Minggu, April 13, 2014

Bro...

April 13, 2014
 
Gue punya teman, dia laki-laki, berakhlak mulia, kerjaannya sembahyang, mengaji dan yang lebih penting dia bukan teman tapi mesra gue.

Teman gue yang satu ini termasuk ke dalam kategori cowok ganteng, sangat jauh berbeda dibandingkan dengan gue, sama-sama cowok, tapi sangat jarang dibilang ganteng, kalaupun ada itu artinya mereka fitnah. Dan kalian tahu fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, itu artinya lebih sadis ngomong gue ganteng daripada bunuh membunuh.
 
Dilihat dari struktur wajahnya yang enggak bikin eneg dipandang lama-lama dan juga dari segi lingkar kepalanya yang seimbang, seharusnya temen gue itu tidak perlu kesulitan mencari yang namanya cewek. Buat dijadiin pacar, buat dijadiin pelita hati, juga buat dijadiin alasan kalau pengin ngerasain galau. Tapi satu hal yang bikin gue geleng-geleng adalah sisi historis temen gue ini enggak keren sama sekali, karena dari lahir sampai usianya yang sekarang, dia belum punya pacar. Iya, jelas sekali dia belum pernah ngerasain dapet perhatian, belum pernah ngerasain diucapin 'met bobog' sama pelita hati, bahkan mungkin sekedar diingetin 'jangan lupa makan' pun belum pernah. Kalah sama gue yang gantengnya enggak seberapa.

Sebenernya bukan hal itu yang pengin gue ceritakan pada kesempatan kali ini, tapi lebih kepada sebuah persoalan, kenapa dia bisa jomblo begitu lama? Apa yang membuat cewek-cewek tidak tertarik sama dia?

Hmmm... sebut saja teman gue namanya Nasro. Teman dari kecil, teman dari balita. Iya, sama aja.. kecil sama balita. Mulai dari TK, SD, SMP sampai SMA gue selalu satu sekolah sama Nasro, saat gue udah ngerasain ditolak sepuluh kali sama cewek, Nasro belum pernah ditolak karena emang Nasro enggak pernah nembak cewek sama sekali. saat itu gue berpikir kalau Nasro adalah homo, tapi dugaan gue salah karena Nasro enggak bergairah tiap deket sama gue.

Dari sekian banyak kemungkinan tentang kisah asmara Nasro yang mungkin disimpannya sendirian, atau mungkin juga hanya diungkapkannya lewat coretan-coretan di tembok. Nasro tidak pernah kelihatan dekat dengan cewek. Sampai di sini gue masih belum menemukan titik terang alasan Nasro enggak laku-laku.

Pertanyaan itu terus tersimpan selama bertahun-tahun dalam sanubari gue.

Sampai akhirnya, setelah kami menempuh kuliah di kampus pilihan masing-masing, kami berpisah cukup lama karena kesibukan masing-masing. Pada suatu sore yang cukup mendung, Nasro main ke rumah gue, kebetulan waktu itu gue memang lagi pulang ke Pemalang. Layaknya seorang kawan yang sangat lama tidak bertemu, mungkin sore ini adalah saat yang tepat untuk berbagi cerita tentang pengalaman di kampus masing-masing dengan dibumbui kebanggaan dan pamer tentang indahnya masa-masa kuliah. 

Sore itu, Nasro lebih banyak mendominasi percakapan, mulai dari skripsinya yang begitu lambat, tentang temannya yang enggak mau bantuin skripsinya, tentang pertemuannya dengan teman-teman waktu SD, tentang dosen pembimbingnya yang sampai diganti tiga kali. Entah kenapa, yang terakhir tadi bukannya ikut prihatin gue malah ngakak ngedengernya. Sekitar dua jam lamanya, Nasro tak lelah bercerita, gue bener-bener jadi pendengar yang baik sore itu. Seandainya Nasro itu homo, harusnya sore itu dia udah mulai melirik gue karena gue ini tipe pendengar yang baik. Tapi ternyata tidak. Nasro tidak menunjukkan ketertarikannya pada gue. Gue sendiri enggak terlalu merasa kecewa karena gue bukanlah homo. Gue hanya khawatir, jangan-jangan para kaum homo pun enggak tertarik sama wajah gue yang kusam ini. Apalagi cewek?

Pertemuan sore itu harus berakhir saat adzan maghrib mulai terdengar syahdu. Entah kenapa, waktu terasa lama sekali bagi gue, padahal seharusnya jika gue menikmati pertemuan sore itu gue menganggap waktu begitu cepat berputar. Tapi ini enggak...

Beberapa bulan kemudian, saat skripsi gue mendekati titik akhir dan gue punya waktu yang lumayan buat refreshing di rumah. Nasro kembali main ke rumah gue, karena kuliahnya memang tidak jauh, dan dia enggak ngekos jadi bisa selalu stand by di rumah. kami saling bercerita tentang kehidupan kampus masing-masing. Mmm.. bentar, bentar, mungkin lebih tepatnya kalau Nasro yang bercerita sore itu, waktu dua jam sore itu gue habiskan hanya untuk mendengarkan cerita Nasro yang gak ada menarik-nariknya sama sekali. Karena apa? Karena ceritanya enggak ada bedanya sama apa yang diceritain waktu pertama ketemu.

Cerita tentang skripsinya yang begitu lambat, tentang temannya yang enggak mau bantuin skripsinya, tentang pertemuannya dengan teman-teman waktu SD, tentang dosen pembimbingnya yang sampai diganti tiga kali. Diulang lagi dengan gemilang di hadapan gue, meja dan kursi di ruang tamu rumah gue yang jadi saksi. Gue bener-bener jenuh banget, ditambah gue enggak dikasih kesempatan buat ngomong. Gue sadar, kalau gue mulai lelah dengan semua ini...

Percakapan sore itu pun lagi-lagi harus berakhir karena adzan maghrib. Entah kenapa, gue bahagia sekali menyambut datangnya adzan maghrib, padahal saat itu bukan bulan puasa. Mungkin itu karena sama saja artinya tiba waktunya buat Nasro untuk pulang.

Beberapa bulan kemudian, gue akhirnya wisuda... gue pun bahagia. Tak lupa gue update status ngucapin good bye sama skripsi. Yang nge-like ada tiga loh, gue makin bahagia, gak lupa gue komentarin status itu dengan ucapan, “Makasih ya, udah like.”

Setelah seminggu lebih lamanya gue menyegarkan pikiran dari penatnya masa-masa skripsi. Di suatu sore yang cerah. Gue kedatangan tamu, sesosok laki-laki yang sudah sangat gue kenal. Iya, Nasro.. datang lagi ke rumah gue.

Setelah gue kasih teh gelas buat pantes-pantes aja. Nasro mulai membuka percakapan, sebuah percakapan yang sangat tidak asing buat gue. Awalnya gue berpikir ini adalah deja vu, gue merasa pernah mengalami saat-saat seperti ini, namun seketika gue tersadar... ini bukan deja vu. Ini emang si Nasronya aja yang ceritanya masih itu-itu aja. 

