Rabu, Mei 16, 2018

Versus Kenek Bus

Mei 16, 2018

Bagi sebagian mahasiswa, ritual pulang kampung itu mutlak hukumnya, dan oleh sebab itu sebagai mahasiswa Indonesia yang tidak betah berlama-lama di kosan karena khawatir dengan perkembangan gizi di akhir bulan. Gue pun ikut melaksanakan misi pulang kampung ke kota Pemalang bareng teman satu kontrakan yang bernama, Surya.

Surya adalah partner gue yang paling tepat untuk pulang ke Pemalang karena kami memiliki latar belakang dan cita-cita yang sama. 

Sama-sama uang bulanan sudah tipis, dan sama-sama ingin pulang ke Pemalang dengan biaya seminimal mungkin. Dengan pulang berdua naik motor, ongkos yang dikeluarkan untuk bensin tentu saja jadi bisa dihemat. Kalau capek di jalan, bisa gantian nyetir motornya. Kalau haus di jalan, bisa menepi sebentar dan saling meyakinkan kalau haus adalah sesuatu yang fana dan kami kuat..

Kami naik motor Supra X warna merah hitam milik Surya yang ada stiker R di bodi motornya. Sebagai laki-laki yang bertenaga, tentu saja gue mengambil peran utama sebagai orang yang duduk mengisi jok belakang. Sementara Surya yang bertugas mengendarai motor supaya baik jalannya.

Awalnya, perjalanan kami terasa biasa saja nggak ada yang istimewa sama sekali. Saking biasanya, gue sampai ngantuk banget di jalan bahkan hampir mau oleng sebelum Surya berhasil memegang tangan gue dengan erat.

Pipi gue pun memerah.

Perjalanan yang gue kira akan berakhir biasa saja, mendadak menjadi sangat menegangkan ketika kami berdua sudah sampai di Kecamatan Petarukan, di wilayah kota Pemalang. Disaat kami berdua sedang fokus di jalan sambil mencetin jerawat secara acak, tiba-tiba ada bus antar kota yang ugal-ugalan, mencet-mencet klakson sembarangan. 

Tentu saja, yang dituju adalah kami berdua. Mungkin karena kami naik motornya di tengah jalan, bus tadi merasa terhalangi lalu mereka emosi. Ternyata, segampang itu bikin bus di jalan jadi emosi, padahal kami kan nggak sengaja.

Surya yang ngerasa nggak terima diklaksonin secara bertubi-tubi memilih bertahan di tengah jalan nggak mau memberi jalan sambil melaju perlahan. Sementara gue, khusyu’ duduk di belakang sambil teriak, “Sur, minggir Sur, minggir.. parah lo!”

Gue gemetaran, khawatir supir busnya nekat lalu nabrakin bus yang dikendarai ke motor yang ada di depannya. Lalu supir dengan santainya turun dari bus dan bilang ke kami kalau mereka cuma iseng.

Supir bus di belakang gue udah mulai teriak-teriak dengan ngeluarin kepalanya lewat jendela. Kenek bus nggak kalah garangnya, mereka nunjuk-nunjuk ke arah gue dan Surya sambil teriak-teriak nggak jelas, seolah-olah gue adalah buruan yang halal buat ditombak.

Surya yang tadinya bersikukuh masih di tengah jalan, terpaksa ngalah minggir memberi jalan kepada bus yang masih semangat membunyikan klakson berkali-kali itu setelah gue meyakinkan bahwa jalan perkuliahan kita masih panjang, jangan sampai terhasut sama supir dan kenek bus yang tampak berselera menyantap kami berdua di tengah jalan.

Begitu Surya mulai menepi, bus lewat di samping kami diiringi kata-kata mutiara syahdu pembangkit semangat perjuangan dari kenek dan supir bus kepada kami. Nggak cuma itu, supir bus yang budiman itu meminggirkan busnya seolah-olah mau menyerempet kami berdua. Otomatis, Surya terpaksa memilih keluar dari jalan beraspal untuk mengendalikan motornya daripada keserempet bus yang penuh hawa nafsu itu.

Gue yang merasa terhina dengan kejadian itu, langsung bereaksi, “Wah kampret tu orang! Susulin Sur, kejar di depannya jangan kasih jalan.”

“Iya tuh, maksudnya apaan sih main mau nyerempet segala!”

Surya yang juga mulai terbakar emosi, menarik kencang gas motornya berusaha menyalip bus yang ada di depan. Melihat kami yang memacu kendaraan dengan cepat, supir bus mencoba menghalangi dengan meminggirkan busnya mencoba menghalangi langkah kami berdua.

Namun sebagai pengendara motor yang lulus SIM C tanpa nembak, Surya berhasil melalui itu semua dan berdiri kokoh di depan bus ugal-ugalan tadi. Seperti yang sudah diramalkan sebelumnya, teror klakson tidak berhenti-berhenti menghujani kami berdua sore itu. Kenek bus teriak lebih kenceng sambil ngacungin botol air mineral kosong ukuran besar pada kami.

Kami yang tadinya punya nyali, mendadak ciut dengan teror klakson yang membisingkan itu. Gue pun meminta Surya untuk menepi lagi dan merasa itu sudah menjadi balasan yang cukup untuk supir dan kenek bus yang budiman tadi.

