Sabtu, November 07, 2020

Ngomelin Sewu Dino dari Simpleman, Kisah Santet yang Mencekam

November 07, 2020

Buku ini tergolong eksklusif bagi saya karena saya beli buku ini langsung di Gramedia dan hebatnya lagi tanpa diskon. Ya, beli buku tanpa diskon aja sudah merupakan sebuah pencapaian istimewa buat saya. Entah kapan terakhir kali saya ke Gramedia buat beli buku dengan riang tanpa memikirkan harga buku yang semakin kesini semakin membuat sulit menelan ludah.


Saya mulai meninggalkan kebiasaan beli buku di Gramedia sejak harga buku terus naik dan jarang ada diskon kecuali untuk pengguna bank tertentu. Karena itu, saya lebih sering nyari buku lewat online yang diskonnya lumayan gede dan ada gratis ongkirnya.


Tapi tetap saja, kadang saya ngerasa kangen sama sensasi melihat-lihat buku di rak-rak Gramedia. Ambil satu buku, baca blurb, diletakkan lagi, ambil buku lain, baca blurb lagi, diletakkan lagi, begitu seterusnya. 


Karena itu, akhirnya saya memantapkan hati buat beli buku ini. Saya beli buku Sewu Dino ini di Gramedia Rita Mall Tegal, sendirian, daripada bingung mau ngapain nunggu istri yang lagi perawatan di Natasha Skin Care yang udah pasti berjam-jam, saya pun melaju sendirian masuk mall lalu melangkah mantap ke Gramedia.


Tentang buku Sewu Dino atau Seribu Hari yang diangkat dari thread di Twitter dari akun @simpleman ini, jujur saya sama sekali belum pernah nyimak threadnya sama sekali. 


Kenapa saya akhirnya memilih buku ini? Karena sepertinya lumayan beda juga dengan buku lain yang membahas 'dunia hitam di Jawa'. Udah gitu, pas baca blurb-nya juga kayaknya menarik.


Ini dia Blurb-nya:


“Di dalam ruangan inilah nanti kamu bekerja,” ucap Mbah Tamin sambil membuka pintu. Seketika, bau busuk langsung tercium. Sri mematung. Di depannya terbujur seorang perempuan, dikurung dalam kerangka keranda mayat.
Tubuhnya kurus dan pucat. Badannya dipenuhi borok dan nanah. Tak hanya itu, perutnya juga besar seperti orang hamil.

Tidak peduli Sri yang ketakutan, Mbak Tamin melanjutkan penjelasannya, “Dia adalah Dela Atmojo, anak yang harus kamu rawat sampai waktunya tiba. Ia dikirimi kutukan santet sewu dino. Santet yang sudah merenggut nyawa hampir seluruh anggota keluarga Atmojo!”

——–

Dari penulis bestseller KKN di Desa Penari, Simpleman kembali dengan kisah klenik tanah Jawa yang terinspirasi dari kisah nyata, Sewu Dino. Tentang santet seribu hari yang dikirim untuk menggerogoti nyawa manusia. Semakin kita pikir telah menemukan jalan keluar, semakin kita merasa tersesat. Sebab cerita ini lebih besar dari yang kamu bayangkan.


Akhirnya saya pun mantap untuk membeli buku ini setelah sempat berpikir lama antara beli atau tidak. Tentu saja, buku ini menjadi satu-satunya yang saya beli karena buku-buku di Gramedia harganya kebanyakan udah delapan puluh ribu ke atas. Sayang juga, kalau saya beli beberapa buku nggak ada diskonnya.


Nah, sekarang saya mau ngomongin bukunya. Dari covernya yang warna dominan hitam dengan tulisan warna merah, buku ini sudah jelas keliatan bergenre horror.



Fyi, seperti biasa, tidak ada pembatas buku dari penerbit Bukune.


Cerita dalam buku ini dibuka dengan hangat oleh cerita Sri, seorang gadis yang naik sepeda dengan terburu-buru karena sudah terlambat masuk kerja. Banyak warga yang menyapa Sri di jalan, bukti kalau Sri adalah gadis yang ramah dan supel. Beberapa saat kemudian, Sri akhirnya sampai di tempat kerja, di sebuah warteg di pasar dan Sri bekerja sebagai seorang pelayan warteg. 


Sebagai gadis yang hanya lulusan SD, Sri selalu minder buat nyari kerjaan di tempat lain. Sedangkan Sri juga sadar kalau terus-terus kerja di warteg Sri bakalan terus gini-gini aja nasibnya, nggak ada perkembangan. Sementara Sri di rumah juga harus mengurus bapak sendirian.


Sampai suatu hari, Bik Minah, yang punya warteg memberikan selebaran pada Sri untuk mencoba melamar sebagai asisten rumah tangga. Sri yang awalnya minder akhirnya mencoba melamar dan ternyata dengan mudah Sri diterima di tempat tersebut.


Mulai dari sini, kesan misteri dari buku ini mulai menonjol. Sri sampai di rumah majikannya yang bernama Mbah Karsa (Keluarga Atmojo), disitu Sri sempat takjub dengan rumah khas bangunan Jawa yang sangat besar dan megah.


Sempat kurang pede saat akan wawancara, ternyata Sri langsung diterima kerja tanpa ada pertanyaan ribet lainnya, hanya karena Sri lahir pada Jum'at Kliwon.


Sri juga dibuat kaget dengan tawaran gaji dari Mbah Karsa yang akan memberinya gaji sepuluh juta per bulan, bahkan khusus untuk Sri gajinya akan dinaikkan sampai tiga kali lipat dari kesepakatan awal yang sepuluh juta rupiah.


Setelahnya, Sri bersama dua rekannya yang juga diterima kerja di rumah tersebut berangkat menggunakan mobil dengan diantar supir Mbah Karsa yang bernama Sugik, ke tempat tujuan mereka mulai bekerja. 