Cerita tentang skripsinya yang begitu lambat, tentang temannya yang enggak mau bantuin skripsinya, tentang pertemuannya dengan teman-teman waktu SD, tentang dosen pembimbingnya yang sampai diganti tiga kali. Seakan Nasro baru pertama kali menceritakan hal ini pada gue.

Sumpah... sore itu, gue resmi ilfil sama Nasro. Benar-benar perbincangan yang sangat-sangat tidak menarik. Gue enggak bisa ngebayangin seandainya gue ketemu tiap hari sama Nasro, bisa-bisa gue tergeletak pasrah dengan kondisi telinga mengeluarkan ambeyen saking jenuhnya dengan cerita yang selalu sama setiap harinya.


Memang gue punya hak buat menyela dengan mengatakan, “Sro, elo kan kemarin udah cerita masalah ini, ngapain cerita lagi?!” sayangnya, gue enggak pernah sampai hati buat mengatakan hal itu.

Nasro bercerita dengan sangat antusias sore itu, bahkan dialognya dengan dosen pun dia tirukan walaupun enggak mirip dan enggak menarik, tapi Nasro pede. 

Kalian bisa menerka-nerka sendiri, gimana rasanya ketemu teman yang diomongin ituuuuu muluuu... seakan dari dulu sampai sekarang hidupnya monoton banget, enggak ada update-an kisah terbarunya di kampus, di jalanan, di rumah, di akademi fantasi.

Gue sempat mencoba mengumpulkan keberanian gue untuk mengungkapkan kejujuran yang sebenarnya, gue pengin deketin dia, gue tatap matanya, gue tepuk pundaknya sambil berkata, “Bro......”, selanjutnya biarkan mata yang berbicara karena gue enggak sampai hati buat ngomong. Tapi tetap saja, gue beneran enggak berani. Gue takut hatinya terluka.

Gue jadi ingat di salah satu ceritanya, dia pernah ngobrol-ngobrol santai sama cewek, terus ceweknya bilang, “Sro... elo kok jadi cowok cerewet banget sih?!”, Nasro sempat mengelak pada sang cewek, merasa dirinya tidak cerewet. Tentu saja kisah pembelaannya itu juga membutuhkan waktu yang panjang.

Gue enggak merespon apa-apa saat Nasro cerita tentang itu, selain karena ceritanya enggak menarik, gue males kalau dari respon sederhana gue, Nasro bakalan melanjutkan cerita yang enggak menariknya itu sampai dua jam ke depan.

Tapi setelah gue pikir-pikir, dari cerita yang gue denger tentang cewek yang ngatain Nasro itu cerewet, mungkin itu adalah sebuah kalimat sederhana yang mewakili perasaan para cewek lainnya dan mungkin juga perasaan gue serta temen-temen cowok lainnya. Nasro, cowok berisik, cowok yang enggak menarik sama sekali. Apa jadinya kalau cowok lebih berisik daripada cewek? Cewek biasanya suka sama cowok tipe pendengar yang baik. Untuk hal ini, Nasro benar-benar gagal.

Beberapa hari kemudian, saat kemarin gue ngadain acara meet & greet atau bisa juga dibilang talkshow di Pemalang barengan sama acara pameran buku. Malam itu, selesai acara gue ngobrol sama temen-temen sekolah gue. Saat gue menyinggung masalah Nasro, ternyata temen gue juga ikut mengalami hal yang sama. Dicurhatin hal yang itu-itu mulu, tanpa diberi kesempatan untuk berbagi cerita. 

Gue cuma bisa berdo’a semoga suatu saat nanti, akan ada cewek yang selalu khusyu’ menyimak cerita-cerita Nasro, yang bisa benar-benar ikhlas lahir batin dan setia menemani untuk mendengar celotehan Nasro yang selalu sama, yang selalu mendominasi pembicaraan. Amin.

Minggu, April 06, 2014

Hal-hal yang Membuat Hari Minggu jadi Menyebalkan

April 06, 2014
Waktu gue kecil, hari Minggu adalah hari yang selalu gue nantikan, bahkan lebih gue nanti-nantikan dari hari apapun, termasuk hari Sabtu yang malamnya berubah istilah jadi malam minggu bagi para penjahat kelamin dan sabtu malam bagi sekte para penyembah sandal jepit. 

Gue sih gak ambil pusing, selain karena malam minggu menurut gue bukan malam yang spesial apalagi malam yang panjang, juga karena emang gak ada hal keren yang bisa gue lakukan di malam minggu, seandainya gue diklasifikasikan ke salah satu kategori tersebut, mungkin gue bakalan jadi bendahara sekte penyembah sandal jepit buat ngurusin sumbangan yang masuk, karena memang gue bukan penjahat kelamin yang suka jahatin kelamin setiap insan manusia di dunia ini. 

Gue enggak mau ambil pusing dengan peristiwa yang senantiasa hadir seminggu sekali ini. Terserah dengan malam minggu atau sabtu malam, gue sih gak oke, gak tau kalau Mas Anang. Hal ini beda banget ketika hari Minggu telah tiba, hari di mana ketika gue dimanjakan dengan stasiun-stasiun televisi swasta yang berlomba-lomba nayangin film kartun dari pagi sampai siang. Tahu gak? Ini tuh so sweet banget tauk... Gue jadi serasa hidup di negeri dongeng, hari Minggu terasa bener-bener indah. Tapi, ya... Sudah jadi rahasia umum. Kalau semua keindahan itu kini telah punah.  

Oke.. Gue bukan mau ngebahas kartun-kartun yang (pernah) tayang di hari Minggu. Hal itu kayaknya udah terlalu mainstream banget dan udah banyak juga blogger yang ngebahas hal ini. Jadi, gue mau ngebahas hari Minggunya aja. Lebih jelasnya, membahas hal-hal menyebalkan yang sering terjadi di hari Minggu, yang telah merenggut kebahagiaan gue saat sedang menikmati indahnya kisah kasih sama hari Minggu.


Listrik Mati


Jaman gue kecil dulu, film kartun adalah segala-galanya. Kelewatan satu episode aja gue bisa nangis seminggu penuh saking nyeselnya, saking nyeseknya. Bahkan ingin rasanya hati ini menjerit, namun apa daya gue tak sampai hati melakukannya.

Gue paling sebel mati listrik. Hal ini bener-bener menjengkelkan, bikin gue enggak bisa berkutik apa-apa, hati gue bener-bener perih. Disaat keinginan nonton kartun udah teramat sangat, listrik mati menghancurkan segala angan-angan indah gue. Enggak ada yang bisa gue lakukan untuk hal yang satu ini. Gue hanya bisa terkejut memanja. Pengin nangis tapi percuma, karena ini enggak akan merubah listrik yang mati jadi nyala. Mau nyalain generator, enggak punya, mau nyalain lilin juga percuma, enggak bikin tivi jadi nyala. Gue cuma bisa nyakar-nyakar tembok aja ngeliatin layar tivi warna item di depan mata.