Begitu kami menepi dan sengaja mengambil jarak agak lebar biar nggak terjangkau sama bus tadi, ternyata bus tadi begitu nekat mendekati kami berdua dan mulai melancarkan serangan fisik. Yap, serangan fisik.

Sang Kenek dengan amarahnya yang begitu nyata memukul-mukul kepala Surya pakai botol air mineral berkali-kali, posisinya kami masih sama-sama jalan beriringan. Gue salut sama supir bus yang bener-bener lihai menyelaraskan kecepatan dan jarak untuk memberi kesempatan pada partnernya sang kenek menghakimi kami berdua. Walaupun ya, lebih tepatnya Surya yang dihakimi.

Di tengah deraan bertubi-tubi, gue sempat kepikiran jangan-jangan sang supir bus itu dulu waktu masih SMA peraih nilai UN tertinggi se-kabupaten untuk mata pelajaran IPA sama Matematika. Soalnya ini supir jago banget menghitung kecepatan busnya tetap stabil mengimbangi motor kami yang tersendat-sendat jalannya.

Melihat kelakuan brutal kenek bus yang menganggap kepala Surya seperti rebana, dikeplakin mulu. Jujur saja, gue emosi.. tapi takut juga ngadepin kenek bus yang sudah kalap begitu. Melihat Surya yang masih dipukulin kepalanya pakai botol air mineral. Gue teriak ke Surya, “Minggir Sur, berhenti saja dulu berhenti!”

Surya nurut dan berhenti. Gue khawatir, busnya jadi ikutan berhenti terus akhirnya jadi ribut di jalan. Kami berdua pasti langsung nangis nantinya. Beruntung, bus tetap melaju, kenek bus masih ngomel sambil mengacungkan tangannya pada kami berdua.

“Kampret itu orang... Sur, kita jalan pelan-pelan nanti belok dulu di pertigaan jalan arah Serang.”

“Ngapain? Asli ini ya.. gue nggak terima diginiin.”

“Sambil tunggu busnya agak jauh, Kita cari batu! Kita lempar kaca busnya nanti!” Gue sudah ikutan panas.

“Ide bagus, ayo!” Surya mengangguk mantap.

Gue memungut batu di pinggir jalan yang lumayan besar, Surya juga memungut batu yang nggak kalah besar, tapi nggak sampe sebesar ukuran bakso beranak. Kami belok lagi menuju jalan dan melihat dari kejauhan sambil menunggu timing yang tepat untuk melempar batu.

“Sur.. nanti kalau busnya belok kanan ke arah pantura di depan Gandulan. Kita lempar bareng-bareng kaca belakangnya. Jadi kita langsung ngebut lurus, busnya nggak punya kesempatan buat ngejar lagi.”

“Oke siap! Nanti kasih aba-aba aja kalau mau ngelempar”, Surya memacu motornya lebih kencang lagi untuk mempersempit jarak, sengaja kami ngikutin dari belakangnya biar bus nggak curiga.

Bus mengurangi kecepatan, perlahan berbelok ke arah kanan menuju jalan pantura. Di tengah jalan pertigaan, ternyata bus berhenti buat nurunin penumpang. Surya mulai mengurangi kecepatan, begitu jarak mulai dekat, gue ngitung, “Satu... dua.. tiga! Lempar!”

DUG! Surya ngelempar batu kena bodi samping. 

DUAGGG! Gue ngelempar kena kaca belakang. Sayang nggak sampai retak. Gue nengok ke belakang mencoba ngeliat reaksi mereka.

Mendengar suara kencang, kenek bus reflek ngeliat kaca belakang busnya terus ngeliat ke arah kami berdua seperti mau ngejar sambil mengacungkan tangannya (lagi). Mungkin pas jaman sekolah dulu, kenekn bus ini salah satu siswa yang rajin bertanya sama gurunya sambil angkat tangan. Sampai dia jadi kenek bus, dia masih suka bertanya, ke penumpangnya, “Mau turun di mana?”

Sementara itu supir bus ikutan turun dan mau ngejar kami berdua. Tapi gue sama Surya sudah ambil jalan lurus arah kota. Mereka tidak berdaya. Mereka pasti kesel banget.

Entah kenapa sore itu rasanya gue puas banget. Mereka pasti kesel banget . Bener-bener afdol banget sore itu.

Surya langsung memacu motornya dan memilih belok ke kiri masuk daerah pedesaan. Khawatir  supir sama kenek bus nekat lari ngejar karena ternyata mereka adalah ninja. Alhamdulillah... sore itu kami berhasil lolos dan bernapas tenang sampai di rumah.

Pas sampai depan rumah, gue bilang ke Surya, “Lo tadi nggak papa kan Sur?”

“Nggak papa, makasih ya sudah perhatian, Dotz.”

Gue melihat pipi surya memerah.

Sebenarnya, apa yang kami berdua lakukan itu bukan hal yang baik, tapi siapa yang nggak kesel sih diklaksonin terus-terusan, kepalanya dipukulin pakai botol di tengah jalan dan dikasih kata-kata mutiara pembangkit semangat perjuangan.
Tapi, ya... seru juga.

Senin, Maret 19, 2018

Satu Tahun

Maret 19, 2018
Tepat setahun yang lalu, hari ini sekitar pukul delapan malam, gue nggak tau kurang atau lebihnya karena perasaan grogi yang campur aduk waktu itu. Gue sedang berjuang menghadapi proses ijab qabul sebelum resmi jadi laki-laki yang siap nemenin seorang perempuan yang udah mantep gue pilih dalam hati.