Setelah melalui jalan yang tidak mudah hingga menembus hutan, mereka akhirnya sampai di sebuah gubuk satu-satunya di tengah hutan yang dihuni oleh Mbah Tamin. 


Di gubuk tersebutlah mereka akan mulai bekerja. Tugas mereka adalah memandikan dan mengurus cucu Mbah Karsa yang bernama Della, yang terbaring di atas keranda mayat dengan penyakit aneh dimana perutnya membesar serta memiliki penyakit kulit yang menimbulkan aroma busuk.


Keanehan demi keanehan terus terjadi selama Sri merawat Della, mulai dari Della yang kesurupan, sosok temannya yang tidak sepolos kelihatannya, sampai ketika Sri harus membantu menyelesaikan kutukan Santet Sabdo Kuncoro yang menghinggapi Della.


Konflik dalam novel ini memang cukup ribet. Dua keluarga, antara keluarga Mbah Karsa (Atmojo) dan keluarga Sabdo (Kuncoro) berusaha untuk saling menghancurkan satu sama lain dengan metode santet, bahkan masing-masing keluarga ini punya hewan peliharaan siluman yang punya kekuatan mengerikan.


Entah apa yang melatarbelakangi Sabdo Kuncoro, sampai begitu dendamnya dengan keluarga Mbah Karsa ternyata tidak terjawab di buku ini. Makanya sampai saya selesai menutup buku ini, saya tidak tahu keluarga siapa yang sebenarnya keluarga baik-baik.


Bahkan, Sri, yang mau tidak mau terlibat dalam konflik ini terus dibuat bingung, sebenarnya keluarga siapa yang mulai mengirim santet, siapa yang sebenarnya jahat di antara kedua keluarga ini. 


Oh iya, novel Sewu Dino ini rencananya akan dibuat buku trilogi. Pada akhirnya misteri-misteri yang masih belum ada titik terang di buku Sewu Dino, mulai terkuak satu per satu di buku Janur Ireng yang akan saya bahas di postingan tersendiri (kalau nggak males).


Setelah saya cari informasi, katanya novel ini terinspirasi dari kisah nyata dari salah satu narasumber yang diwawancarai oleh Simpleman. Nggak kebayang sih, "kalau ternyata memang bener", dunia klenik Jawa memang ngeri banget.


Secara keseluruhan, buku ini memuaskan sekali buat dibaca. Saya nggak sampai menunda sampai berhari-hari untuk menyelesaikan buku ini karena cukup sekali duduk, saya menikmati sekali membaca buku ini sampai selesai. 


Buat yang suka baca buku horor, Sewu Dino saya rekomendasikan buat dibaca karena temanya jarang ditemui, membahas dunia per-santet-an atau misteri yang ada di tanah Jawa lebih jauh. (Berbeda dengan buku kisah Tanah Jawa yang tidak sampai sedetail ini).

Rabu, September 23, 2020

Mati Gaya

September 23, 2020

Salah satu hal yang paling bikin males buat saya adalah kalau harus dapet tugas buat jadi perwakilan sekolah ikut kegiatan di kota lain.


Jujur aja, saya orangnya lumayan susah buat adaptasi di lingkungan baru, mencoba basa-basi sama orang yang baru kenal lalu ngobrol untuk beberapa waktu lamanya karena 'kebetulan' ada di tempat yang sama. Buat saya itu sesuatu yang sulit dan bikin nggak nyaman.


Sayangnya, hal seperti itu pernah saya alami dengan sangat nyata. Salah satu pengalaman yang bikin saya harus mati gaya berkepanjangan karena harus ikut pelatihan sebagai pembina pramuka siaga di kota Tegal.


Sebagai orang yang lebih hobi rebahan daripada banyak kegiatan, saya sama sekali nggak antusias dengan penunjukkan semena-mena ini.


Ya, saya ditunjuk buat mewakili sekolah karena memang nggak ada lagi yang bisa ditunjuk. Pembina Pramuka lain, udah dapet jatah masing-masing. Sekalinya ada yang tersisa, nggak bisa ditunjuk karena lagi hamil. Akhirnya saya pun pasrah buat ikutan kegiatan yang sebenernya nggak penting-penting banget.


Kegiatan ini sebenernya nggak cuma saya seorang yang ikutan. Tapi karena jenis kegiatannya banyak, maka masing-masing pembina harus berpencar ke berbagai tempat sesuai surat tugasnya.


Judulnya Persari, perkemahan satu hari. Menurut saya sih, acara ini agak mubadzir karena kegiatannya yang begitu singkat. Pagi hari dateng berdiriin tenda, siang kegiatan, sore udah dilepas lagi karena anak-anak kegiatannya kebanyakan di luar tenda, jadi tendanya lebih banyak nggak kepakenya. 


Saya curiga kalau acara ini seperti sengaja ngerjain pembinanya yang udah niat-niat bikin tenda, sorenya udah harus dibongkar lagi terus berkemas pulang.


Setidaknya itu yang saya pikirkan ketika mendengar kata Persari. Kenyataannya ternyata jauh lebih manusiawi. Pagi dateng, anak-anak ternyata nggak bikin tenda tapi tidur di dalam kelas, karena mungkin takut anak-anak nanti pada masuk angin.


Cukup masuk akal karena kegiatan Persari ini dirancang buat anggota Pramuka siaga yang anggotanya kebanyakan kelas 3 dan beberapa kelas 4. Kebetulan sekolah saya mengirimkan dua regu, satu putra dan satu putri.


Sedangkan saya harus ikutan rombongan mereka naik bus ke kota Tegal sebagai pembina untuk ikut pelatihan, terpisah dengan rombongan mereka yang mau terjun di acara Persari.


Pertama kali saya menginjakkan kaki setelah keluar dari bus di sebuah sekolah menengah pertama kota Tegal, yang ada dalam pikiran saya adalah... Saya udah nggak sabar pengen pulang.