Ada Tontonan Tinju


Gue pernah enggak sabar maksimal nungguin episode selanjutnya Dragon Ball dengan teramat sangat saking penasarannya sama kelanjutan ceritanya. Seminggu penuh nafas gue tersengal-sengal begitu penginnya cepet-cepet ngeliat kelanjutan episode Dragon Ball. Dan ketika hari minggu telah tiba, waktu menunjukkan pukul 9 pagi, gue udah cengar cengir bahagia. Pada akhirnya gue hanya bisa gigitin remot tipi ketika yang muncul bukannya Dragon Ball justru dua komentator yang tanpa rasa bersalah muncul dengan gayanya yang sok akrab menyapa penonton yang ada di rumah. Dia tidak tahu, bahwa kehadirannya pagi itu telah membuat puluhan bahkan ratusan atau mungkin ribuan anak-anak patah hati dengan sempurna karena tidak bisa menonton kartun kesayangannya. Anjrit!
 
Episode Diulang


Udah sepenuh hati nungguin hari Minggu buat nonton kelanjutan cerita kartun favorit, bahkan saking semangatnya sampai ikutan nyanyi soundtrack lagu pembukanya, begitu mulai tayang, eh...  ternyata episodenya sama kayak minggu kemarin! Kampret banget nih yang ini... Nungguin Minggu depannya lagi masih lama! Rasanya pengin banget mundur sepuluh meter kemudian lari sekencang mungkin ke arah televisi, begitu jarak udah tinggal semeter, lompat sekuat tenaga buat nyundul tipinya. 

Tivi  rusak


Namanya musibah emang siapa yang tahu, gue pernah waktu sepulang sekolah, belum sempat ganti baju langsung duduk manis depan tivi megang remot dengan kondisi wajah keringetan dan terlihat nista. Begitu gue pencet tombol power, tivi menyala sesaat kemudian gelap menyelimuti, dan hanya tersisa seberkas garis putih di tengah layar tivi. Perasaan gue gak enak, ingin rasanya hati ini menangis ketika pikiran-pikiran negatif menguasai hati kalau tivi di rumah sepertinya rusak. Kenapa gue pengin nangis? Karena waktu itu kejadiannya hari Sabtu, dan besoknya Minggu. Gak mungkin juga kalau saat itu tivi bisa langsung dibenerin, bokap gue bukan lulusan STM, Ibu gue bukan lulusan madrasah. Mau gak mau, gue mesti nunggu waktu luang buat bawa tivi ke salon elektronik. Endingnya udah jelas hal itu butuh waktu beberapa hari. Besoknya, gue melewati hari Minggu dengan pukul-pukul tembok seharian karena enggak bisa menerima kenyataan yang ada.

Disuruh Bersih-bersih rumah


Keluarga gue tergolong keluarga yang mood-mood’an, kadang kayak keluarga Cemara yang bersahaja kadang malah kayak keluarga cemungudh yang tak pernah terlihat lelah. Kalau lagi pengin santai, maka seisi rumah akan bersantai, tapi kalau abis kesambet tentara jaman kemerdekaan, jam tujuh pagi seluruh penghuni rumah dikerahkan buat melakukan tugas mulia, bersih-bersih rumah masal di bawah komando ibu rumah tangga selaku pimpinan tertinggi di rumah gue. Maka ketika titah sudah diturunkan, gak ada yang berani melawan. Semuanya punya tugas masing-masing, bersih-bersih kamar mandi, nyapu, ngepel, ngupil sampai beresin ruang dapur semuanya dilakukan secara serentak. Tidak ada peluang agar bisa melakukannya sambil menonton tivi, soalnya ibu rumah tangga tak ketinggalan bersabda, “Barangsiapa melakukan pekerjaan pagi ini (hari Minggu) hendaknya jangan menyalakan televisi. Fokuslah ke pekerjaan masing-masing!” Setelah kerja paksa tersebut udah selesai, biasanya gue nangis sambil keramas gara-gara enggak bisa nonton kartun.


Nah, memang hal-hal yang gue sebutkan di atas sering datang silih berganti merusak kebahagiaan gue di hari Minggu. Seringnya gue jadi sedih dan menganggap dunia ini tidak adil, bagaimana tidak? Hari Minggu adalah hari di mana anak-anak unyu menikmati kemerdekaannya dari pedihnya rutinitas sekolah. Lalu dengan santainya gue malah dibuat patah hati saat hari Minggu tiba karena ada salah satu hal di atas yang datang menerpa gue. Mengusik kenyamanan gue. 

Walaupun sampai sekarang gue masih bisa bertemu dengan hari Minggu, tapi gue rasa hari Minggu yang sekarang enggak akan pernah sama dengan hari Minggu yang gue miliki waktu dulu. Hari Minggu yang sempurna dengan pilihan kartun yang melimpah ruah, beda dengan sekarang di mana acara kartun di televisi terlihat gersang. Bahkan ada stasiun televisi yang di hari Minggunya dari subuh sampai jam dua belas malem enggak nayangin kartun sama sekali. Ini tivi kampret namanya, ngajak berantem banget.

Btw, kalian sendiri ada pengalaman nyebelin yang bikin hari Minggunya enggak menggairahkan?

sumber gambar:
http://huseinalhaddar.blogspot.com/2013/10/doraemona-pra-model-observasi-indonesia.html
http://4.bp.blogspot.com/_MGTh0c1ST0A/TCiTQHbVu9I/AAAAAAAAAMo/MswmU3VsFaQ/s1600/dgdgd.jpg

Rabu, Maret 26, 2014

Sekilas Grasindo Goes To Jogja

Maret 26, 2014
Beberapa waktu yang lalu gue diajak sama editor gue, Anin, buat ikutan acara Meet & Greet bareng penulis Grasindo lainnya di Jogja. Awalnya gue sempat bingung dan dilema parah karena gue gak tau di mana tempat acaranya, kebodohan ini bisa terjadi karena memang gue adalah cowok yang lemah dalam hal menghafal peta atau bisa dikatakan buta terhadap peta, nyari alamat di perumahan kota gue sendiri aja gue tersesat apalagi ini, Jogja. Bisa-bisa gue malah hilang arah, terus nyasar sampai ke Azerbaijan.


Sebenernya gue tadinya mau ngajakin cewek gue buat nemenin ke Jogja, tapi akhirnya batal karena cewek gue tiba-tiba gak enak badan (cewek gue kayaknya tau kalo gue bakalan nyasar-nyasar). Karena gue gak mungkin ke Jogja sendirian. Maka, gue pun mengajak seonggok lelaki beruntung yang bernama @dadangpratama, sebagai teman dikala tersesat dan hilang arah di Jogja nanti. 

Sebagai cowok yang lemah, gue enggak pengen terlalu banyak basa basi untuk menulis sebuah cerita yang terlalu panjang biar terlihat keren atau maskulin. Intinya, gue cuma pengen cerita tentang pengalaman kemarin saat gue ikutan acara Meet & Greet bareng penulis grasindo di Jogja.

