Bro...
Edot Herjunot
April 13, 2014
Gue punya teman, dia laki-laki, berakhlak mulia, kerjaannya sembahyang, mengaji dan yang lebih penting dia bukan teman tapi mesra gue.
Teman gue yang satu ini termasuk ke dalam kategori cowok ganteng, sangat jauh berbeda dibandingkan dengan gue, sama-sama cowok, tapi sangat jarang dibilang ganteng, kalaupun ada itu artinya mereka fitnah. Dan kalian tahu fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, itu artinya lebih sadis ngomong gue ganteng daripada bunuh membunuh.
Dilihat dari struktur wajahnya yang enggak bikin eneg dipandang lama-lama dan juga dari segi lingkar kepalanya yang seimbang, seharusnya temen gue itu tidak perlu kesulitan mencari yang namanya cewek. Buat dijadiin pacar, buat dijadiin pelita hati, juga buat dijadiin alasan kalau pengin ngerasain galau. Tapi satu hal yang bikin gue geleng-geleng adalah sisi historis temen gue ini enggak keren sama sekali, karena dari lahir sampai usianya yang sekarang, dia belum punya pacar. Iya, jelas sekali dia belum pernah ngerasain dapet perhatian, belum pernah ngerasain diucapin 'met bobog' sama pelita hati, bahkan mungkin sekedar diingetin 'jangan lupa makan' pun belum pernah. Kalah sama gue yang gantengnya enggak seberapa.
Sebenernya bukan hal itu yang pengin gue ceritakan pada kesempatan kali ini, tapi lebih kepada sebuah persoalan, kenapa dia bisa jomblo begitu lama? Apa yang membuat cewek-cewek tidak tertarik sama dia?
Hmmm... sebut saja teman gue namanya Nasro. Teman dari kecil, teman dari balita. Iya, sama aja.. kecil sama balita. Mulai dari TK, SD, SMP sampai SMA gue selalu satu sekolah sama Nasro, saat gue udah ngerasain ditolak sepuluh kali sama cewek, Nasro belum pernah ditolak karena emang Nasro enggak pernah nembak cewek sama sekali. saat itu gue berpikir kalau Nasro adalah homo, tapi dugaan gue salah karena Nasro enggak bergairah tiap deket sama gue.
Dari sekian banyak kemungkinan tentang kisah asmara Nasro yang mungkin disimpannya sendirian, atau mungkin juga hanya diungkapkannya lewat coretan-coretan di tembok. Nasro tidak pernah kelihatan dekat dengan cewek. Sampai di sini gue masih belum menemukan titik terang alasan Nasro enggak laku-laku.
Pertanyaan itu terus tersimpan selama bertahun-tahun dalam sanubari gue.
Sampai akhirnya, setelah kami menempuh kuliah di kampus pilihan masing-masing, kami berpisah cukup lama karena kesibukan masing-masing. Pada suatu sore yang cukup mendung, Nasro main ke rumah gue, kebetulan waktu itu gue memang lagi pulang ke Pemalang. Layaknya seorang kawan yang sangat lama tidak bertemu, mungkin sore ini adalah saat yang tepat untuk berbagi cerita tentang pengalaman di kampus masing-masing dengan dibumbui kebanggaan dan pamer tentang indahnya masa-masa kuliah.
Sore itu, Nasro lebih banyak mendominasi percakapan, mulai dari skripsinya yang begitu lambat, tentang temannya yang enggak mau bantuin skripsinya, tentang pertemuannya dengan teman-teman waktu SD, tentang dosen pembimbingnya yang sampai diganti tiga kali. Entah kenapa, yang terakhir tadi bukannya ikut prihatin gue malah ngakak ngedengernya. Sekitar dua jam lamanya, Nasro tak lelah bercerita, gue bener-bener jadi pendengar yang baik sore itu. Seandainya Nasro itu homo, harusnya sore itu dia udah mulai melirik gue karena gue ini tipe pendengar yang baik. Tapi ternyata tidak. Nasro tidak menunjukkan ketertarikannya pada gue. Gue sendiri enggak terlalu merasa kecewa karena gue bukanlah homo. Gue hanya khawatir, jangan-jangan para kaum homo pun enggak tertarik sama wajah gue yang kusam ini. Apalagi cewek?
Pertemuan sore itu harus berakhir saat adzan maghrib mulai terdengar syahdu. Entah kenapa, waktu terasa lama sekali bagi gue, padahal seharusnya jika gue menikmati pertemuan sore itu gue menganggap waktu begitu cepat berputar. Tapi ini enggak...
Beberapa bulan kemudian, saat skripsi gue mendekati titik akhir dan gue punya waktu yang lumayan buat refreshing di rumah. Nasro kembali main ke rumah gue, karena kuliahnya memang tidak jauh, dan dia enggak ngekos jadi bisa selalu stand by di rumah. kami saling bercerita tentang kehidupan kampus masing-masing. Mmm.. bentar, bentar, mungkin lebih tepatnya kalau Nasro yang bercerita sore itu, waktu dua jam sore itu gue habiskan hanya untuk mendengarkan cerita Nasro yang gak ada menarik-nariknya sama sekali. Karena apa? Karena ceritanya enggak ada bedanya sama apa yang diceritain waktu pertama ketemu.