Jiwa saya bukanlah jiwa Pramuka sejati. Saya ikutan Pramuka karena emang jadi guru SD dan wajib buat jadi pembina Pramuka. Maka, ketika ada kegiatan Pramuka beneran semacam ini, hati kecil saya menolak keras. Saya lebih nyaman rebahan di rumah ngitungin jumlah napas sendiri seharian.


Ketika saya terpaksa berbaur dengan peserta lain yang berasal dari guru-guru SD dari berbagai macam kota. Lagi-lagi, aroma tidak nyaman menyeruak dalam hati. Saya nggak mudah langsung akrab dengan orang baru, ditambah dengan komposisi guru dari lingkungan ini.


Lingkungan yang saya maksud disini adalah begini, saya jelaskan sedikit.


Jadi, saya ngajar di SD swasta yang latar belakangnya Islam terpadu. Di mana sekolah dengan background Islam terpadu ini tersebar begitu banyak di berbagai kota. Dan setiap sekolah terpadu yang satu dengan sekolah terpadu lainnya berada dalam naungan yang sama, jadi wajar kalau sekolah ini sering bikin kegiatan yang mempertemukan sekolah Islam terpadu dari berbagai kota.


Sebagai guru yang tingkat religiusnya standar banget, saya merasa nggak berdaya kalau harus bergaul sama guru-guru senior seperti mereka yang kalau manggil sesama guru bukan "anda", "njenengan", atau "bapak" lagi, tapi “Antum” atau “Akhi” bahkan “Ustadz”. Padahal hafalan Juz Amma saya aja dari dulu masih banyak yang belum tuntas.


Hal ini diperparah saya nggak pandai kalau harus ngobrol dicampur dengan bahasa arab lainnya semacam Syukron, Afwan, Jazakallah, sampai Taqaballahu Minna Waminkum ya Karim.


Udah gitu, saya minder sepertinya jenggot saya sendiri yang masih cepak. Keliatan banget kalau saya masih noob di antara mereka.


Ketika pembagian kelompok, saya hanya manggut-manggut aja sok berbaur. Kemudian masing-masing kelompok langsung diminta mendirikan tenda. Saya pun berusaha ikut membangun tenda dengan menyumbang kehadiran, tanpa ada inisiatif membantu karena saya nggak jago bikin tenda. Ya, saya emang pembina Pramuka yang gagal.


Setelah tenda selesai, kami dikumpulkan buat diberi arahan tentang kegiatan selama di acara ini, sampai tibalah waktunya untuk makan siang, yang tentu saja makan siangnya dikumpulkan per kelompok dan ngambilnya di kelompok masing-masing.


Saya yang udah mulai kelaparan karena nggak ngemil dari pagi, mencoba mencari keberadaan di mana kelompok saya. Setelah mencoba mengidentifikasi wajah anggota yang baru saya kenal dan saya gagal, akhirnya saya sok cuek buat nanya-nanya ke peserta buat nunjukin di mana kelompok saya.


Begitu saya nemu orang-orang dari kelompok, tanpa ragu-ragu saya langsung sok akrab bertanya, “Permisi Tadz, ini kelompok sepuluh ya?”


“Oh iya, gimana?” kata salah satu laki-laki berpeci hitam yang sedang setengah rebahan dengan bantal tas punggung.


“Mau tanya ini Tadz, makan siangnya masih ada nggak ya, saya juga kelompok sepuluh.”


“Makan siang ya, masih ada nggak makan siangnya Akh?” bapak berpeci hitam itu menanyakan ke orang-orang di sebelahnya. Saya lihat salah satu orang di sebelahnya meraih bungkusan plastik besar dan merabanya. Kempes.


“Wah maaf Tadz, nasinya habis disini, coba ke panitia saja, ya.”


“Oh, habis ya ... iyaudah gapapa, tak ke panitia aja. Makasih ya, Tadz.”


Saya langsung buru-buru pergi sambil nahan malu. Gimana nggak malu? Dari pagi nggak pernah coba berbaur, sekalinya sok akrab cuma buat nanyain jatah makan siang, udah gitu habis lagi. Saya bener-bener ngerasa terasing banget.


Saya pun bergegas mencoba pergi ke tempat panitia, disitu ternyata rame banget karena panitianya juga buka stand jual aksesoris sama minuman es. Karena saya tahu bakalan berdesak-desakan kalau maksa minta jatah nasi makan siang. Akhirnya saya memutuskan untuk pergi keluar sekolah dan cari warung di pinggir jalan.


Sambil makan saya merenung, kayaknya saya nggak bakal bisa nyambung kalau harus berbaur sama peserta lainnya. Saya nggak bakal bisa di tengah obrolan nungguin momen yang pas buat ikutan nimbrung dengan topik bahasan mereka.


Saya ngebayangin obrolan mereka pasti seputar konflik di Palestina, sedangkan saya nyambungna malah konflik Galih Ginanjar ngomong bau ikan asin. Krik krik banget.


Setelah makan siang, saya memutuskan untuk pergi jalan kaki ke sekolah SD tempat anak-anak lagi pada ngadain Persari. Begitu masuk sekolah SD, kebetulan saya malah nemu masjid yang lumayan adem. Akhirnya, saya malah ngadem di masjid sambil main game Pokemon Go. Kebetulan di masjid itu ada gym yang bisa ditaklukkin dan saya pun sabar nungguin pokemon pada muncul buat ditangkepin.


Sorenya, saya hanya dudukan di pinggir lapangan tanpa berniat ikut kegiatan yang entah lagi pada ngapain. Malemnya, setelah ikut kumpul di aula saya tidur di tenda dome yang dibikin sama Pak Yoyok, pembina satu sekolah yang ternyata “nganggur” karena dari pas berangkat tugasnya jadi pembina peserta lomba, ternyata pesertanya nggak perlu didampingi pas ikutan lomba. 


Jadilah Pak Yoyok bebas tugas dengan indah, diam-diam saya iri. Lalu mencoba nawarin Pak Yoyok buat gantiin posisi saya jadi peserta pelatihan yang tentu saja ditolak dengan nikmat oleh Pak Yoyok.


