15, 2021

Semangat, Tante Sasa! - Buku yang Ringan dan Menghangatkan~

Oktober 15, 2021

Kalau nggak salah ingat, saya kenal sama Mbak Thessa awal tahun 2021 kemarin. Berawal dari saya yang pindah sekolah dalam suasana covid-19 di mana anak sekolah masih belajar dari rumah. Saya dudukan di kantor yang suasananya terasa asing, sementara mulut juga masih kaku buat ngajakin guru-guru di sini bergibah karena belum pada akrab.


Maka, pelarian saya waktu itu adalah sok menyibukkan diri dengan kembali ke dunia blog. Dengan circle yang sudah usang karena sekian lamanya nggak aktif ngeblog, saya mulai mencoba blogwalking lagi dari nol dan berjuang mencari blogger yang masih aktif dari sisa-sisa circle yang saya miliki.


Waktu itu, praktis hanya Rahul yang blognya masih rajin update dan kolom komentarnya rame, berbekal dari blognya Rahul saya jelajahi satu per satu orang-orang yang ninggalin komen di blognya Rahul. Kesan saya waktu itu adalah.... GILAAAA!!! TERNYATA DUNIA BLOGGING MASIH RAME BANGET!!”


Saya juga setuju sama salah satu kutipannya Rahul yang nohok abis pada salah satu postingannya, kalau nggak salah seperti ini, “Sebenarnya bukan blog yang mati, tapi circle kita yang mati.”


Dari hasil menjelajahi orang-orang yang komen di blognya Rahul, Mbak Thessa adalah salah satu blogger yang sukses membuat saya menjelajah cukup lama di blognya. Postingannya yang sering ngebahas buku tapi nggak kaku-kaku banget, bikin saya betah buat terus baca postingan-postingan lainnya.


Bahkan setiap hari, di kantor saya pasti selalu menyempatkan untuk membuka blognya Mbak Thessa, buat sekedar baca postingan lainnya atau sekedar ngecek komentar saya sudah dibales apa belum. 😄


Untungnya, Mbak Thessa ini orangnya ramah banget. Seiring berjalannya waktu, saya dan Mbak Thessa sudah terbiasa saling mengunjungi blog masing-masing. Dan nggak nyangka juga kalau pada akhirnya Mbak Thessa mau melibatkan diri buat ngebahas dan ikut ngeramein promo buku saya Diary Teacher Keder.


Maka dari itu, ketika saya pertama kali tahu kalau Mbak Thessa ini mau bikin buku yang bakalan diterbitkan sama Gramedia. Saya langsung reflek tepuk tangan di depan laptop. waaah... Keren bangeeetttt!


Walaupun setelah saya tahu bocoran judulnya, yang waktu itu dikasih judul “40 Hari Menjadi Ibu”, dengan lugunya saya tanya, “Btw, ini bukunya novel atau parenting ya Mbak?” 😄


Jujur aja sih, menurut saya judul ‘40 Hari Menjadi Ibu’ memang cocoknya dijadiin judul buku yang berbau parenting gitu. Benar-benar semacam panduan buat menjadi ibu yang melahirkan anaknya pertama kali dan cara merawat anak di 40 hari pertama. 😁


Setelah buku ini udah kelihatan hilalnya, Mbak Thessa bilang kalau buku ini bakalan muncul duluan di Gramedia Digital. Saya langsung download aplikasinya di Playstore. Padahal selama ini, saya hampir nggak pernah baca buku digital. Bukan karena apa-apa sih, karena saya dari dulu hobi beli buku dan ditumpuk terus, sementara bacanya kapan-kapan. Jadinya stok buku di rumah saya masih banyak, selain itu saya lebih suka beli buku fisik juga karena sekalian buat dikoleksi.


Karena memang udah penasaran dari dulu sama bukunya Mbak Thessa yang akhirnya diberi judul Semangat, Tante Sasa!, untuk pertama kalinya saya pun jadi langganan Gramedia Digital.