Dari kiri: Tafrid, Heri Yudhi, Izza, Mbak Ari, Edotz, Violin

Acara yang diadakan di cafe semesta tanggal 22 Maret kemarin ternyata lumayan rame. Walaupun sesekali mesti bersabar karena hari itu dibarengi dengan acara konvoy partai PDI-P yang simpatisannya sepenuh hati menggeber motor di jalanan dan bikin kuping terasa pedih. Entah apa manfaat dari menggeber motor di jalanan, mungkin mereka berpikir itu keren? Atau mungkin mereka jomblo lalu merasa mendapat kesempatan untuk mengekspresikan takdirnya yang agak-agak nestapa. Yaudah... biarin aja. Toh, lima tahun sekali.

Poto-poto lainnya:











Sore itu, cukup banyak yang dateng dan antusias peserta keren-keren, semuanya datang dengan mengenakan pakaian lengkap, walaupun enggak ada yang berpeci.

Grasindo sendiri juga gak kalah keren karena mau bagiin goodie bag secara cuma-cuma yang di dalamnya berisi paket dua buku, CD, serta voucher dari gramediana.com. Coba kalo di dalemnya juga ada voucher naik haji, gue pasti lebih milih jadi peserta, siapa tau aja nanti gue bisa satu pesawat sama Haji Sulam. Itu kan keren, gue mau ajakin foto bareng.

Sore itu ada sekitar enam penulis grasindo yang dateng di Cafe Semesta. Diantaranya, Tafrid, Violin, Mas Yudhi, Izza, gue dan Mbak Ari.

Keenam penulis ini bercerita tentang suka duka proses menerbitkan buku mereka, jadi... ijinkan gue menulis seadanya untuk berbagi inspirasi buat kalian yang enggak bisa dateng di acara Grasindo goes to Jogja kemarin. Dimulai dari....

Izza, dengan novelnya yang berjudul PHOBIA. Novel yang sekarang dilabeli best seller oleh Grasindo ternyata memiliki perjalanan yang panjang dan terjal sebelum berhasil dibukukan. Siapa yang menyangka kalo sebelumnya perjuangan untuk menerbitkan novel ini begitu berat. Izza, katanya sempat ditolak beberapa kali oleh penerbit, bahkan pernah salah satu penerbit yang entah apa namanya mengatakan bahwa novel Izza itu novel gaje, ceritanya gak jelas banget. Bahkan yang nerima naskahnya waktu itu mengatakan kalo dia bahkan gak pernah berniat membaca naskahnya sampai akhir. Bisa dibayangkan gimana nyeseknya dibilang begitu? Untungnya... semangat Izza enggak gampang padam kayak PLN. Izza membaca ulang lagi naskahnya, mengeditnya, berkali-kali sampai akhirnya dengan mantap mengikutkan novelnya untuk PSA (Publisher Search Author) dan sekarang novelnya justru best seller.

Kemudian ada Tafrid, Penulis Dear Gita. Siapa yang menyangka kalo novelnya yang berjudul agak-agak so sweet itu ternyata merupakan kisah pribadinya? Tentang betapa sakitnya Tafrid kepada seorang wanita yang membuatnya merasakan kesedihan yang dalam dan rasa perih itulah yang dia tuliskan dalam sebuah tulisan, kenapa harus dalam bentuk tulisan? Karena konon katanya Tafrid tidak pandai menyanyi, tidak pandai menabung serta tidak pandai menyusui.. maka dari itu Tafrid memilih untuk menuangkan segala kegalauannya ke dalam sebuah tulisan.

Sampai akhirnya dari kegalauannya akan seorang wanita, Tafrid bisa menuangkan semuanya ke dalam sebuah buku. Dan sekarang dia tidak peduli (walaupun mungkin dalam hati Tafrid menangis) sosok ‘Gita’ yang ada dalam novelnya, akan membaca bukunya atau tidak. Karena bagi dia, balas dendamnya telah usai. Berangkat dari kegalauan, Tafrid bisa menghasilkan sebuah karya yang unyu. Katanya ini yang dinamakan galau bermartabat. Ya... mungkin bisa juga disebut galau elegan.

Selanjutnya ada Violin, penulis novel fantasi berjudul Eldar. Bukunya tebel bro! Dan dia bisa menulis setebal ini hanya karena dia dulu memang suka menulis, tanpa tau konsep dasar menulis. Terbukti dari hobi menulisnya dia bisa membuat buku yang bener-bener tajam dan imajinatif. Dia menulis buku ini karena memang dia ‘katanya’ hobi berfantasi. Pada kesempatan kali ini, buat yang pikirannya sensitif, jangan beranggapan bahwa ‘berfantasi’ adalah kata yang cabul. Oke? Gue juga akan melakukan hal yang sama untuk kesempatan kali ini.

Katanya sih, Violin ini pernah merasakan puluhan kali naskahnya ditolak (kalo gak salah) dan dia enggak nyerah. Sampai akhirnya cita-cita menerbitkan sebuah novel fantasi berhasil diwujudkannya melalui grasindo. Dan sedikit catatan, Violin ini cowok.

Selanjutnya ada Mbak Ari, penulis novel pokoknya aku suka kamu, titik. Perjalanan Mbak Ari menulis novel ini katanya teramat sangat panjang. Mbak Ari butuh waktu satu setengah tahun untuk mendapatkan konfirmasi naskahnya diterima atau enggak. Karena ada begitu banyak naskah yang masuk, Mbak Ari harus rela menghubungi Grasindo beberapa bulan sekali untuk memastikan naskahnya diterima atau tidak. Sampai akhirnya novel yang terbit di tahun 2004 ini pun mengalami beberapa kali cetak ulang.

Sampai sejauh ini, udah banyak buku yang ditulisnya. Mbak Ari sendiri ngakunya lupa sama jumlah bukunya sendiri, hadeh banget kan..  -__-“

Oh iya, yang lebih kerennya lagi, Mbak Ari sendiri kayaknya lagi ngelanjutin kuliah S3-nya. Serem amat gue dengernya. Gue S1 aja bikin skripsi udah mau OD.. ini malah udah sampai S3. Tapi kayaknya gue juga setelah S1 mau ngelanjutin sekolah gue ke D2, iya.. kalo S2 gue makin stres soalnya, jadi D2 dulu. Jadi ya, yang penting kan gue masih ada niat ngelanjutin sekolah. Oh iya, Mbak Ari ini ramah banget, pertama dateng setiap pesertanya disalamin semua! Coba kalo dosen di kampus gue seramah ini, begitu masuk kelas mahasiswanya disalamin semua. Kan enak.. yang lagi S3 aja ramah, yang baru kemarin S2 aja udah pada belagu.

Terakhir ada Mas Yudhi, penulis novel Enigma. Entah gue harus bilang apa, yang jelas gue takjub saat tau Mas Yudhi ini udah bikin 30 novel!!! Serem banget ya... kayaknya sih seluruh hidupnya hanya digunakan untuk nulis, sampai-sampai Mas Yudhi ini jadi lupa makan, lupa pacaran dan semoga gak sampai lupa jenis kelamin juga. Mas Yudhi ini nulis novel dengan berbagai genre, kadang serius, kadang komedi, kadang nge-pop. Dan gue baru tau!!! Kalo mas Yudhi ini penulis buku ‘Asoi Geboi Bohai’. Padahal gue punya bukunya di rumah, temen gue juga sampai ngakak parah baca bukunya, dan gue kemarin ketemu penulisnya enggak tau dia orangnya  -_-“

Kalo gue sendiri gimana? Gak usah dijelasin deh... percuma, paling-paling kalian gak bisa ngambil hikmah apa-apa dari perjalanan gue untuk menerbitkan cancut marut.


