Sebuah Misi 'Pangeran Wota'
Edot Herjunot
Februari 14, 2015
Di sebuah ladang gandum yang luas. Hiduplah seorang Janda beranak dua, janda tersebut bernama Romlah. Hidupnya sebatang kara, suaminya jihad di Palestina, sementara kedua anaknya telah lama pergi meninggalkannya.
Anaknya yang pertama, pergi ke Jakarta buat ikutan audisi ‘Dangdut Academy’. Tapi sampai Dangdut Academy udah masuk season kedua. Anak pertamanya, belum juga pulang.
Sementara itu, anak keduanya, yang biasa dipanggil Coy, oleh teman sebayanya, pergi dengan alasan klasik. Pengin pergi merantau, biar bisa sukses. Kenyataannya, Coy pergi karena enggak tahan dikatain jomlo sama murid ngajinya. Iya, Coy awalnya guru ngaji, pas ngajarin ngaji muridnya yang baru jilid 2, muridnya teriak, "Pak Ustadz, jomlo ya?"
Coy langsung pergi ninggalin muridnya yang bengong sambil nutupin muka pake kedua tangan, pada langkah ke sepuluh, Coy jatuh tersungkur karena kesrimpet sarung yang dipakainya. Coy nangis semaleman, lututnya berdarah. Hatinya bernanah. Salah sendiri, lari pake sarung pake nutupin muka segala.
Sebenernya enggak ada yang salah sama pertanyaan murid ngajinya Coy. Cuma karena Coy emang belum pernah pacaran dari lahir sampe sekarang, hatinya jadi rapuh. Coy gampang nangis. Ngeliat FTV tukang martabak bisa pacaran sama cewek tajir aja Coy mewek.
Bukan karena ceritanya yang so sweet. Tapi karena FTV itu enggak adil. Bikin cerita gak masuk akal, kalo tukang martabak aja bisa dapet cewek tajir. Kenapa Coy yang jadi guru ngaji susah dapet pacar?
***
Semenjak ditinggal kedua anaknya, Jeng Romlah jadi sering merasa kesepian. Kalo biasanya tiap malem Jeng Romlah dipijitin sama Coy, sekarang Jeng Romlah jadi mijitin diri sendiri, kadang mijitin tembok. Jeng Romlah jadi merasa gak ada bedanya sama jomlo-jomlo labil di luar sana.
Jeng Romlah seorang janda yang bersahaja, meskipun usianya sudah 40-an, dia enggak neko-neko. Pakaiannya gaul; atas pake kemben, bawahannya pake celana jins. Rambut belakangnya pake konde, depannya harajuku. Di lengan kirinya, Jeng Romlah punya tato jambu air. Untung Jeng Romlah enggak suka merokok. Kalo merokok, Jeng Romlah pasti dikira Menteri Susi lagi blusukan.
Keseharian Jeng Romlah hanya dihabiskan untuk membuat guci-guci dari tanah liat. Dalam sehari lima sampai enam guci dapat diselesaikannya tanpa bantuan orang lain. Namun, guci-gucinya sering susah laku dijual karena di setiap dindingnya banyak tulisan-tulisan gaje yang menyayat hati.
Seperti misal, "Ayah, Bunda kangen. Pengen itu..."
Di guci lain pernah juga ditemukan tulisan, "Rasanya pengen mati aja. Gak betah jadi jomlo."
Awalnya orang-orang sekitar mengira, ada orang yang iseng banget pengen ngerusak guci buatan Jeng Romlah. Tapi setelah ditelusuri, ternyata itu ulah Jeng Romlah sendiri yang sering curhat nulis-nulis kegalauannya di guci yang dibuatnya. Ternyata, Jeng Romlah memang janda galau yang gaul.