Nah, sekarang saya mau ngomongin bukunya Mbak Thessa ini, sebelum itu saya kasih bocoran dulu begini BLURB-nya:

 

 

Demi apa Sasita yang seorang wanita karier tiba-tiba diminta menjaga anak kecil? Sudah cukup hidupnya disibukkan dengan pekerjaan, sekarang harus memikirkan anak kecil pula. Sasita terpaksa mengorbankan kebiasaannya bersenang-senang sampai larut malam, kadang sampai mabuk, dengan teman-teman kantornya. Belum lagi Mama yang tidak memercayai Sasita sanggup mengurus Velisa, keponakannya, anak almarhum Kak Vania.

Mama tahu kebiasaan Sasita pulang malam, hura-hura, apalagi Sasita malah dekat dengan laki-laki beristri! Sasita sama sekali bukan contoh yang baik bagi Velisa. Kalau sudah begini, apakah tugas yang terpaksa Sasita emban justru akan semakin meretakkan hubungannya dengan Mama? Apakah Sasita sanggup memenuhi janjinya kepada Kak Vania?


***


Semangat Tante Sasa ini nyeritain tentang cewek yang bernama Sasita yang diminta ibunya buat jagain anak kakaknya bernama Velisa. Sasita yang selama ini hidupnya dipenuhi dengan kesibukan kerja, biasanya bisa pulang sampai larut malam karena mesti ngelembur terus di kantor gara-gara sering ngerasa nggak enakan dan nggak bisa nolak kerjaan dari bosnya, ngerasa nggak yakin kalau bisa merawat Velisa selama neneknya pergi haji.


Permasalahannya adalah nggak ada orang lain lagi yang bisa dimintain tolong buat jagain Velisa. Akhirnya mau nggak mau Sasita pun mengiyakan permintaan ibunya buat jagain Velisa.


Sasita yang awalnya ngerasa keberatan, lama kelamaan justru semakin ngerasa senang dengan kehadiran Velisa. Anak dari kakak Sasita yang bernama Vania, yang meninggal karena kecelakaan.


Vania sendiri di mata Sasita adalah kakak yang sempurna, kakak yang paling mengerti keadaan adiknya, kakak yang selalu ada waktu Sasita ngerasa kalau kehadiran Sasita di dunia nggak ada yang mengharapkan. Ya, nggak cuma di mata Sasita aja sih sebenarnya, bagi semua orang terutama Mama, Vania adalah orang yang pintar dan selalu bisa diandalkan. 


Berbeda dengan kakaknya, Sasita justru ngerasa seperti orang yang paling nggak pernah benar di mata mamanya. Apa yang Sasita lakukan selalu salah di mata mama, itu sebabnya setelah Sasita dapat kerja, Sasita lebih milih buat tinggal di apartemen pisah sama mamanya.


Hari demi hari berjalan, Sasita menghadapi kenyataan bagaimana persoalan yang muncul ketika mengurus anak kecil. Mulai dari Velisa yang makannya lama banget, sukanya nonton Youtube terus, pola makan yang juga harus diperhatikan biar nggak sembelit, persoalan di sekolah dan lain-lain.


Pelan-pelan Sasita terus berusaha untuk terus mengurus Velisa dengan baik. Sasita yang biasanya suka lembur di kantor, mulai merutinkan pulang sesuai jam kerja karena Sasita sekarang punya alasan untuk pulang ke apartemennnya. Ketemu Velisa.


Konflik lain yang muncul selain persoalan mengurus Velisa adalah hubungan antara Sasita dan Seno. Seorang laki-laki yang dulu pernah berjanji untuk menikahinya tapi kemudian hilang, dan tiba-tiba muncul lagi di hadapan Sasita setelah Seno sudah berkeluarga dan memiliki dua anak. 