Besoknya, ketika para peserta pelatihan 'ceritanya' lagi pada kegiatan hiking, saya memilih mengasingkan diri di warung depan sekolah. Sampai siang, sampai siap-siap pulang, saya sengaja nggak ikutan kegiatan. Iya, akhirnya saya bolos semua kegiatan...


Semua terjadi karena dari awal saya udah mati gaya duluan, nggak sanggup membaur, tertolak makan siang dari kelompok. Hingga akhirnya saya jadi ngerasa insecure sendiri dan memilih buat mengasingkan diri.


Beruntung acaranya cuma satu hari, bayangin kalau ternyata sampai seminggu, mungkin saya udah nyari tempat sepi buat bertapa, sampai tanpa sadar udah berubah jadi biksu.

Selasa, September 01, 2020

Keuntungan Menggunakan Jasa Corporate Law Firm Jakarta

September 01, 2020

Kehidupan industri terutama dalam suatu perusahaan tidak pernah luput dari permasalahan hukum yang timbul. Permasalahan yang muncul dari dalam perusahaan ataupun di luar perusahaan harus dapat diprediksi oleh perusahaan tersebut untuk dapat mencegah kerugian yang terjadi bagi perusahaan. Kehadiran Corporate Law Firm atau Firma Hukum untuk perusahaan dapat memberikan solusi bagi perusahaan-perusahaan untuk menjalankan bisnisnya secara aman khususnya di Jakarta sendiri, sehingga perusahaan membutuhkan jasa Corporate Law Firm Jakarta. 


Persaingan antara perusahaan semakin ketat dan hal ini menstimulasi setiap perusahaan menuangkan berbagai cara agar dapat bertahan serta mendapatkan keuntungan bagi perusahaan itu sendiri. Misalnya, di Jakarta banyak industri yang cukup menarik sehingga memberikan gejolak dalam pasar modal. Hal ini membuat investor berdatangan untuk memberikan bagiannya bagi perusahaan tersebut. Namun hal ini harus berjalan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Oleh karena itu Corporate Law Firm bisa memberikan solusi bagi perusahaan agar bisnisnya dapat berjalan sesuai Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.


Sekilas Mengenai Corporate Law Firm Jakarta

Corporate Law Firm terdiri dari beberapa orang yang masing-masing memiliki kemampuan di bidang hukum serta sudah menguasai sektor bisnis yang ada. Corporate Law Firm mampu menganalisis kebutuhan kliennya sesuai dengan gejolak bisnis yang sedang terjadi. Sekarang ini setiap hal saja memiliki akibat hukum, apalagi berkaitan dengan dunia bisnis, seperti ketika menjalin kerja sama dengan rekan bisnis, legalitas perusahaan itu sendiri, recruitment dalam bentuk perjanjian kerja dengan calon karyawan hingga merger dan akuisisi.


Keuntungan Menggunakan Jasa Corporate Law Firm

Dalam menjalin kerja sama dengan rekan bisnis, Corporate Law Firm dapat diandalkan dalam membuat perjanjian kerja sama dengan rekan bisnis. Corporate Law Firm dapat memastikan hak dan kewajiban antara klien dengan rekan bisnisnya masing-masing terpenuhi. Selain itu, agar mencegah adanya kecurangan, itikad tidak baik dan perbuatan melawan hukum. Misalnya mengatur klausul sanksi dalam perjanjian kerja sama antara klien dengan rekan bisnisnya. Kemudian dalam hal legalitas perusahaan, Corporate Law Firm dapat memberikan masukan-masukan dan sekaligus membantu perusahaan memiliki data legalitas sesuai bisnis yang dijalankan oleh perusahaan tersebut.


Baca Juga : ini dia perbedaan advokat, pengacara dan konsultan hukum


Misalnya, perusahaan bergerak dalam industri makanan. Produk dalam industri makanan tersebut harus memiliki merek dagang agar dapat dikenal oleh masyarakat. Yang menjadi kekhawatiran adalah apakah merek dagang yang dibuat menyerupai merek dagang yang sebelumnya sudah ada. Hal ini tentunya dapat diatasi oleh Corporate Law Firm dengan cara research dan analisis agar merek dagang perusahaan tersebut aman dan tidak memiliki kesamaan dengan merek dagang yang sudah ada sehingga merek dagangnya dapat didaftarkan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Kemudian, dalam dunia bisnis sering sekali muncul istilah merger dan akuisisi. Hal ini bukanlah hal yang baru karena suatu perusahaan melakukan merger dan akuisisi untuk melakukan ekspansi dalam bisnisnya.


Dalam melakukan merger dan akuisisi, ada aturan yang harus diikuti dan disesuaikan oleh perusahaan terutama dalam melakukan audit secara hukum untuk memastikan setiap legalitas perusahaan masih berlaku dan tidak ada transaksi hukum perusahaan yang melenceng dari Peraturan Perundang-Undangan. Dalam hal ini, Corporate Law Firm tidak diragukan lagi untuk melakukan audit secara hukum karena Corporate Law Firm sudah memiliki pengalaman dengan perusahaan-perusahaan dalam melakukan audit secara hukum.


Hal-hal di atas menunjukkan bahwa banyak sekali keuntungan bagi perusahaan dalam menggunakan Corporate Law Firm sehingga perusahaan dapat fokus menjalankan bisnisnya dengan baik tanpa terganggu dengan permasalahan hukum yang akan datang. Sekarang sudah banyak Corporate Law Firm khususnya di Jakarta. Corporate Law Firm Jakarta adalah salah satunya yang bisa diandalkan bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Rabu, Agustus 12, 2020

Hakikat Perpanjang Domain

Agustus 12, 2020

Entah ini udah tahun ke berapa saya ngeblog. Soalnya beberapa tahun belakangan saya udah bener-bener jarang ngeblog. Kalau dulu nulis postingan di blog bisa seminggu sekali, sekarang mungkin jadi setengah tahun sekali. Lumayanlah, yang jelas, semakin kesini, hasrat saya untuk 'tetap' ngeblog beneran udah tipis banget.