Hidup sendirian, emang enggak asik sama sekali. Jeng Romlah sering iri sama pasangan muda-mudi di luar sana yang kalo boncengan suka peluk-pelukan. Sedangkan Jeng Romlah, cuma bisa peluk-pelukan sama gucinya yang udah ditulisin kegalauannya. Pernah Jeng Romlah coba meluk tembok, tapi tangannya nggak nyampe. Jeng Romlah pun menyerah.
Jeng Romlah nulis kegalauannya di guci, karena Jeng Romlah gak tau ada sosial media yang namanya Facebook, Twitter sampai Tumblr. Seandainya tau, Jeng Romlah pasti bisa nulis macem-macem kegalauannya di sosial media sesuka hati. Jeng Romlah juga bisa pasang foto seksi terus nyebarin pin bbm sambil nge-tag temen-temennya. Sayang, Jeng Romlah enggak kekinian. Jangankan main FB, baca huruf braile aja Jeng Romlah enggak bisa.
Untuk mengusir waktu sepinya, Jeng Romlah sering shopping sendirian. Ibu-ibu kampung lainnya enggak ada yang diajak. Jeng Romlah paling hobi hunting sayuran. Kadang nyari kangkung, ketimun, dan yang gak boleh ketinggalan terong. Sepertinya Jeng Romlah suka sama yang panjang-panjang.
Saat sedang asik hunting terong. Mata Jeng Romlah gak sengaja tertuju pada sebuah benda lonjong berwarna oranye bersinar cerah di sudut kanan toko. Benda itu seolah mengeluarkan cahaya yang membuat mata silau. Anehnya, hanya Jeng Romlah yang sepertinya bisa merasakan itu. Orang-orang di sekitarnya nampak cuek.
Tanpa ba bi bu, Jeng Romlah pun segera mengambil benda itu, yang ternyata namanya wortel. Iya, wortel, masa tukang parkir.
Sesampainya di rumah, Jeng Romlah bersiap untuk memasak. Jeng Romlah mengeluarkan sayurannya satu per satu dengan telaten. Saat menatap benda lonjong berwarna cerah itu, Jeng Romlah termenung. Kemudian galau.
Jeng Romlah pun berlari masuk ke kamarnya. Nulis-nulis sesuatu di tembok, pake pisau. Merasa lelah.. Jeng Romlah pun menangis, namun beberapa saat kemudian Jeng Romlah mengambil cotton bud untuk mengusap air matanya. Jeng Romlah gak mau terlalu larut dalam kegalauan.
Saat masih terisak, tiba-tiba Jeng Romlah mendengar ada suara cempreng.
“Cyint.. kenapa nangis?”
Jeng Romlah kaget, dan mencari sumber suara.
“Woy, Cyint.. ngapain nengok-nengok ke atas. Gue di sini keleusssss”
Jeng Romlah pun melihat ke bawah, dan beberapa saat kemudian mendadak shock!
“Yaelah.. biasa aja ngeliatnya. Iya, ini gue. Wortel, bisa ngomong. Gue wortel gaul”
“Ka.. ka.. ka.. kamu. Bisa ngomong?” Jeng Romlah menutup hidungnya, seharusnya untuk menunjukkan ketidakpercayaannya Jeng Romlah menutup mulutnya. Jeng Romlah salah pose.
“Yoi cyint... btw, tadi abis ngeliat gue kenapa langsung nangis?” Wortel kecil itu mencoba kepo.
Sepintas, Jeng Romlah mengamati seonggok wortel yang ada di hadapannya. Memiliki sepasang kaki kecil, tangan mungil serta pola wajah pada umumnya. Cuma yang bikin keren, rambutnya warna hijau terlihat poni samping. Jeng Romlah curiga, wortel kecil ini fansnya Andika eks Kangen Band.
“Hufh.. aku kangen keluargaku. Dulu, mereka suka sekali sama yang namanya wortel, setiap hari aku masakin wortel kesukaan mereka. Sekarang.. semuanya udah pergi, aku tinggal sendirian”
“Ya ampun, maaf ya aku udah seenaknya sendiri nanya-nanya gituan. Jomlo ya?” Wortel merasa bersalah.