Dari pengalaman temen-temen penulis di atas, Semoga kalian yang masih punya mimpi buat jadi penulis bisa makin tercerahkan. Jadi, jangan hanya mengguman dan memvonis, “Enak ya, kamu udah nerbitin buku...”, atau “Ah.. kamu sih enak, dapet penerbit yang keren.”

STOP!

Kadang dari sesuatu yang terlihat keren di mata kalian, terselip sebuah perjuangan panjang yang tak kenal menyerah. Perjuangan dari penulisnya untuk menjadikan impiannya benar-benar menjadi kenyataan yaitu melihat tulisannya dibukukan.

Setidaknya, gue harap kalian tau apa yang harus dilakukan saat kalian mengirim naskah ke penerbit dan ternyata hasilnya ditolak.....

Rabu, Maret 12, 2014

'COLOVER', Buku Gaul Yang Bentar Lagi Terbit!

Maret 12, 2014

nb: belum dapet kiriman cover dengan kualitas yang joz :P

COLOVER...

Itu adalah judul buku baru gue bareng 9 penulis Grasindo. Dilihat dari judulnya, memang muncul banyak pertanyaan dari orang awam tentang isi buku ini. Ada yang menanyakan apakah buku ini menceritakan tentang petualangan seorang pencinta kolor? Aneh abis... Iya, secara tiba-tiba Colover diplesetin jadi ‘Kolor Lover’. Memang orang yang kurang cerdas, maka berimajinasinya pun sering terkesan apa adanya. Bagaimana mungkin kata ‘color’ tiba-tiba berubah menjadi ‘kolor’? Maksa banget! Ya... Salahkan saja orangnya yang kurang tajam berimajinasi, sesosok cowok paruh baya yang namanya Nurul Huda. Ganteng kagak, elegan juga kagak, rajin ngaji juga kagak.

Selain pemaksaan singkatan sesat dari Kolor Lover, muncul lagi asumsi lain yang mengartikan Colover menjadi Co-Lover, yang artinya asisten pacar. Heran banget gue... Bahkan kemarin-kemarin temen gue juga ikutan plesetin judul ini jadinya CLOWORVER. Kalian tau apa artinya KLOWOR? Gak beda jauh sama orang yang begonya agak-agak.

Ya.. memang orang-orang di Indonesia kebanyakan pada kreatif, Colover diartiin macem-macem. Sedangkan gue mikir plesetan Colover mau ikut-ikutan kayak mereka aja gak nemu-nemu. Gue emang akhir-akhir ini enggak lucu. 

COLOVER... makna sebenarnya sederhana. Tentang ‘warna’ dan ‘cinta’. Jadi, kata ‘COLOR’ yang artinya warna, diselipin kata ‘LOVE’ yang artinya cinta. Nah.. apakah kalian udah ada bayangan buku ini bakalan bercerita tentang apa?

Kalo nungguin jawaban dari kalian, kayaknya kelamaan. Gue bolak-balik ke Indonesia-Gabon buat isi ulang galon juga kayaknya kalian belum selesai mikirnya. 

Intinya sih, buku ini menceritakan berbagai kisah cinta yang didasari dari macam-macam warna dengan balutan nuansa Korea. Jadi, sepuluh penulis yang ada dalam buku ini akan menuliskan kisah cinta yang dramatis nan romantis dan berhubungan dengan warna. Keren kan? Jelas... kecuali punya gue tentunya.

Dalam buku ini gue ambil warna biru muda. Kenapa gue ambil tema biru muda diantara sekian banyak warna yang ada? Simpel aja, karena warna biru udah ada yang booking duluan. Karena gue gak pengen jauh-jauh dari warna biru, dan gak mau terlihat tua. Yaudah gue tambahin aja kata muda di belakang biru. Daripada gue tambahin tua, jadinya biru tua? Entar gue malah divonis lelaki tua.

Dari kasus ini jelas gue jadi terlihat amat sangat kreatif. Gue emang cowok idaman wanita banget nih kalo cerdasnya kayak gini terus. 

Buku ini bakalan jadi jaminan keren lahir batin, melihat nama-nama penulisnya yang ada di dalam buku Colover--semuanya pernah menerbitkan novel. Logikanya kalo bikin novel aja bisa, mereka pasti lebih bisa bikin cerpen Korea ini dengan mudah, bahkan bisa saja mereka bikinnya sambil joged Bang Jali. Nah, yang bikin jaminan kerennya nambah lagi, beberapa novel dari penulis yang ada dalam buku ini ada yang jadi best seller. Itu artinya novel mereka udah sukses menyihir para pembacanya. Nah.. penulis yang novelnya enggak best seller juga ada dalam buku ini. Contohnya sebut saja gue.

Dalam buku ini, gue tetap memberikan sentuhan komedi ‘khas gue’. Karena emang gue enggak terlalu bisa kalo diminta nulis yang romantis-romantis. Sedikit perjuangan gue nulis cerpen Korea untuk buku ini udah gue ceritakan di sini (klik)

Dan sekarang gue kasih kesempatan kalian buat ngintipin dikit kata pengantarnya...


Tuh.. kata pengantarnya aja bilang cerita gue unik, kalian yakin gak pengen beli ini buku? Berikut ini gue kasih sedikit info tentang buku COLOVER:

Pengarang: Fairy, Senselly, Yuli Pritania, Edotz Herjunot, Sung Ie, Ce, Sintia Astarina, Ida R. Yulia, Ca, Team Peak

Penerbit: Grasindo

Harga: Rp. 43.000, 00

Terbit: 24 Maret 2014

SINOPSIS:

  • Kisah Yoon-Jo mulai masuk di persahabatan Hye-Rin dan Rae-Mi dalam lembutnya warna biru yang akan selalu disukainya.
  • Si ceria Jung Se-Ra berwarna orange dengan romansa yang begitu manis.
  • Kisah Orenji dan Tuan Kiwi dengan cara jatuh cintanya yang sangat sederhana.
  • Lembutnya turquoise yang menyatukan Yoo dan Joo untuk menguatkan kembali perasaan cinta mereka yang nyaris roboh.
  • Kisah cinta mahasiswa Indonesia dalam 'Seoul, I Love You' memberikan warna biru muda yang menyenangkan.
  • Julukannya geomjeong chamse-burung pipit hitam, gadis itu. Mungil, Serampangan, Hitam.
  • Serpihan-serpihan tipis yang mulai berjatuhan dari langit menyaksikan kebersamaan Hyeun dan Jaewoon. Salju pertama musim dingin. Putih.
  • Warna paling hangat dan segar yang tepat untuk dipakai di musim semi. Peach, dalam kisah Myung-Soo dan Ming-Jeong.
  • Merah merupakan warna penyembuh utama untuk kesedihan. Tapi, warna merah sebenarnya mengingatkan Jung Sang-Joon akan darah putranya yang mengalir sia-sia karena terabaikan.
  • Di Kanada, pasangan Sejung dan Zhaoyi harus berdamai dengan realita. Juga, menerimanya dengan tangan terbuka. Violet.
  • Petualangan 'hampir menarik' oleh Amar, Gilang, dan Abil dalam menyelamatkan sahabatnya si Mbah yang pergi ke Korea karena termotivasi cintanya yang abu-abu.