Waktu itu, untuk sekedar mengucapkan ijab qabul yang hanya beberapa kalimat aja gue bener-bener dilanda gelisah. Khawatir kalau lidah mendadak kelu dan gagal ngucapinnya, nikah gue bakalan ditunda dan gue mesti mandi kembang tujuh buruk rupa.

Alhamdulillah, kekhawatiran gue nggak berubah jadi kenyataan. Meskipun dengan wajah tegang seperti nahan cepirit yang udah keluar dikit, gue sukses mengucap ijab qabul. Seketika hati gue merasa lega banget seperti merasa menemukan toilet penuh cahaya keemasan ketika perut udah mules banget.

Sebelumnya, gue udah khawatir banget sampai kepikiran gimana kalau ini gue lypsinc aja ijab qabulnya. Tapi karena gue nggak mau keliatan cemen, gue urungkan niat itu. Maka, begitu gue sukses menyelesaikan ijab qabul yang sakral itu, perempuan yang ada di sebelah gue mendadak nangis. Gue berharap itu bukan tangis penyesalan karena nikah sama gue, tapi karena saking senengnya punya suami kayak gue.

Perempuan yang ada di sebelah gue, namanya Redevi Citra Rahasia (Kalau lengkap-lengkap banget barangkali nanti ada yang telepon ngaku-ngaku dan ujungnya minta transfer duit). Perempuan ini biasa dipanggil ‘Rere,’ ‘Devi’, 'Citra' atau ‘Woy!!!’ kalau pas parkir ngeloyor aja lupa bayar.

Postingan kali ini, gue pengen nulis gimana gue bisa kenal sama perempuan yang beda lima tahun sama gue, dan mau-maunya jadi jodoh gue.

***
Waktu itu, gue masih jadi penyiar di radio T FM Pemalang. Gue biasa siaran pagi pukul lima sampai pukul delapan pagi dan sore dari pukul empat sampai menjelang maghrib. Acara yang gue bawain adalah acara musik remaja yang harusnya dipenuhi dengan musik-musik pop kekinian. Sayangnya, kebanyakan yang gabung di acara itu adalah anak-anak pemuja musik pop melayu.

Tiap hari lagu yang direquest nggak jauh-jauh dari D’Bagindas, ST12, Ilir7 sampai Didi Kempot. Dan yang terakhir gue sebutin tadi, nggak pernah gue puterin lagunya.

Di sebuah sesi greeting online atau pendengar nelfon ke radio buat kirim salam secara langsung, ada salah satu penelfon cewek yang sumpah, suaranya renyah banget. Kayak Chitato yang baru dibuka kemasannya dapet beli dari Alfamart.

Setelah gue kelar ngobrol-ngobrol, gue santai sejenak sambil muterin lagu. Nggak lama kemudian pas gue ngecek FB, gue dapat notif bahwa seseorang telah mencolek gue. Karena penasaran, gue lalu liat namanya, dan gue cek FB-nya. Wah, jangan-jangan ini Citra yang barusan tadi nelefon! Duh.. niat banget langsung kepoin FB gue. Makin penasaran, gue liat lebih jelas foto profilnya...

Subhanallah.. cantik!

Mungkin disaat yang bersamaan, ketika Citra ngeliat foto gue di FB, dalam hati dia bilang, Astaghfirulllah.. antik!

Kayak Alm. Benyamin Sueb!

Walaupun udah tau FB-nya, gue tetep nggak berani buat kirim pertemanan ke FB-nya. Gue tau Citra ini cantik, oleh karena itu gue lebih ke arah tau diri. Jadi gue cuma balas aja colekannya dia di FB.

Entah kenapa, gue suka ngobrol sama Citra di Greeting Online sore itu. Dia anaknya ceria dan suaranya syahdu banget di telinga. Hari-hari selanjutnya, Citra jadi sering gabung di acara gue entah itu pagi atau sore. Bahkan kalau pas giliran Citra yang telefon, gue sering keasikan sampai lupa kalau telefonnya udah kelamaan. Padahal itu masih online di radio.

Sayangnya pada hari-hari berikutnya, Citra jadi nggak pernah nongol sama sekali. Jujur aja, di setiap sesi greeting online, kadang gue berharap kalau yang nelfon adalah Citra. Tapi sayangnya malah yang nongol orang-orang yang pada suka request lagu pop melayu. 

Sampai di suatu pagi, gue ngerasa semangat banget karena akhirnya Citra nelefon lagi di acara gue, saking semangatnya gue sampai bilang, “Kemana ajaaa baru kedengeran lagi suaranya???”

“Hehe... Oh, jadi nyariin aku ya Kak, dari kemarin?” Kata Citra sambil cengengesan.

Duh, gue kayaknya salah ngomong nih, jadi keliatan banget kan kalau dari kemarin gue ini sebenernya nyariin dia. Setelah ngobrol-ngobrol dan request lagu, gue balik ke lagu buat muterin lagu yang udah direquest sama penelpon sebelumnya.

Lalu gue ngecek sms yang masuk satu per satu buat dibacain nanti, dan gue nemu satu sms yang gue tau itu dari Citra, bilangnya, “Kak. Request lagunya aku jangan lupa diputerin, ya... ^^”

Sambil cengir-cengir, gue balesin, “Iya, tenang aja.. nanti bakal diputerin kok, tungguin aja, ya..”