“Iya gak apa-apa, ngapain sih bahas-bahas jomlo. Siapa namamu wortel kecil? Apakah kamu punya nama? Aku harus memanggilmu siapa? Oh iya, tadi kamu pake gue-gue, kenapa sekarang jadi aku-aku?”
“Oh iya kita belum kenalan, aku Wota. Aku pangeran dari negeri Wortelia. Gak enak aja ngomong sama orang tua pake gue-gue, aku harus menjaga budaya kesopanan dari negeriku. Nah, kamu sendiri siapa?”
“Orang-orang memanggilku Jeng Romlah, tapi kalo lagi belanja online, mereka memanggilku Sist, lalu bagaimana ceritanya kamu bisa sampai di sini? Dimana Wortelia itu?”
“Baiklah, aku lebih tertarik memanggil Sist, aku sedang dalam proses berkompetisi. Sebagai calon raja menggantikan ayahku. Aku diminta ke bumi untuk belajar menulis. Menulis di blog. Calon raja harus punya blog, aku harus berbuat baik di bumi, dan menuliskannya semua di blog.”
“Blog? Apakah itu sejenis merek pakaian dalam?” Jeng Romlah bertanya lugu.
“Bukan, bukan. Wortel tidak perlu pakaian dalam. Blog itu sebuah tempat untuk menulis secara online. Aku harus menulis sebanyak-banyaknya di sana, karena aku juga bersaing dengan kedua kakakku.” Wortel mendadak curhat.
“Terus... apa hubungannya denganku?”
“Bantu aku Sist, aku harus punya blog, aku harus bisa jadi raja selanjutnya. Aku ingin membuat negeri Wortelia menjadi makmur, aku ingin semua masyarakat Wortelia punya pasangan. Jadi gak ada yang di-bully karena enggak laku.” Wota bercerita penuh antusias.
Melihat niat yang baik dari Wota, Jeng Romlah pun menyanggupinya. "cita-cita yang keren, apakah petualangan ini membuatmu harus LDR-an sama pacarmu di sana?"
"Mmm.. untuk saat ini aku jomlo, Sist" Wota menjawab malu-malu.
“Oh sendirinya jomlo toh, padahal tadi ngatain orang lain jomlo"
"Udah Sist, gak usah dibahas, malu nih. jadi mau bantuin gak nih?" Wota protes.
"Baiklah.. aku akan membantu, tapi.. kita harus memulai dari mana?”
“Pertama-tama, kita butuh koneksi internet, antarkan aku ke warnet terdekat Sist.” Wota memberi petunjuk.
“Okesip...”
Lalu Jeng Romlah dan Wota pun pergi mencari warnet terdekat untuk membantu mewujudkan keinginan Wota menjadi raja selanjutnya, yang punya cita-cita mulia, menghapuskan kejomloan di negerinya.
***
Mereka berdua udah duduk manja di bilik warnet. Namun, masalah serius menghampiri mereka. Masalah itu adalah, bagaimana caranya menggunakan komputer di depannya itu?
Beruntung, gak sengaja Jeng Romlah iseng memencet tombol lingkaran yang berkedap-kedip, ternyata itu adalah tombol power. Setelah meng-klak-klik berbagai macam icon. Mereka pun sampai di sebuah peramban mozilla.
Sampai di sini, Wota tidak lagi kebingungan. Samar-samar Wota masih ingat apa yang diajarkan kakeknya semasa kecil bagaimana cara membuat blog.
Setelah mencoba berkali-kali, sepuluh jam kemudian, blog untuk Wota pun jadi. Namun permasalahan kembali muncul, nama apa yang harus digunakan untuk alamat blognya?
“Sist, ada ide gak?” Wota bertanya.
“Duh Wot, aku juga bingung... kayak ginian mah gak paham. Eh, tapi, gimana kalo wortel unyu, kayaknya cocok deh buat alamat blog”, Jeng Romlah memberikan opsi pertama.