Dulu, setiap hal menarik selalu saya sempatkan untuk ditulis di blog. Bahkan saya juga rajin observasi buat bikin tips-tips atau hal-hal yang sebenernya nggak perlu dibuat tulisan. Tapi karena saya seneng aja ngelakuinnya, jadi ya saya bisa aja mengembangkan tips dan hal jadi postingan di blog. Walaupun gaje, saya seneng. Sesuatu yang nggak bisa saya lakukan sekarang.


Belakangan ini emang rasanya berat banget buat nyoba menulis lagi. Dibilang sibuk, saya juga nggak sibuk-sibuk amat. Dibilang males, ya itu emang bener banget, sih. Payah, emang.


Dulu, saya punya banyak 'banget' teman blogger. Setiap bikin postingan, tanpa malu-malu saya ikut promoin tulisan di status, fanpage, sampai grup FB biar banyak yang berkunjung, sukur-sukur dibaca sampai selesai.


Sekarang, grup blogger udah sepi. Jangankan ada yang promo postingan, hampir sebagian besar temen blogger saya di masa lalu semuanya mulai meninggalkan platform ini. Ya mungkin karena kehidupan saya dan mereka udah mulai lebih serius. Ngeblog udah nggak jadi prioritas utama lagi. Atau, mungkin mereka udah menemukan kesenangan baru yang lebih bikin betah dijalanin.


Semakin kesini, menurut saya dunia perbloggeran ini udah mulai sepi. Setelah nulis di blog, saya nggak tau mau ngasih tahu siapa.


Ya..  mungkin sebenernya, di 'belahan bumi' sana kegiatan blogger masih rame. Masih banyak yang hobi blogwalking, masih banyak yang hobi nulis sampe jari keriting.


Atau mungkin juga sebenernya saya aja yang udah kehilangan circle saya di masa lalu. Dan saya yang sekarang, udah nggak punya circle siapa-siapa. Saya jadi berasa kaya blogger newbie lagi.


Dulu, seleb-seleb panutan banyak yang ngeblog. Sekarang... semuanya udah kompak pergi dari dunia perbloggeran. Raditya Dika, Shitlicious, Bena Kribo, Poconggg dan banyak lagi lainnya. Gara-gara itu saya jadi sering mikir, "Jangan-jangan blogger ini nasibnya bakalan kaya Friendster.", Bener-bener ditinggal pergi sama penggunanya.


Kalau dulu saya selalu pede bagiin postingan saya di sosial media. Sekarang, saya jadi banyak mindernya. Ya.. setiap selesai publish postingan baru, saya udah jarang banget bagiin link postingan di FB atau Twitter. Saya ngerasa minder aja kalau tulisan saya jadi semakin jelek.


Sebenernya ini nggak sehat banget sih, karena saya jadi terlalu takut sama komentar orang yang bakalan gimana-gimana sama tulisan saya. Jangankan bagikan link postingan blog. Beberapa tahun belakangan ini, saya kayaknya jadi sering banget, udah nulis panjang-panjang buat komentarin postingan FB atau reply twit di Twitter pada akhirnya tulisan itu saya hapus lagi dan saya cuma nyimak aja.


Ya, hidup saya sekarang emang seribet itu. Saya jadi lebih banyak nyimak, dan males aja kalau akhirnya ada yang ngajakin debat.


Ngomongin masalah ngeblog, bulan ini blog saya domainnya udah mau habis dan saya dapat email tagihan buat perpanjang domain.


Saya sempet bingung, perpanjang nggak ya? Kalau saya perpanjang, tapi buat apa? Saya udah jarang banget nulis. Kalau nggak diperpanjang, sayang juga soalnya udah lumayan lama domain ini melekat di blog ini. Saya juga masih berharap ada sisa-sisa temen saya di masa lalu yang sewaktu-waktu mau mampir di blog ini.


Akhirnya, ya udah jelas… saya tetap perpanjang domain blog ini walaupun saya tahu, sebenernya ini tindakan mubadzir. Sebenernya alasan kuat lainnya karena blog ini juga udah menyimpan banyak banget kenangan buat saya. Udah banyak hal saya tulis di sini.


Untuk saat ini mungkin saya masih jarang ngunjungin 'rumah' saya yang satu ini. Tapi rumah ini udah menjadi bagian dari perjalanan hidup dari kesenangan saya di awal ngeblog sampai sekarang, tempat yang jadi saksi bagaimana saya berproses dari yang alay sampai jadi diri saya yang sekarang.


Jadi, saya nggak bisa nelantarin blog ini gitu aja. Walaupun nggak bisa selalu bisa saya kunjungin, setidaknya saya coba buat terus mempertahankan 'rumah' ini. Agar ketika sewaktu-waktu saya 'kembali', rumah ini masih tetap seperti dulu.

Selasa, April 14, 2020

Tentang Pembelajaran Online, yang ....

April 14, 2020

Entah sekarang udah hari keberapa saya memberi tugas ke anak-anak lewat pembelajaran online. Pembelajaran yang sebenernya cuma ngasih tugas lewat grup whatsapp, yang didalamnya berisi orangtua siswa, lalu kalau udah selesai tugasnya difoto dikirim ke saya.

Saya beneran nggak ingat dan nggak mau repot-repot bolak-balik ngecek kalender cuma buat sekedar tahu, ‘Oh ini udah dua minggu, tiga minggu, empat minggu belajar di rumah atau berapalah.’


Ingatan saya terus bertumbuk sama informasi yang kebanyakan sama, setiap hari informasi tentang Covid-19 berdatangan dan terus menimpa informasi lainnya.