Beberapa saat kemudian, ada balasan sms lagi, “Yah.. kok balesnya pakai nomer radio sih, hehe”

Waaah... ini kode keras banget. Padahal jujur aja kalau gue mau, gue udah langsung sepikin Citra karena udah tau nomer hapenya. Tapi karena gue emang dasarnya cemen, gue nggak berani buat sok-sokan nyepik yang kadar keromantisannya nggak pas sama muka gue. Tapi mengingat kode keras yang gampang kebaca ini. Akhirnya gue catet nomer Citra dan gue sms ke nomer dia pakai nomer sendiri, tanpa ada sepik-sepik di dalamnya.

Sepulang dari siaran pagi, gue masih gegoleran di depan tivi. Waktu itu, sekitar pukul sembilan pagi. Gue gegoleran karena waktu itu jadi penyiar radio adalah satu-satunya pekerjaan gue. Gue belum jadi guru SD seperti sekarang ini. Tiba-tiba, hape gue bunyi dan gue ngeliat nama Citra di layar hape gue.

Ya Allah... gue panik! Grogi banget! Duh... ini gue mesti gimana ya bilangnya pertama kali angkat telepon.

Satu panggilan tak terjawab menghiasi layar hape gue karena gue nggak siap mental nerima telepon dari Citra. Sempat mau telepon balik, tapi sebelum itu gue lakukan, masuk lagi panggilan dari Citra, yang akhirnya gue angkat sambil pura-pura habis bikin mie instant di belakang.

Sumpah.. seumur hidup gue nggak pernah ditelpon duluan sama cewek.

Sejak saat itu gue jadi sering sms-an dan teleponan sama Citra. Sejak saat itu juga, gue nggak pernah berani berharap gue bisa pacaran sama Citra. Bahkan sekedar untuk ngajak jalan aja gue nggak pernah berani. Sampai di suatu maghrib, sepulang dari siaran. Citra sms dan bilang mau ke Pemalang kota, dan.. ngajak ketemuan.

DEG! MENDADAK BANGET YA ALLAH! BAIM BELUM SIAP!

Akhirnya, dengan segala kesungguhan hati yang nggak mungkin gue tolak. Gue langsung ngubek-ngubek nyari baju yang keliatannya cocok tapi nggak terlalu keliatan rapi banget. Gue deg-degan nggak karuan sambil terus-menerus berdzikir berharap diberi kekuatan untuk ketemuan.

Malam itu juga tanpa persiapan mental yang mantap. Gue ketemuan sama Citra setelah janjian untuk ketemuan di depan Bank BPD Jateng. Yang akhirnya jadi di sebelahnya karena Citra malah nyasar disitu. Kalau kalian pernah ngerasain gimana deg-degannya waktu mau pengumuman kelulusan ujian nasional. Gue ngalamin berlipat-lipat dari itu.

Begitu ketemu, Citra masih duduk di atas motor Beat Hitamnya sambil pake helm INK. Sementara gue sok-sokan langsung turun dari Vario Merah, dan langsung menghampiri Citra sambil nunduk ke bawah karena gue khawatir Citra bakalan shock ngeliat lingkar kepala gue yang enggak simetris.

Mungkin orang lain yang ngeliat kejadian malam itu berpikir gue seperti orang yang mau begal motor cewek yang lagi sendirian di motornya.

Setelah mengumpulkan segenap keberanian yang ada, gue nyapa sambil ngajak jabat tangan. “Hai.. aku Edot.”

Dalam hati gue ngebatin, “Ya Allah, ini cewek kok tangannya keras banget kayak Marinir.”

Begitu gue ngangkat kepala, ternyata yang gue salamin spion motor Beat. Citra senyum sambil bilang, “Tangan aku di sini, kak...”

“Oh iya, Maap.. hehe”, gue nyengir kuda. Lalu melanjutkan, “Jadi, ini mau kemana?”

“Aku kebelet pipis, Kak..”


Sumpah, nggak nyambung banget. Disaat gue nawarin kemana, dia malah bilang kebelet pipis. Untung gue pernah belajar memecahkan kode cewek waktu ikut pramuka dulu. Akhirnya gue tawarin Citra buat ke rumah gue dulu yang nggak terlalu jauh buat numpang pipis sambil ambil helm.

Malam itu, terjadi kesepakatan motor Citra dititipin di rumah gue dan kami boncengan. Percayalah, kesepakatan ini terjadi atas inisiatif Citra karena udah pasti gue nggak mau dibilang ambil kesempatan buat boncengan berdua walaupun gue berharapnya gitu.

Kami memutuskan untuk makan di warung soto sebelah rusun di Pelutan yang sebenernya gue udah kenyang karena sebelumnya udah makan di rumah, tapi karena ini pertemuan pertama, gue mesti jaga image biar nggak dikira ngirit. Gue pun ikutan pesan makan.

Kami duduk bersebelahan, selama makan nggak henti-hentinya gue menatap tembok yang ada di depan gue. Entah itu gue yang lagi ngomong atau gue yang lagi dengerin Citra ngomong. Sampai-sampai Citra bilang, “Kak... aku disini lho.. bukan di depan situ.”

Ya Allah.. halus banget ngomongnya kayak pantat bayi! Kalau gue es krim, mungkin malam itu gue udah mendadak lumer dan tak mungkin bangkit lagi.