Segitu aja informasi tentang buku gue dan temen-temen grasindo yang berjudul Colover. Untuk saat ini, setau gue yang udah bisa terima order buku ini baru di pengenbuku.com, kalian bisa cek langsung aja. 

Oh iya, Beberapa bulan berlalu, sampai akhirnya gue dapet kiriman naskah utuhnya yang udah disatuin dengan tulisan penulis lainnya. Gue sempet baca cerpennya @TEAM_PEAK_, dan gue cuma bisa bilang "kampret! Absurd banget cerpennya.", Komedinya seenak udel sendiri. Disaat gue udah berhati-hati enggak terlalu banyak memberi sentuhan komedi dalam cerpen gue karena nuansanya Korea. Ini anak malah cuek abis. Gue ngakak parah baca cerpennya mereka. Entar kalian coba baca sendiri deh XD

Terakhir nih gue mau ngingetin aja. Jadi... temen kalian udah nerbitin buku, kalian cuma diem aja enggak tertarik pengen beli buat support karya temen sendiri? Oh gitu... Oh. Oke. Oh... Oh... Oh...

Hati-hati hukum karma ya :P

Minggu, Maret 09, 2014

Ketika Lelaki Gagal Gaul Bertasbih

Maret 09, 2014
Apa jadinya kalo lelaki gagal gaul nan dekil harus nulis cerpen Korea? 


Sebelumnya gak pernah ada dalam pikiran saat gue harus nulis cerpen yang berbau Korea. Gila banget, baca buku berbau Korea aja gue gak pernah, gimana gue mesti nulis cerpen Korea? Jangankan baca buku, nonton pilem Korea aja gue gak pernah (kecuali versi 3gp). Jangankan nonton pilemnya, nama-nama menu makanan ala Korea aja gue gak paham. Sejauh ini yang gue tau cuma sebatas karedok sama ketoprak. Itu aja gue enggak tau termasuk makanan Korea apa bukan, yang gue tau sih biasanya di pinggir jalan ada yang jual menu makanan begituan.

Sebenernya pengetahuan gue akan Korea emang minim banget. Gak ada hal yang gue tahu tentang Korea selain Seoul. Hufh.. tiba-tiba gue jadi ngerasa keseoul sama diri sendiri.

Keterlibatan gue dengan cerpen korea, semuanya berawal dari sebuah e-mail yang datang dari @sensellysei. Pagi itu, saat gue sedang asyik guling sana guling sini nyari rontokan rambut di atas karpet kamar kos. Gue dapet email yang berisi ajakan buat bikin novel bertema Korea dengan beberapa penulis dari Grasindo. Iya... Korea. Gue gak salah baca, yang ada dalam pikiran gue saat itu adalah Selly salah kirim e-mail ke gue, ini jelas gak mungkin. Belum ada sejarahnya, calon guru SD cowok, dekil, kusam, dan hidupnya enggak bergairah bisa nulis hal berbau Ke-Korea-Korea-an. Apakah ini semacam konspirasi? Atau mungkin ini konstipasi? Entahlah, gue hanya bisa geleng-geleng lemah.

Karena gue merasa sangsi dengan email yang masuk pagi itu, gue pun membalasnya dengan sebuah pertanyaan sederhana, ‘Eh... ini beneran? Atau salah kirim email ya? Bisa-bisa malah jadi absurd kalo gue yang nulis Korea?’

Beberapa menit kemudian, pertanyaan gue dibalas dengan jawaban, ‘Enggak Kak, beneran.. Kak Anin yang ngajakin.  Rencananya nanti temanya ‘cinta’ Kak, bisa kan?’

Busyeeet... bikin cerpen Korea aja gue belum tentu bisa. Ini udah dikasih tema aja. Gue menampar pipi dosen pembimbing gue untuk memastikan apakah ini mimpi atau tidak.

Ketika akhirnya pantat gue ditabokin sama dosen pembimbing sebanyak tiga kali di ruang dosen. Akhirnya gue menyadari kalo ini bukanlah mimpi. Ini nyata...  gue jadi dilema. Apakah gue berani ambil bagian di nulis cerpen Korea bareng penulis Grasindo lainnya atau gue tolak aja? Gue pun coba menenangkan diri dengan berwudhu... secara tayamum. Kemudian gue banyak-banyak bertasbih.

Gue berpikir... Kalo gue tolak, gue gak perlu kepikiran macem-macem tentang segala hal berbau Korea, gue hanya perlu mencari jawaban makanan seperti apakah karedok dan ketoprak itu. Genre menulis gue bukan di situ. Tapi kalo gue ambil, nama gue bakalan ada di dalam buku bareng penulis-penulis grasindo lainnya dibalut rasa Korea. Ini bener-bener kesempatan yang langka dan sepertinya akan terasa syahdu.

Setelah sendawa cukup keras, gue akhirnya berani ambil bagian di cerpen Korea kali ini. Ini adalah tantangan buat gue. Ini adalah ujian untuk membuktikan eksistensi gue di dunia kepenulisan, setelah sebelumnya gue sangat eksis nulis di papan tulis. Setelah membalas e-mail dengan jawaban ‘iya’. Siang itu gue stres berat. Gak tau mau bikin cerita kayak gimana dan yang seperti  apa.

Berhari-hari gue memikirkan alur dan konflik seperti apa yang bakalan gue angkat. Gue juga harus berpikir keras nentuin latar ceritanya. Gue beneran ‘buta’ tentang Korea, sampai akhirnya gue sadar.. Lah ini gue harus pake nama apa buat tokoh di dalam cerpen gue? Gue enggak tahu gimana mesti bikin nama Korea yang baik dan benar, gue sama sekali enggak paham nama-nama warga Korea. Yang gue tau, nama korea buat cowok cuma Park Ji Sung, tapi kayaknya nama itu terlalu familiar banget. Btw, ada yang tau alasannya kenapa itu nama rasanya gak asing banget di kuping?

Gue sempet kepikiran satu nama Korea lainnya buat pemeran cowok, yaitu Suju... Tapi setelah gue browsing di google translate, Suju bukan nama cowok Korea tapi nama boyband Korea. Gue jadi diplomatis parah... enggak dink, maksud gue dilematis.


Sampai seminggu berlalu sejak dapet email, gue belum dapet ide sama sekali mau bikin cerita yang kayak gimana. Gue pengen tulisan Korea gue nanti juga ada komedi-komedinya.. tapi gue bingung, kayak apa jadinya komedi Korea nantinya. Lagi-lagi gue bertasbih dengan syahdu berharap dapat inspirasi.

Hidup gue jadi dipenuhi dengan kebingungan. Gue ngerasa enggak bisa memenuhi permintaan ini. Gue jadi sempet kepikiran buat meng-cancel ke-iya-an yang udah gue ucapkan. Tapi kalo dipikir-pikir lagi, gue nanti ngerasa jadi cowok cemen..