Kalau kemarin baru saja ngomongin cara bikin disinfektan sendiri, besoknya muncul berita baru kalau disinfektan ini sebenernya nggak efektif. Baru kemarin muncul berita orang sehat nggak usah pakai masker, sekarang semua harus pakai masker. Simpang siur informasi yang nggak jelas benar-benar mencederai otak saya dalam mencerna hari-hari yang sudah saya lewatin beberapa hari belakangan ini.

Gimana enggak bingung? Berita tiap hari ngomongin covid-19 mulu, sementara kehidupan saya di rumah begitu-begitu terus. Bangun tidur, ngasih tugas, gendong anak, kasih anak ke  istri, liat-liat tumpukan buku di rak, ambil, baca, tiduran, main HP, balesin chat orangtua siswa yang habis ngirim tugas. Begitu terus tiap hari. Pantes aja saya jadi susah membedakan hari yang sudah pernah saya lewatin, soalnya sama semua aktivitasnya. Jadi berasa Deja Vu versi kearifan lokal.

Ngomongin pembelajaran online, awalnya saya begitu semangat menjalani ini. Saya buka buku paket, saya baca materinya. Saya siapin bahan belajarnya, saya kembangkan soalnya, saya catat setiap tugas anak yang masuk. Semuanya berjalan begitu indah, saya berasa banget jadi guru yang profesional, bahkan saya berpikir kalau saya sepertinya perlu bikin video buat menunjang belajar anak.

Sayangnya, itu cuma rencana. Ternyata konsep pembelajaran online itu, sumpaaaahhh.... lebih capek dari jadi guru biasa ngajar sehari-hari. Kalau hari-hari biasa saya tinggal berangkat masuk kelas, buka buku terus ngajar dan selesai.

Kalau pembelajaran online ini enggak. Saya buka buku, mikir bikin tugas, terus menerima chat dari sekitar 30 orangtua siswa yang ngirim tugas anaknya, merekap tugas anak-anak, ngoreksi tugasnya satu per satu dan harus cepet-cepet dikelarin! Soalnya besok udah nunggu tugas baru dan harus ngoreksi lagi.

Ngoreksi biasa aja udah cukup makan waktu banget, apalagi ini mesti ngoreksi pakai HP. Ditambah kadang foto dari orangtua kurang jelas, saya harus menajamkan mata lebih bertenaga dari biasanya.

Lalu, satu hal sepele yang akhirnya muncul sebagai permasalahan ada kuota. Saya sebenernya bukan orang yang rentan akan kekurangan kuota, Kadang saya beli telkomsel bulanan yang sekedar empat giga cuma buat cadangan, paling utama saya juga masih beli paketan smartfren yang unlimited. Cuma, emang smartfren ini agak-agak ngeselin, gayanya aja unlimited tapi kenyataannya sinyalnya parah banget. Akhirnya jadi sering nggak kepake daripada menikmati internetan unlimited. Makanya buat jaga-jaga saya juga isi kuota telkomsel dan habis lebih cepet.

Ngomongin masalah kuota, karena suasana di rumah sering mendukung untuk rebahan. Pemakaian internet saya jadi lebih boros. Saya jadi lebih sering buka Youtube, keliling sosmed, buka Youtube lagi, keliling sosmed lagi begitu terus sampai ketiduran.

Habis itu ditambah tugas dari anak-anak yang kadang formatnya video, kalau satu video katakanlah besarnya sekitar 20 Mb dikalikan sekitar 30 anak. Sekali tugas saja sudah makan kuota sekitar 600 Mb, kalikan lagi jumlah hari yang penugasannya pakai video. Mantap sekali.

Belakangan ini saya juga sadar, anak-anak sepertinya sudah mulai bosan menghadapi tugas online yang agak-agak unfaedah. Jangankan anaknya, gurunya juga sudah mulai jenuh banget harus bikin tugas, menerima tugas, mengoreksi dan besoknya terulang lagi.

Masalah pemberian tugas... Ya, saya juga sebenernya serba salah. Mau maksain ngejar materi sampai selesai, tapi saya nanti merasa berdosa karena nggak bisa menjelaskan langsung materi-materi yang sebenarnya. Mau saya hadirkan video penunjang yang ada di Youtube, saya ngerasanya nggak bakalan efektif, dan tentu saja tetap harus didampingi wali kelas buat penguatan materinya.

Terus mau saya kasih tugas buat sekedar mengisi waktu anak-anak tapi saya khawatir kalau anak-anak nanti jadi ketinggalan materi. Apalagi di kota saya sudah muncul surat edaran dari pengawas pendidikan yang menjelaskan kalau nanti nggak ada ujian kenaikan kelas. Pembuatan rapot kenaikan kelas diambil dari nilai yang sudah diambil sampai sebelum wabah covid-19 membuat sekolah diliburkan.

Nah, kan... akhirnya pembuatan raport pun jadi semacam formalitas belaka. Yang penting dibikin seadanya dan anak-anak naik kelas. Adanya peraturan ini sebenernya saya nggak nyalahin pengawas pendidikan juga sih. Jangankan rapot anak yang dibikin dengan nilai yang nggak selesai. Liga sepakbola di seluruh dunia aja terpaksa dihentikan dan memunculkan perdebatan tentang bagaimana kelanjutannya, siapa juaranya, siapa yang degradasi dan lain-lain.

Wabah Covid-19 ini benar-benar berhasil melumpuhkan segala hal.

Tentang pembelajaran online ini, saya mikirnya tugas yang saya kasih ini sebenernya tujuannya buat apa sih? Tambahan nilai? Enggak, soalnya udah jelas guru hanya boleh mengolah nilai sampai sebelum sekolah diliburkan.

Biar anak nggak mainan tok di rumah? Biar anak ada kesibukan? Nyatanya, ada beberapa orangtua yang justru kewalahan kalau anaknya dikasih tugas. Mereka jadi uring-uringan sendiri ngadepin anaknya.