Sementara itu disela-sela ngeliatin tembok gue berusaha untuk cari kesempatan benerin poni samping yang mulai lepek karena keringetan antara tempat yang cukup panas dan grogi yang mendarah daging. Sebuah poni samping yang gue banggakan waktu itu namun gue laknat saat ini karena gue baru sadar betapa hinanya poni gue di masa itu.

Malam itu jadi malam yang sangat mengesankan buat gue karena setelah dari warung soto kami memutuskan untuk nongkrong di alun-alun Pemalang. Saling bercerita banyak hal sambil masing-masing menjaga image sesempurna mungkin.

Sepulang nganterin Citra pulang ke rumah dengan naik motor sendiri-sendiri, satu hal yang gue pastikan adalah apakah Citra menyesal melihat bentuk nyata gue malam itu atau tidak. Kalau nantinya Citra  enggak kapok diajak jalan lagi, berarti fix.. Citra nggak trauma sama gue.

Alhamdulillah.. setelah pertemuan pertama itu, pertemuan-pertemuan berikutnya dengan Citra masih berlanjut.

***
Sore itu, gue mampir ke toko bunga di depan Rumah Sakit Tentara Semarang. Gue sengaja beli mawar putih beberapa ikat dan gue bawa ke Pemalang naik motor. Semua ini jelas ada tujuannya.
Setelah sekian lama dekat dan ngerasa ada harapan. Gue nekat memutuskan untuk mencoba ngungkapin perasaan yang sebenernya terlihat sangat-sangat tidak tahu diri.

Jujur aja, gue paling enggak bisa menyusun rencana penembakan yang heboh dan mengesankan. Tadinya sempat kepikiran untuk nembak Citra di tengah daerah konflik. Tapi gue urungkan niat itu karena biayanya pasti sangat mahal. Udah gitu, belum jelas diterima, pulangnya juga belum jelas selamat apa enggak.

Langkah sederhana pun gue ambil, gue siapin sebuah artwork yang nunjukin foto gue lagi ngungkapin cinta  ke Citra. Karena kemampuan menggambar gue mentok di dua gunung dan satu matahari di tengah-tengahnya. Gue pun minta tolong ke +tofik dwi pandu buat merealisasikan keinginan gue saat itu yang langsung diwujudkan dengan sangat mudah.

Sepulang dari Semarang, gue langsung ngajak Citra jalan habis maghrib. Kami berdua sempat neduh depan Alfamart di jalan ke arah pantai widuri karena sempat hujan deras.

Sampai akhirnya kami berdua sampai di depan pantai widuri dan dudukan santai. Mendadak perut gue terasa mules dan deg-degan nggak karuan sampai rasanya mau meledak karena proses penembakan akan segera gue mulai.

Setelah basa-basi dulu, proses penembakan malam itu gue awali dengan, “Dek, katanya kemarin sepulang dari Semarang pengen kelinci ya. Ini udah tak bawain.”

“Hah, kelinci apa? Aku nggak minta kok, Kak.” Citra jelas nampak bingung dan tak bercahaya karena malem-malem.

Astaghfirullahaladzim.... Yakali gue bawa kelinci dan gue masukin tas terus malem-malem gue keluarin! Lagian Citra emang nggak pernah bilang gitu juga. Ya Allah saking groginya omongan gue jadi ngaco banget.

Karena udah terlanjur ngomong ngelantur pakai kata kunci kelinci, akhirnya gue tetep lanjutin. “Lah masa lupa sih.. kan kemarin minta, ini loh udah tak bawain.”

Gue ngambil sesuatu dari dalam tas, dan ngambil selembar kertas artwork bertuliskan 'Redevi, I Love You' yang udah gue laminating. Terus gue taruh di separuh muka gue, nyisain mata aja yang kelihatan. Biar apa? Biar bisa nutupin muka gue yang udah sangat-sangat salah tingkah!

Tadinya gue mau sok cool naruh kertas gambar itu di dada dan menatap mata Citra tajam-tajam sambil megang bunga mawar. Sayangnya gue jiper sejiper-jipernya jiper. Gue udah salah tingkah kebangetan. Lagian dipikir-pikir, tindakan barusan malah membuat gue terlihat kayak pedagang asongan yang biasa berlalu-lalang di perempatan lampu lalu lintas.

Udah terlanjur basah dengan start yang tidak mulus. Gue terpaksa melanjutkan ngambil bunga mawar dari dalam tas dan ngasih ke Citra. Tapi Citra diam aja kayak kebingungan.

Kenapa lagi ini anak, gue udah nyodorin bunga malah didiemin aja~~~

Rasanya malu banget sumpah. Saat itu juga pengen banget gue nyembunyiin muka di dalam pasir pantai. Citra masih cengar cengir, untungnya beberapa saat kemudian Citra nerima bunga mawar dari gue.

Gue masih malu tak terhingga sepanjang masa. Dengan meminjam kekuatan datang bulan, akhirnya gue beranikan ngomong, “Dek... selama ini aku udah nyaman sama kamu, asik kalau bareng sama kamu. Kamu mau nggak buat serius sama aku? Jadi pacar aku.”

Citra cengengesan, membuat gue merasa menderita. Deg-degan nunggu jawaban.

“Emmm.. gimana ya, Kak. Dari kemarin temennya Kakakku juga udah banyak yang deketin sih. Udah ada yang main ke rumah juga.”