Cerita tentang skripsinya yang begitu lambat, tentang temannya yang enggak mau bantuin skripsinya, tentang pertemuannya dengan teman-teman waktu SD, tentang dosen pembimbingnya yang sampai diganti tiga kali. Diulang lagi dengan gemilang di hadapan gue, meja dan kursi di ruang tamu rumah gue yang jadi saksi. Gue bener-bener jenuh banget, ditambah gue enggak dikasih kesempatan buat ngomong. Gue sadar, kalau gue mulai lelah dengan semua ini...
Percakapan sore itu pun lagi-lagi harus berakhir karena adzan maghrib. Entah kenapa, gue bahagia sekali menyambut datangnya adzan maghrib, padahal saat itu bukan bulan puasa. Mungkin itu karena sama saja artinya tiba waktunya buat Nasro untuk pulang.
Beberapa bulan kemudian, gue akhirnya wisuda... gue pun bahagia. Tak lupa gue update status ngucapin good bye sama skripsi. Yang nge-like ada tiga loh, gue makin bahagia, gak lupa gue komentarin status itu dengan ucapan, “Makasih ya, udah like.”
Setelah seminggu lebih lamanya gue menyegarkan pikiran dari penatnya masa-masa skripsi. Di suatu sore yang cerah. Gue kedatangan tamu, sesosok laki-laki yang sudah sangat gue kenal. Iya, Nasro.. datang lagi ke rumah gue.
Setelah gue kasih teh gelas buat pantes-pantes aja. Nasro mulai membuka percakapan, sebuah percakapan yang sangat tidak asing buat gue. Awalnya gue berpikir ini adalah deja vu, gue merasa pernah mengalami saat-saat seperti ini, namun seketika gue tersadar... ini bukan deja vu. Ini emang si Nasronya aja yang ceritanya masih itu-itu aja.
Cerita tentang skripsinya yang begitu lambat, tentang temannya yang enggak mau bantuin skripsinya, tentang pertemuannya dengan teman-teman waktu SD, tentang dosen pembimbingnya yang sampai diganti tiga kali. Seakan Nasro baru pertama kali menceritakan hal ini pada gue.
Sumpah... sore itu, gue resmi ilfil sama Nasro. Benar-benar perbincangan yang sangat-sangat tidak menarik. Gue enggak bisa ngebayangin seandainya gue ketemu tiap hari sama Nasro, bisa-bisa gue tergeletak pasrah dengan kondisi telinga mengeluarkan ambeyen saking jenuhnya dengan cerita yang selalu sama setiap harinya.
Memang gue punya hak buat menyela dengan mengatakan, “Sro, elo kan kemarin udah cerita masalah ini, ngapain cerita lagi?!” sayangnya, gue enggak pernah sampai hati buat mengatakan hal itu.
Nasro bercerita dengan sangat antusias sore itu, bahkan dialognya dengan dosen pun dia tirukan walaupun enggak mirip dan enggak menarik, tapi Nasro pede.
Kalian bisa menerka-nerka sendiri, gimana rasanya ketemu teman yang diomongin ituuuuu muluuu... seakan dari dulu sampai sekarang hidupnya monoton banget, enggak ada update-an kisah terbarunya di kampus, di jalanan, di rumah, di akademi fantasi.
Gue sempat mencoba mengumpulkan keberanian gue untuk mengungkapkan kejujuran yang sebenarnya, gue pengin deketin dia, gue tatap matanya, gue tepuk pundaknya sambil berkata, “Bro......”, selanjutnya biarkan mata yang berbicara karena gue enggak sampai hati buat ngomong. Tapi tetap saja, gue beneran enggak berani. Gue takut hatinya terluka.
Gue jadi ingat di salah satu ceritanya, dia pernah ngobrol-ngobrol santai sama cewek, terus ceweknya bilang, “Sro... elo kok jadi cowok cerewet banget sih?!”, Nasro sempat mengelak pada sang cewek, merasa dirinya tidak cerewet. Tentu saja kisah pembelaannya itu juga membutuhkan waktu yang panjang.
Gue enggak merespon apa-apa saat Nasro cerita tentang itu, selain karena ceritanya enggak menarik, gue males kalau dari respon sederhana gue, Nasro bakalan melanjutkan cerita yang enggak menariknya itu sampai dua jam ke depan.
Tapi setelah gue pikir-pikir, dari cerita yang gue denger tentang cewek yang ngatain Nasro itu cerewet, mungkin itu adalah sebuah kalimat sederhana yang mewakili perasaan para cewek lainnya dan mungkin juga perasaan gue serta temen-temen cowok lainnya. Nasro, cowok berisik, cowok yang enggak menarik sama sekali. Apa jadinya kalau cowok lebih berisik daripada cewek? Cewek biasanya suka sama cowok tipe pendengar yang baik. Untuk hal ini, Nasro benar-benar gagal.
Beberapa hari kemudian, saat kemarin gue ngadain acara meet & greet atau bisa juga dibilang talkshow di Pemalang barengan sama acara pameran buku. Malam itu, selesai acara gue ngobrol sama temen-temen sekolah gue. Saat gue menyinggung masalah Nasro, ternyata temen gue juga ikut mengalami hal yang sama. Dicurhatin hal yang itu-itu mulu, tanpa diberi kesempatan untuk berbagi cerita.
Gue cuma bisa berdo’a semoga suatu saat nanti, akan ada cewek yang selalu khusyu’ menyimak cerita-cerita Nasro, yang bisa benar-benar ikhlas lahir batin dan setia menemani untuk mendengar celotehan Nasro yang selalu sama, yang selalu mendominasi pembicaraan. Amin.