Akhirnya pembelajaran online yang belum maksimal ini, belum apa-apa udah ditambahin protes dari orangtua yang bilangnya kalau ngasih tugas jangan banyak-banyak. Ya saya juga memahami sebenarnya kalau orangtua di rumah juga kerjaannya (mungkin) banyak. Anaknya nggak cuma satu, anaknya bisa aja rewel, kerjaan rumah juga udah numpuk. Tapi saya dilema juga kalau nggak ngasih tugas, nanti anak-anak di rumah cuma santai saja gegoleran tiap hari jadi lupa sama alasan sebenarnya mereka hidup buat apa.

Kadang saya kasian juga sama orangtua siswa yang malem baru sampai rumah habis maghrib dan mereka masih berusaha buat mendampingi anaknya mengerjakan tugas. Bahkan ada teman guru yang cerita kalau ada orangtua siswa yang sms belum bisa ngirim tugas karena belum ada kuota.

Jujur aja, saya sedihnya liburan yang terlalu lama ini jadi bikin saya nggak ketemu sama anak-anak. Lebih sedihnya lagi, kemungkinan besar begitu berangkat sekolah nanti, saya harus melepas anak-anak naik kelas bertemu dengan wali kelas baru. Nggak nyangka banget, pertemuan terakhir setelah UTS kemarin bisa jadi itu adalah yang terakhir bersama mereka di kelas tiga tahun ini.



Rabu, April 08, 2020

Cara menikmati Buku, Dulu dan Sekarang

April 08, 2020
Saya termasuk orang yang sangat mudah khilaf untuk urusan buku. Setiap ada pameran buku, ngeliat buku murah dan ‘kelihatannya’ bagus, saya pasti langsung beli. Bahkan saya nggak puas kalau cuma sekali dateng ke pameran buku. Besoknya, atau entah beberapa hari kemudian, saya pasti datang lagi, berburu buku lagi berharap ada buku bagus yang luput dari pandangan saat kunjungan pertama. Pada akhirnya, entah buku itu bakalan dibaca apa nggak, yang penting saya beli aja dulu.

Saya memang boros banget kalau udah ngomongin masalah buku. Parahnya lagi, Facebook saya sekarang kebanyakan berteman sama berbagai penjual buku yang tentu saja sering banget mereka update postingan harga buku yang menarik dan harganya terjangkau.

Udah jelas, dengan hal semacam itu, iman saya langsung goyah. Jari-jari tangan saya otomatis mengetik ‘mau’ atau ‘beli’ di postingan beberapa penjual buku. Bebeberapa saat kemudian, saya tersentak dan menyesali jari-jari saya yang bertindak lebih cepat dari otak saya sendiri.

Iya, saya nyesel karena beberapa saat kemudian saya baru mikir, ngapain juga sih saya beli buku beginian, palingan akhirnya juga nggak bakal dibaca.

Salah satu kelemahan saya lainnya adalah saya terlalu lemah menghadapi rayuan para penjual buku kalau lagi nawarin buku lewat inbox. Saya mudah tergoda buat beli buku yang sebenernya bukan selera saya, tapi karena kelihatannya bagus, saya jadi kepengen.

Salah satu contohnya adalah buku di bawah ini.


Ngapain juga saya mesti beli buku 50 Tahun ABRI yang beratnya sampai sekilo ini ?!

Saya kadang suka merasa bodoh sama diri sendiri. Hanya karena buku ini kelihatannya bagus dan langka, saya jadi mikir, “Kayaknya ini buku bagus buat koleksi, nanti kalau senggang bisa dibaca-baca. Lumayan buat tambah-tambah pengetahuan tentang ABRI pada jaman dulu.”

Sedangkan begitu bukunya sampai di tangan, saya mikir lagi, “Buku setebel ini kapan bakal dibacanya?! Buku bacaan lainnya yang masih realistis dibaca aja masih pada numpuk dan masih pada segelan. Ini lagi buku beginian, udah bakal nggak kebaca, lah!”

Saya emang lemah banget mengurus masalah keuangan kalau urusannya udah sama buku. Kadang saya merasa kalau saya ini sedang mengidap penyakit Tsundoku.


Pernah saking merasa bodohnya sama diri sendiri, saya menahan diri berhari-hari buat nggak buka Facebook karena takut bakalan khilaf beli buku terus.

Cara ini sempat efektif untuk beberapa hari, saya berhasil menahan diri untuk nggak buka Facebook. Tapi di hari kelima, saya udah mulai sakau. Gelisah banget pengen ngeliat postingan para penjual buku. Terus saya mencoba meyakinkan diri untuk “nggak papa deh buka Facebook, yang penting harus pegang komitmen nggak beli buku!”

Saya pun mengiyakan isi hati saya dan mantap buka Facebook, beberapa saat kemudian... saya pengen nangis ngeliat buku-buku keren yang dijual dengan harga murah banget. Akhirnya saya mengkhianati komitmen diri sendiri dan jari saya (kembali) bergerak lebih cepat dari otak saya, buat ngetik 'mau' atau ‘beli’.

Hasrat saya yag terlalu mudah buat beli buku muncul sejak saya lulus kuliah, dan akses saya ke marketplace semakin mudah. Ya, setelah tahu OLX, Tokopedia, Bukalapak dan penjual buku di Facebook. Saya berubah jadi sosok yang sangat-sangat mudah membeli buku.

Kalau dulu pas kuliah di Semarang, hal beginian belum populer. Saya meribetkan diri dengan mesti beli buku di toko buku bekas. Mesti liat satu per satu yang seringnya nggak nyaman karena penjualnya ngawasin terus dan nanyain mau cari buku apa. Padahal, saya niatnya mau lihat-lihat dulu kalau ada yang bagus baru beli.

Kadang saya juga kangen sama masa-masa menyisihkan uang hidup selama kuliah buat dibeliin buku di gramedia. Seminggu atau dua minggu sekali saya rajin mampir ke gramedia buat beli sebiji buku yang selalu saya hisap aromanya dalam-dalam begitu saya buka segel plastiknya di dalam kamar kos. Wangi buku baru adalah aromaterapi yang selalu menyenangkan buat saya hirup. Lalu saya membaca buku yang saya beli sampai habis.