Sebuah opening kurang enak dari Citra yang membuat gue semakin menderita. Ingin rasanya memeluk batu karang di sekitar pantai malam itu. Gue merasa tanda-tanda penolakan sudah jelas, sejelas tanda-tanda kiamat setelah datangnya Dajjal.

Gue udah mikir, kalau selama ini ternyata gue kepedean. Gue berantem sama diri sendiri dalam hati, “Tuh kan, sok-sokan nembak. Nggak sadar diri banget. Malu banget kan kayak gini, tanda-tanda ditolak udah jelas banget.”

Tau gini harusnya gue tadi bikin pilihan di awal, "Dek... kalau aku diterima, kamu cium bunganya. Tapi kalau malam ini aku ditolak. Kamu cium bunganya... tapi nempel di aspal."

Gue tersadar dari lamunan bodoh di atas dan mencoba tetap kalem.

“Oh gitu, ya Dek. Hehe.. nggak apa-apa kok kalau emang nggak bisa, kita masih bisa tetep kakak adekan jadi temen kayak biasa kan.” Gue bilang kayak gini dengan sok tegar sambil nahan malu dan menikmati hati yang mulai retak secara perlahan.

Citra cuma senyum ngeliat gue yang udah mau cepirit sambil nahan malu.

“Tapi aku nyamannya sama kamu kok, Kak. Kamu juga lucu orangnya. Kalau sama Kakak, aku jadi ketawa terus.” Citra cengengesan lagi.

“Dan aku mau jadi pacar kamu, Kak.”

 

Alhamdulillah... Ya Allah ~~~~~

Cepirit yang udah di ujung tanduk perlahan masuk lagi dengan sendirinya. Hati yang udah mulai retak, perlahan menyatu lagi kayak di film Power Rangers.

Kemudian, malam itu menjadi malam yang menyenangkan untuk gue dan Citra yang akhirnya sekarang jadi jodoh gue.

Di usia pernikahan yang tepat satu tahun ini, Alhamdulillah... gue dapet kado dari Allah SWT yang Insya Allah kadonya baru bisa dibuka tujuh bulan lagi. Dan gue berharap semoga semuanya lancar dan selalu SaMaWa.

Senin, Maret 12, 2018

Dilema Kerja

Maret 12, 2018
Sejak menikah setahun yang lalu, kehidupan gue beneran berubah menjadi lebih serius. Kalau biasanya gue bisa seenaknya khilaf belanja buku, sekarang udah nggak lagi. Istri selalu curiga setiap ada kiriman paket yang datang ke rumah dan langsung nanya-nanya secara rinci mulai dari harganya berapa, ongkos kirimnya berapa, penjualnya cowok apa cewek sampai saldo ATM gue juga ditanyain sisa berapa. Lalu, kalau gue nggak bisa jawab secara ilmiah, resikonya mengkhawatirkan. Jauh lebih mengkhawatirkan dari ketidakmampuan menjawab serentetan pertanyaan dari dosen penguji skripsi.

Walaupun begitu, menurut gue nikah itu seneng sih. Tiap hari bisa bareng sama kesayangan. Pulang kerja ada yang nyambut, pulang ngaji ada yang nyambut, bahkan pulang telat juga ada yang nyambit.

Belakangan ini memang kehidupan gue dan istri jauh lebih nyenengin dibanding awal-awal bulan pernikahan. Ya, itu bukan karena sebelumnya sering berantem ngerebutin remote tipi, bukan. Tapi karena dulu gue dan istri, masing-masing disibukkan sama kerjaannya masing.

Gue kerja jadi guru SD di sekolah swasta yang tiap hari pulangnya sore. Sedangkan istri kerja jadi Beauty Advisor salah satu produk kecantikan yang setiap minggunya hanya ada satu hari jatah libur, dan liburnya bukan hari Minggu. Kalau berangkat pagi, pulang kerja pukul lima sore. Kalau berangkat siang pukul satu. Pulang kerja pukul sembilan malam.

Jadwal kerja yang begitu panjang ini membuat gue tiap pulang kerja jarang ketemu istri. Kalau istri berangkat siang, pulang kerja nyampe rumah sekedar buat selonjoran aja masih susah. Ini bukan karena ranjangnya yang sempit, tapi karena istri masih harus ngerjain laporan penjualan harian.

Saat gue udah asik gegoleran di kasur, istri masih sibuk megang bolpoin sambil buka-buka buku laporan. Gue sebenernya nggak tega juga sih ngeliatnya, mau gantiin istri ngerjain laporan, tapi gue nggak paham gimana caranya. Mau nyuruh istri istirahat dulu, sama aja nggak nyelesein masalah, cuma nunda pekerjaan aja yang akhirnya malah jadi numpuk.

Gue sering kasian kalau istri pulang kerja malem, besoknya mesti berangkat pagi. Bayangin aja deh, biasanya pukul sebelas malem ngerjain laporan baru kelar. Besok paginya udah harus bangun pagi berangkat kerja.

Melihat perpaduan jam kerja yang tidak harmonis ini membuat gue dan istri jadi jarang santai bareng, sekedar quality time berdua. Soalnya tiap gue libur, istri belum tentu libur. Begitu juga sebaliknya. Kami jadi terlalu sibuk dengan kerjaan masing-masing.

Akhirnya, setelah gue dan istri diskusi bareng. Kami sepakat kalau istri mendingan resign dari tempat kerjanya. Alasannya, yang pertama kalau gue yang resign bakalan nggak nyambung. Kedua, biar istri bisa santai di rumah fokus ngurusin suami satu-satunya ini.