Sebagai lelaki yang kaya akan nutrisi dan zat besi, gue pun mengikrarkan diri untuk sesegera mungkin menyelesaikan cerpen ini. Gue gak peduli kalo nanti hasilnya malah jadi kayak Korea jadi-jadian atau Korea Pi. *kemudian ambil rokok* *rokok sariawan*

Gue mulai nyicil bikin outline. Inspirasi pertama gue dapet pas bangun tidur--gue denger suara Cherrybelle nyanyiin ‘Brand New day’, setelah gue cek ternyata suara itu berasal dari tipi yang disetel sama temen gue, Ganggo, di acara Inbox.

Gue segera ambil hape, dan buka ‘documents to go’, lalu mulai mencatat sesuatu. Kemudian gue mulai menghubungkan dengan hal-hal absurd yang ada di sekitar gue. Tentang Haji Sulam, juga tentang hape Mister Limbad. Waktu gue keinget tentang naik haji.. gue jadi keinget air zam-zam. Saat itu, gue enggak tahu kalo ternyata air zam-zam itulah yang akan jadi kunci dari konflik dalam cerita gue nanti.

Berhari-hari berlalu, gue masih stuck di outline. Gue belum ada niat buat mulai nyicil cerpennya. Perasaan minder mulai meruntuhkan semangat gue lagi. Sampai pada suatu malam saat hujan turun dengan riang dan gue lagi asik ngerjain skripsi sambil dengerin lagu-lagu Cherrybelle. Gue dapet inspirasi...

Dengan penuh kebahagaiaan gue lupakan skripsi untuk sementara. Dan gue nyicil cerpen Korea, gue ngetik banyak malam itu. Gue mulai nemuin alur ceritanya. Walaupun begitu, gue masih belum nemu nama buat tokoh utamanya, apalagi tempat-tempatnya. Untuk sementara gue asal aja namainnya. Ceweknya gue kasih nama Park Chou Yung. Dan setelah dibaca-baca ulang, Park Chou Yung kesannya jadi mirip sama cowok, namanya juga lebiih familiar ke chong yang. Nama minuman keras yang ada di Semarang. Apa-apaan gue ini.

Nama-nama tempat di Korea pun gue browsing-browsing semuanya. Mulai dari bandara, taman sampai kampus. Kalo nanti kalian udah baca cerpen gue dan liat nama-nama tempat di Korea yang gue tuliskan, gue emang keliatan keren. Tapi sebenarnya gue enggak paham sama sekali.

Dua minggu berlalu cerpen gue mulai keliatan bercahaya, sampai gue baru sadar ternyata gue bacanya di depan teras kost, siang-siang. Demi cerpen yang enggak pengen keliatan malu-maluin, tiap hari gue jadi rajin baca, gue edit, gue lanjutin nulis, gue baca lagi, begitu seterusnya setiap hari.  Sampai sebulan berlalu akhirnya cerpen gue jadi juga. keren gak gue? Bikin cerpen sebulan lamanya. Sumpah... Ini adalah cerpen terlama yang pernah gue buat selama gue berkarir sebagai penulis.

Merasa belum yakin untuk ngirim naskah gue ke Selly. Gue butuh masukan dari pembaca dulu. Akhirnya, gue menghubungi beberapa temen yang gue percaya untuk mencicipi naskah Korea gue. Temen yang nafas hidupnya dekat dengan nuansa Korea. Gue pun memilih @Risa_Chiamix, @NennaNess dan @Meykke_Santoso. Dan minta masukan dari mereka.

Karena gue juga butuh orang netral yang buta tentang Korea. Gue memilih @Fauzhiee sama Ichsan.. semuanya bisa gue andalkan, kecuali si Ichsan.. dia PHP-in gue, bilangnya bersedia mau ngomentarin cerpen gue, tapi sampai gue kirimkan cerpen ke Selly, Ichsan enggak pernah ngasih masukan atau kritikan sama sekali. Gue telah salah memilih orang. Gue cukup keseoul juga sebenernya. Belum terkenal aja udah gitu ya~

Setelah dapet kritik dan saran yang juara.. gue bener-bener berterima kasih banget sama Risah, Nenna, Meykke dan Fauzi. Satunya lagi kayaknya gak perlu. Masukan-masukan dari mereka bikin gue tau dimana kekurangan cerpen gue. sehingga bisa gue perbaiki sebelum gue serahkan ke PJ naskahnya.

Setelah naskah gue serahkan ke Selly, sekarang dia harus mau gue repotin. Gue minta Selly buat ngoreksi dan ngasih masukan buat cerpen Korea gue. Sampai akhirnya, setelah melalui beberapa revisi lagi, cerpen gue dirasa pantas buat dikirim ke editor.

Dengan pemilihan tema ‘warna’ dan Korea yang identik dengan cinta, gue enggak berani terlalu brutal ngasih sentuhan komedi dalam tulisan gue. Karena gue khawatir jatuhnya malah garing dan gak pas karena Korea identik dengan romantis. Tapi bagaimanapun juga, gue akui cerpen gue yang ini emang absurd banget. Sumpah deh... cerpen dengan perpaduan tukang bubur naik haji, Cherrybelle, air zam-zam, dan hapenya master lambad dibalut dengan nuansa Korea. Bukankah ini merupakan perpaduan yang syahdu?

Dan bentar lagi, cerpen gue dengan beberapa teman penulis dari Grasindo, bakalan terbit. Infonya bakal muncul di postingan gue selanjutnya. COMING SOON...

Selasa, Maret 04, 2014

Cancut Marut Ikutan UNSA BOOK AWARD

Maret 04, 2014

Beberapa waktu yang lalu, gue gak sengaja ngeliat ada sebuat catatan berjudul “Unsa Book Award” yang lewat di beranda Facebook gue. Karena penasaran, ada kata ‘book-book’-nya gue pun ngeklik catatan dari temen gue yang bernama Haris Firmansyah. Berharap itu adalah sebuah catatan tentang pin BB para cewek. Tapi bukan pin cewek tipe online shop yang selalu pasang DP model cewek dengan pakaian trendy tanpa kepala.

Oh iya.. bagi yang belum tau, Haris ini adalah penulis yang udah menerbitkan 4 buku, bahkan bentar lagi buku kelimanya mau keluar. Bener-bener deh, ini anak ngeluarin buku udah kayak ngeluarin e’ek aja. Ngeden dikit, langsung nongol dengan mudahnya. Gue jadi agak-agak serem ngebayangin cara kerja otaknya yang begitu produktif menghasilkan buku. Gue curiga, jangan-jangan Haris suka makan Sosis So Nice.

Dari informasi yang gue dapet tentang “Unsa Book Award’, ternyata ini salah satu acara semacam penghargaan buat para penulis yang udah punya karya dalam sebuah buku. Jadi, nantinya para penulis diminta mengirimkan bukunya untuk dilombakan dengan berbagai kategori. Entah dari penerbit mayor atau penerbit indie, semuanya punya kesempatan yang sama. Ada kategori novel, kumpulan cerita dan buku bersama (antologi).