Saya sebenernya kepikiran ini Mbak Thessa dapat inspirasi nama Seno dari mana, ya? Soalnya namanya agak jamet gitu 😄


Padahal bisa aja sih sebenernya kalau namanya dibikin lebih keren dikit, Sean misalnya. Kan keren tuh, agak kebarat-baratan. Cocok lah sama harta berlimpah yang dimiliki seorang Sean. Nah, kalau ditanya nama panjangnya baru deh tuh, dijawab... Seano 😄🙏


Lanjut ke Sasita dan Seno. Sasita yang sebenarnya masih berharap sama Seno, mendadak bucin dan akhirnya tetap menjalin hubungan bersama Seno, dengan pembelaannya kalau Seno ini hanya teman biasa, yang tentu saja Sasita juga tahu sebenarnya ini salah.


Lalu, apakah Sasita berhasil ngurus Velisa dengan baik? Bagaimana hubungannya dengan Seno yang sebenarnya sudah punya istri?  Selanjutnya bisa kalian baca sendiri di aplikasi Gramedia Digital ya ... 😄


***


Awalnya saya baca buku ini satu dua bab setiap harinya, tapi di hari ketiga akhirnya keterusan dan saya baca sampai tuntas di sela-sela ‘nggak ada kerjaan’ di sekolah. Sewaktu membaca buku ini, pikiran saya mencoba menebak bakalan seperti apa hubungan Velisa dengan Seno. Secara gitu ya, persoalannya Seno ini sudah jadi suami orang. Saya was-was apakah Mbak Thessa akan membawa konflik ini pada sesuatu yang ‘tidak melegakan’. Hasilnya? Buat yang penasaran, baca sendiri aja nanti, ya....


Menikmati hubungan Velisa dan Sasita di buku ini juga terasa menyenangkan. Mengalir begitu saja, dan hangatnya sampai menular. Sasita yang terus berusaha untuk menjadi ‘ibu’ yang baik, juga Velisa yang kadang bisa menjadi lebih ‘dewasa’ dari umurnya.


Beberapa keluguan Ve juga nggemesin banget sih, kayak yang pagi-pagi nyeletuk perlu dibawain sesuatu buat tugas sekolah bikin Sasita kelimpungan pagi-pagi muter nyari toko yang jual. Begitu misi berhasil walaupun harus datang telat ke kantor. Eh, nggak taunya tugasnya bukan buat hari ini. 😂


Oh iya, di buku ini juga ada pesan bagaimana untuk menjadi ibu yang baik ketika menghadapi anak-anak. Pesan yang kadang terlalu singkat, menurut saya justru terlihat seolah hanya dibuat buat pantes-pantes aja. Kalau dikemas dengan lebih panjang mungkin bisa lebih menyenangkan. Ini cuma pendapat saya saja sih. Hehe


Bab-bab yang pendek dalam buku ini menurut saya justru menjadi poin tersendiri. Karena saya sendiri memang suka membaca buku yang bab-nya pendek-pendek. Lebih nggak terasa aja bacanya, jadi tahu-tahu eh udah mau selesai saja.


Secara keseluruhan, buku ini adalah buku yang menyenangkan dan bisa membawa perasaan hangat bagi pembacanya. Salut banget sama Mbak Thessa yang bisa menyusun plot cerita serapi ini. Satu per satu dibahas dengan santai dan semua bisa diterima dengan logika. Jadi pembaca bisa ikut larut dalam cerita ini.



Btw, denger-denger sih buku ini versi cetaknya bakalan terbit. Jadi buat kalian yang lebih suka baca buku cetak udah bisa siap-siap masukin wishlist dari sekarang. Saya juga sih, walaupun udah baca versi digitalnya. Tetep aja kalau nanti buku ini udah terbit saya bakalan tetep beli, selain buat mengapresiasi karya Mbak Thessa, ya karena saya emang hobi ngoleksi buku juga. Apalagi kalau udah kenal sama penulisnya 😁

About Us

DiaryTeacher Keder

Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.




Random

randomposts