Salah satu dilema yang paling terasa begitu istri resign kerja adalah akan berkurangnya pendapatan bulanan kami berdua. Tapi hal ini harus dimantep-mantepin, karena bagaimanapun juga, faktor kesehatan istri lebih penting, dan juga kebersamaan dalam keluarga jauh lebih bernilai dari pendapatan bulanan istri. #Asek

***

Beberapa bulan berlalu semenjak istri resign dari tempat kerja emang segalanya jadi lebih menyenangkan. Karena gue pulang kerja bisa diurusin istri, kalau gue libur bisa jalan-jalan berdua. Dan yang lebih penting, ternyata setelah resign dari tempat kerjanya. Istri masih bisa kerja sambil santai di rumah.

Semuanya berawal saat istri lagi santai sambil ngeliat-liat perlengkapan wanita di website Sophie Paris. Lalu, nggak sengaja istri melihat salah satu page dengan judul ‘Menghasilkan Uang’. Merasa penasaran, istri langsung kepoin isinya dan ternyata langsung tertarik!

Di dalamnya, ada penawaran untuk menghasilkan uang yang nggak mengganggu waktu untuk bareng keluarga dengan bonus bisa jalan-jalan keluar negeri. Ternyata caranya simpel, nggak perlu sampai pergi ke disdukcapil segala. Tapi, cukup jadi member Sophie Martin semuanya bisa diwujudkan.

Asiknya lagi, ternyata cara untuk menjadi member Sophie Martin itu nggak ribet, malah simpel banget. Cukup registrasi online, konfirmasi e-mail, lalu belanja eBSK secara online yang nantinya dapat berupa tas cantik, yang di dalamnya terdapat Sophie Paris card, katalog terbaru, Buku Panduan Member, Panduan Merekrut, serta perlengkapan wajib yang akan membantu di setiap langkah jualan dengan mengesankan.

Udah deh, habis itu otomatis langsung resmi jadi member Sophie dan siap menghasilkan uang dengan waktu yang diatur sendiri. Asli deh... jadi member Sophie Martin ini bener-bener peluang yang pas banget buat istri.

Bisnis jalan, waktu untuk keluarga juga jalan, dan siapa tau aja akhirnya bisa dapat kesempatan jalan-jalan ke luar negeri. Mantap kan~

Jumat, Maret 09, 2018

Bukan Review Ubur-Ubur Lembur

Maret 09, 2018

Waktu lagi iseng scroll timeline Twitter yang isinya berantem ngomongin politik mulu, nggak sengaja gue justru liat di timeline @gagasmedia kalau Raditya Dika bakal ngeluarin buku lagi. Setelah sebelumnya rasanya sepet pengen bego-begoin orang yang lagi berantem nggak jelas. Nah, kalau ini baru seger... Radit ngeluarin buku baru lagi! Langsung deh nggak perlu mikir satu kali, gue segera mengikrarkan diri kalau gue harus segera dapetin bukunya Radit begitu bukunya launching nanti.

Sebagai penduduk bumi di kota minimalis yang nggak difasilitasi toko buku Gramedia, beli buku online adalah cara terbaik untuk dapetin bukunya Radit dibanding mesti pergi ke kota sebelah yang ada Gramedia, namun dengan catatan harus melewati rintangan jalan berlubang di sepanjang pantura yang bikin sedih, sama kayak ngelewatin muka gue sendiri karena sama-sama penuh lubang.

Maka, gue menunggu-nunggu dengan semangat di bukabuku.com berharap ada pre order buku Ubur Ubur Lembur dengan bonus kaos atau merchandise menarik lainnya seperti buku Radit Sebelumnya yang berjudul Koala Kumal. Tapi ternyata, sampai malem sebelum tanggal 31 dan paginya pas tanggal 1 Februari gue cek buku Ubur Ubur Lembur malah belum ada di display web bukabuku.com.

Gue nggak tahu sih, kenapa Ubur Ubur Lembur ini nggak kayak Koala Kumal tahun kemarin pas terbitnya yang begitu menghebohkan. Kalo gue sih, mungkin mikirnya karena tahun kemarin Koala Kumal sampai bikin web bukabuku.com down karena saking banyaknya antusias orang yang mau beli bukunya Radit (karena ada embel-embel bonus kaos tentunya). Waktu itu bahkan gue termasuk orang yang tengah malem bela-belain pergi ke ATM buat transfer pembayaran order buku Koala Kumal karena waktu itu belum punya M-Banking. 

Atau mungkin karena Radit lagi sibuk banget dan nggak sempet buat tandatangan buku kedelapannya ini.

Hari kedua sejak tanggal terbit, buku Ubur-Ubur Lembur malah baru mejeng di web bukabuku seperti buku-buku lainnya. Nggak ada keistimewaan apapun. Sayangnya, gue udah males order karena gue lihat stok bukunya masih ada di gudang penerbit. Ini pasti bakalan lama banget sampainya kalau gue order di sini, karena mesti nunggu bukabuku ambil bukunya dulu di gudang penerbit.

Akhirnya, gue mencari jalan lain dan mendapatkan buku ini lewat salah satu pelapak di Bukalapak. Bukan lewat penjual buku yang sudah malang melintang dengan websitenya sendiri seperti Republikfiksi, Bukukita dan lain-lain. Alasannya simpel, kalau gue beli buku di toko buku online, kemungkinan sampainya buku ke rumah gue pasti akan lebih lama. 