“Hah?! Gak ada yang lebih feminim lagi! Di negeriku, aku terkenal dengan wortel jantan yang maskulin. Bagaimana mungkin aku memberi nama 'unyu'. Yang lain aja coba!”
“Kalo wortel gaul?”
“Aku ini pangeran, aku memang gaul. Tapi aku harus menjaga wibawaku di hadapan rakyat.”
“Kamu nyalah-nyalahin mulu, tapi gak ada kontribusi! Dasar jomlo!” Jeng Romlah mulai sewot.
“Iya, iya.. sori deh, gak usah bawa-bawa jomlo napa. Bagaimana pun juga, untuk nama blog aku gak bisa sembarangan memilihnya.”
“Gini aja, ini blog tulisannya sapa nanti isinya?”
“Tulisannya aku, lah..”
“Kamu ini sejenis apa?”
“Udah jelas lah, wortel”
“Yaudah, ribet amat. Bikin aja ‘tulisan wortel’, itu lebih universal. Kelak kalo kamu udah jadi raja, tulisan kamu ini akan mewakili para rakyat Wortelia. Ketika banyak yang tersasar ke blogmu, mereka akan segera tahu kalo ini tulisan dari wortel.” Jeng Romlah memberikan penguatan untuk ide terakhirnya.
“AH! KEREN! SETUJU! TULISAN WORTEL! TERIMAKASIH, SIST!” Wota tampak penuh semangat.
Rasanya belum percaya saja, setelah takdir mempertemukan Wota dengan janda galau, ternyata justru Jeng Romlah yang memberi jalan keluar untuk alamat blognya. Dengan ini, Wota telah siap untuk menuliskan kebaikan, semangat, kegalauan dan segala tentang hidup untuk menjadi calon raja sesungguhnya di negeri Wortelia.
Setelah memberikan sebuah bingkisan kepada Jeng Romlah sebagai tanda terima kasih, yang ternyata berisi satu ton wortel segar. Wota pun pamit pada Jeng Romlah.
“Terima kasih untuk bantuanmu yang luar biasa ini Sist, sudah berpuluh-puluh manusia yang kutemui. Tapi mereka tak bisa membantuku membuat blog, mereka sibuk dengan urusannya sendiri, mereka kurang peka. Beruntung aku bertemu denganmu, Sist.”
“Itu tidak jadi masalah, bertemu denganmu, aku jadi bisa mengobati rasa sepiku.” Jeng Romlah tersenyum haru.
“Sekarang aku harus pergi.. aku tidak akan melupakanmu. Dan terakhir, wortel itu akan selalu segar selama apapun kamu menyimpannya, buatlah jadi sebuah masakan, berikan pada orang yang kamu sukai, dan dia akan jadi orang yang akan menemanimu, hari ini, esok dan seterusnya.”
“Terimakasih, Wota.. aku akan menggunakannya saat nanti aku benar-benar tak sanggup sendiri lagi. Jaga dirimu baik-baik.” Jeng Romlah mengelus rambut Wota yang poni samping itu.
***
Maka, petualangan Wota untuk menjadi raja di negeri Wortelia telah dimulai. Wota masih terus menulis kebaikan, semangat dan kisah hidupnya dengan dirinya sendiri sebagai pemeran utama. Kalau suatu saat, kamu membuka blog dengan alamat www.tulisanwortel.com, dan kamu menemukan postingan tentang negeri Wortelia, itu artinya Wota telah berhasil untuk menjadi raja di negerinya, Wortelia.
“Semua perjalanan hidup adalah sinema. Bahkan lebih mengerikan. Darah adalah darah, dan tangis adalah tangis. Tak ada pemeran pengganti yang akan menanggung sakitmu.” – “Dee” Dewi Lestari
sumber gambar:
http://alikkandhi.deviantart.com/art/Wortel-family-Carrot-family-s-House-303857020