Sejak munculnya toko online, di mana jari tangan bisa mengetik judul apa saja yang dipengen, atau bisa melihat dagangan para penjual buku yang semuanya terlihat gamblang. Hal ini akhirnya jadi memunculkan pribadi saya yang lain, yang selama ini tertidur lelap. Pribadi saya yang gila akan belanja buku.

Mungkin saya jadi seperti ini karena kejadian di masa lalu juga, ketika SD, dulu saya yang hobi banget baca buku cuma bisa datang ke persewaan buku. Mau beli buku pun percuma, di kota saya nggak ada penjual buku semegah Gramedia atau selevel Toko Gunung Agung. Palingan ada cuma loper koran yang kadang juga jual komik terbitan M&C, dan itu pun hanya beberapa biji.

Saking hobinya baca buku jaman dulu, saya sering mampir ke perpustakaan SD buat pinjam buku bacaan khas perpustakaan yang ada tulisannya, “Milik negera dilarang diperjualbelikan.” Buku-buku terbitan Balai Pustaka dan sejenisnya.

Dan tahukah kalian? Demi mengenang kembali masa-masa bacaan buku jaman SD. Saya juga khilaf beli buku-buku beginian. Ini dia:


Dulu, saya memang punya keinginan punya perpustakaan pribadi. Saya pengen ngoleksi buku, saya pengen punya buku yang banyak, di mana kalau saya pengen baca buku saya tinggal ambil aja dari rak buku.

Waktu masih bocah dulu, komik seri apa aja saya baca. Saya paling sering baca seri Monika dan Kawan-Kawan, karena komik itu termasuk segelintir dari komik yang dijual di kota saya. Beberapa terbitan M&C lainnya juga pernah nongol di loper koran, tapi tentu saja volumenya nggak urut dari awal, dan saya tetap beli komik itu berapapun nomernya.

Sekarang, hal yang paling tertanam dalam ingatan saya adalah, saya pengen nostalgia sama komik-komik yang ada pada masa saya kecil dulu. Itu sebabnya saya hobi semangat cari komik-komik tahun 90-an seperti: Doraemon, The Genius Bakabon, Chibi Maruko Chan, Sentaro, Kungfu Boy, Cerita Hantu di Sekolah, Detektif Kindaichi, dan masih banyak lainnya yang harganya sekarang udah ratusan ribu karena jumlah volume tiap judulnya ada banyak.


Sekarang, saya kalau punya komik volumenya ada yang bolong atau nggak lengkap, saya ngerasa nggak sreg. Saya harus cari komik yang bolong ini biar lengkap. Padahal jaman dulu, komik nomor berapapun saya tetap baca, saya  jejer bercampur-campur dengan komik yang nomernya nggak urut lainnya. Mungkin karena saya dulu kekurangan bahan bacaan.

Dulu, buku atau komik dengan keadaan apapun saya selalu bisa nerima, bahkan kalau buku itu udah nggak ada covernya sekalipun ataupun udah lecek halamannya. Sekarang, entah kenapa saya jadi memandang buku kondisinya kalau bisa harus bagus. Bukan buku bekas perpustakaan umum atau persewaan buku yang ada stempel, staples atau coretan jadi terlihat nggak menarik buat saya. Ya... cara saya memandang buku udah berubah, rasanya lebih sreg aja kalau punya koleksi buku yang masih mulus. Padahal tetep aja isinya sama.


Padahal, dulu pas saya di Semarang, kalau saya lihat judul yang saya suka, tapi kondisinya cukup mengenaskan saya tetap mantap buat beli bukunya karena yang paling penting isinya masih bisa dibaca.

Dulu, setiap saya beli buku pasti saya baca karena memang buku yang saya punya terbatas. Komik, novel remaja, buku komedi pasaran, majalah dan lainnya selalu saya tuntaskan. Bahkan waktu masih SD, saya bisa berulang kali membaca buku yang saya punya karena memang nggak ada buku lainnya.
Sekarang, nggak setiap buku yang saya beli pasti langsung saya baca. Semakin lama justru semakin numpuk. Mungkin karena sekarang saya juga terlalu banyak kerjaan. Jadi guru SD di sekolah swasta, saya ngajar dari pagi sampai sore, sorenya saya ngelesin sampai Maghrib. Malemnya, saya justru menikmati rebahan setelah capek seharian kerja.

Dulu, saya punya banyak waktu untuk membaca buku tapi tidak punya banyak buku untuk dibaca. Sekarang, saya punya banyak buku tapi tidak punya banyak waktu untuk membaca.

Dulu, saya nggak punya banyak uang buat beli buku padahal saya punya banyak waktu untuk membaca. Sekarang, saya bisa beli cukup banyak buku, tapi saya nggak punya banyak waktu untuk membaca.

Mungkin apa yang saya lakukan sekarang bisa jadi sebuah bentuk pelampiasan terhadap diri saya di masa kecil yang kepengen banget bisa baca banyak buku tapi ga bisa sepenuhnya kesampaian. Saya yang sekarang mungkin jadi terlalu ambisius buat ngumpulin berbagai macam buku di masa lalu yang nggak bisa saya miliki.


Setidaknya, apa yang saya inginkan waktu kecil akhirnya kesampaian. Punya ruangan tersendiri buat menyimpan koleksi buku-buku saya. Memang nggak semuanya bisa dibaca langsung, tapi buku yang ditumpuk banyak itu jadi berarti ketika masa-masa #dirumahaja seperti sekarang ini. Disaat orang-orang disuruh berdiam diri di rumah untuk menghindari penyebaran virus corona. Saya jadi punya banyak kesempatan untuk rebahan di ruangan yang sebelumnya jarang banget bisa saya pakai rebahan karena kerjaan yang padat.

About Us

DiaryTeacher Keder

Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.




Random

randomposts