Contohnya Republik Fiksi di Bukalapak, gue melihat kecepatan pengirimannya antara 3-4 hari,  ini kelamaan. Gue kayaknya nggak bakalan sabar deh  nunggunya. 

Gue lebih memilih pelapak yang tidak terlalu punya nama besar karena bisa menjanjikan buku akan segera dikirim kalau gue segera order. Sesuai dugaan, gue order hari Kamis, barang sampai di rumah hari Sabtu.

Dalam masa penantian Ubur-Ubur Lembur sampai ke rumah. Gue mendapatkan satu bab gratis berjudul ‘Dua Orang yang Berubah’, yang bisa diunduh di Playstore. Bab ini bercerita tentang Radit yang harus direpotin sama temennya buat membantu memperbaiki hubungan sama ceweknya.

Untuk melaksanakan misi itu Radit harus rela pergi hampir tengah malam ke rumah cewek temennya buat menjelaskan permasalahannya. Menurut gue ini bab pembuka yang bagus untuk mengangkat tema lembur dalam buku ini.

Ngomongin Ubur-Ubur Lembur. Sepertinya ini adalah pertama kalinya bukunya Raditya Dika nggak nampilin foto Radit di kovernya. Ubur-Ubur Lembur tampil dengan sengaja menyelaraskan diri dengan cover baru buku Raditya Dika lainnya yang tampil dengan lebih fresh.
  
Gue, sebagai penikmat bukunya Raditya Dika dari dulu pun ikut mengorbankan diri untuk membeli semua buku Raditya Dika dengan cover terbarunya. 


Sebelumnya gue sempat kepikiran buat jual buku-buku Radit dengan cover lamanya karena gue udah punya buku dengan kover yang baru, tapi entah kenapa gue masih sayang aja kalau bukunya dijual, karena setiap bukunya Radit punya kenangan masing-masing gimana dulu gue ngedapetinnya. 

Balik ke Ubur-Ubur Lembur, ada 14 bab di buku ini yang sebagian besar membuat senyum-senyum sampai ketawa lepas.

Dalam buku ini, ada salah satu bab tentang laptopnya Radit yang pernah hilang gara-gara ditinggal di dalam mobil. Sedihnya buat gue adalah karena di dalam laptop itu ada file calon bukunya Radit yang udah 80% jadi, yang akhirnya calon buku itu nggak pernah diterusin lagi karena udah hilang. Sayang banget kan sebenernya.

Lewat bab ‘Percakapan dengan Seorang Artris’, gue jadi tau kalau ternyata Young Lex itu orangnya sabar dan santai. Bahkan Young Lex tetap santai pas blognya Radit di-hack sama hatersnya Young Lex. Yaiya sih santai, soalnya kan itu blognya Radit.

Ada juga bab berjudul ‘Curhatan Soal Instagram Zaman Now’ yang ditulis seperti materi Stand Up Comedy-nya Raditya Dika yang terbaru. Salah satu bab ringan seperti yang ada di buku-buku Raditya Dika sebelumnya.

Menurut gue, Radit selalu bisa mengakhiri bukunya dengan bab yang membuat kita ikutan merenung dan menyesap satu per satu makna yang bisa diambil dari kisahnya. Ubur-Ubur Lembur ini juga begitu. Radit berbagi cerita tanpa bermaksud menggurui, yang intinya sebenernya kita itu mau hidup enaknya gimana

Buku ini memang nggak membuat gue tertawa lepas kayak baca novel-novelnya Raditya Dika dari Kambing Jantan sampai Babi Ngesot. Tapi setidaknya buku ini bisa bikin gue sering nyengir sesekali ketawa.
 
Ada salah satu kalimat yang gue suka di buku Ubur Ubur Lembur, begini...

“ Dari semua pekerjaan yang gue jalani, menulis buku adalah yang paling gue senangi. Ketika mengawali karier dulu, gue bisa menghabiskan waktu berjam-jam di ruang kerja, menulis kata demi kata, kadang istirahat untuk secangkir kopi. Pada saat itu, gue bisa mengurung diri, bahkan pernah beberapa hari tidak mandi, untuk mengerjakan satu bab buku baru. Ya, jorok kadang ada alasannya.”

Mendadak gue teringat masa kuliah dulu dimana gue betah banget duduk di depan laptop untuk menulis. Dulu, gue juga bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menulis, entah itu nulis buat buku gue atau buat blog ini yang dulu rajin gue update tiap minggu. 

Dulu setiap hal yang gue lalui kayaknya selalu asik buat dijadiin cerita, buat ditulis walaupun sebenarnya garing. Sayangnya, untuk sekarang ini gue udah nggak setangguh seperti dulu. Gue bener-bener sering ngerasa males dan ngerasa hidup gue semakin serius. Blog hampir nggak pernah keurus, grup Blogger Energy juga hampir nggak pernah gue perhatiin lagi.

Tapi setidaknya, gue berterimakasih sama Radit untuk Ubur-Ubur Lembur yang udah nampar gue buat mulai nulis lagi. Jujur aja, gue emang sering kangen sama kebiasaan gue nulis seperti dulu, entah buat dijadiin buku atau untuk kepuasan sendiri.

About Us

DiaryTeacher Keder

Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.




Random

randomposts