Awalnya sih gue hanya menganggap ini sebagai angin lalu aja. Tapi entah kenapa, beberapa hari kemudian gue mulai berpikir kalo gak ada salahnya gue coba ikutan. Buat iseng-isengan aja kan gak ada salahnya, daripada gue bisanya ngisengin temen kirim-kirim sms mamah minta sosis so nice.

Gue emang pengen ikut, tapi permasalahannya saat itu adalah gue udah enggak punya stok buku Cancut Marut yang baru di kos (waktu itu gue belom wisuda). Yang gue punya cuma buku yang udah agak lama. Jadi agak enggak enak juga kalo gue mesti ngirim buku bekas yang agak kumal tampilannya, buku yang bener-bener gak beda jauh sama penulisnya. Gue sempet sih, kepikiran mau beli di gramedia dulu. Tapi kebetulan saat itu duit gue kepake banyak buat bayar utang di beberapa warung deket kos gue.

Akhirnya, dengan modal ‘cuek cool’, gue kirimin buku yang kumal itu, dan parahnya gue ngirim buku itu hanya sekitar dua hari sebelum hari penutupan event.

Beberapa hari setelah ngirim buku. Gue udah lupa begitu aja, seolah gue gak pernah mengirim buku itu. Iya, selain buku yang gue kirim agak kumal, gue minder kalo mesti  saingan sama penulis-penulis  lainnya.

Sampai pada suatu siang yang teduh, gue iseng-iseng komentar di salah satu status Haris Firmansyah.  Setengah jam kemudian, gue dapet notif balesan dari Haris yang isi komentarnya,“Eh Dotz, Cancut Marut sementara nilainya tertinggi tuh.”

“HAH?! SERIUS NIH?” Gue jadi agak-agak shock. Soalnya gue udah agak-agak lupa dengan nasib buku Cancut Marut yang gue kirimkan waktu itu gara-gara kebanyakan nonton DVD The Return Of The Condor Heroes. Pilemnya Pendekar Yoko sama Bibi Lung.

Gue sendiri bingung, ngeliat pengumumannya emang di mana? Akhirnya gue cari grup UNSA di Facebook yang merupakan singkatan dari ‘UNTUK SAHABAT’. Lama banget gue nyari gak ketemu-ketemu karena yang gue ketik di kolom search cuma ‘UNSA’. Gue malah sempet nyasar ke grup UNSA NA MEN CORPORE SANO. Tapi gue bo’ong.

Setengah tahun berlalu, akhirnya gue nemu juga grup Untuk Sahabat dan buru-buru klik Join. Gak pake lama, gue langsung kepoin grupnya. Gue scroll wall yang ada dalam grup Untuk Sahabat dan akhirnya ketemu juga. Gue melihat nilai Cancut Marut emang tertinggi. Cuma selisih 0,5 dari bukunya Haris. Dan yang bikin sangar, Haris ngirim dua bukunya di kategori ini. Ajib... tapi gue gak bisa seneng kelamaan, karena masih ada satu juri yang juga akan memberi nilai. 

                                                                        ***

Setelah hampir sebulan nunggu, akhirnya muncul juga hasil dari kategori kumpulan cerita di Unsa Book Award kali ini... dan kebetulan, untuk tahun ini ada sesuatu yang unik. Untuk kategori kumpulan cerita, atau kategori yang gue ikutin. Ada dua buku yang punya nilai sama tinggi, akhirnya setelah dipertimbangkan dengan seksama. Maka diambil keputusan, juara 1 dapet kontrak penerbitan di De Teens juara kedua dapet uang tunai senilai Rp 500.000,-


Padahal sebenernya, harusnya cuma ada juara satu dan hadiahnya kontrak penerbitan sepaket dengan uang tunai. 

Rabu, 26 Februari kemarin akhirnya semuanya menjadi jelas. Buku gue, CANCUT MARUT dinobatkan sebagai runner up dengan nilai yang sama dengan juara satunya untuk kategori kumpulan cerita. Alhamdulilah banget deh, gue dapet rejeki siang itu. 


Gue cukup puas dengan hasil ini. Karena itu artinya, gue yang dapet uang tunai sebagai ‘upah’ karena telah terpilih sebagai runner up. Jujur aja nih... gue sendiri justru bakalan bingung seandainya gue yang jadi juara satu, karena nantinya gue bakalan dapet kontrak penerbitan. Gue udah gak punya stok naskah sama sekali untuk saat ini. Hehehehe... Buku kedua gue aja masih antri di penerbit dan belum diproses. 

Satu hal yang masih bikin gue penasaran, kalo nilainya sama terus gimana caranya menentukan juara 1 dan 2 di kategori kumpulan cerita ini ya? Mungkin gara-gara buku gue terbitan agak lama atau mungkin karena takdir kali yak. Hehe..

Setelah nerima award ini, gue kayaknya perlu banget ngucapin terima kasih buat editor buku gue Anin Patrajuangga yang dulu telah membimbing gue sama persis kayak dosen pembimbing. Tiap hari selain sembahyang dan mengaji, kerjaan gue revisi naskah mulu. Dan ternyata, hal itu enggak sia-sia. Karena Cancut Marut akhirnya bisa dapet penghargaan dari grup Untuk Sahabat ini.


Gue juga salut banget sama grup UNTUK SAHABAT yang telah membuat acara sekeren ini. Dimana ini merupakan bentuk apresiasi nyata bagi para penulis buku untuk membuktikan eksistensinya. Event ini juga sebagai media atau alat bagi para penulis buku yang masih menerbitkan bukunya di penerbit indie untuk melangkah lebih maju dengan hadiah kontrak penerbitan di penerbit mayor.

Oh iya, grup Untuk Sahabat merupakan grup yang sangat kompetitif bagi para penulis atau blogger. Karena gue lihat, di dalam ini selalu saja ada info lomba menulis yang diselenggarakan dari grup UNSA sendiri. Jadi buat kamu yang suka banget sama nulis dan pengen dapet info banyak tentang lomba menulis, kalian bisa gabung aja di grup FB UNSA (klik).

Balik ke Unsa Book Award... Gue sendiri sih berharap, event yang keren ini enggak jadi yang terakhir. Dan semoga tahun depan UNSA masih berani untuk membuat event ini lagi. Gue yakin, dengan promosi yang lebih radikal lagi untuk ke depannya, pasti akan semakin banyak penulis yang tahu dan termotivasi buat ikut meramaikan event ini. Dan tentu saja, otomatis pesertanya bisa memenuhi ekspektasi dari pihak penyelenggara.

Dan melalui award ini... gue juga ingin menunjukkan pada temen-temen untuk terus mengejar mimpinya menjadi penulis yang bisa menerbitkan bukunya. Bukan cuma berhenti dan hanya puas sampai di blog saja. 

Gitu, bro.

Sabtu, Maret 01, 2014

Ngobrol Bareng Editor Grasindo

Maret 01, 2014
Gue mau cerita, dan gue lagi enggak pengen basa-basi. Jadi, langsung aja...


Setelah setahun lamanya hanya berhubungan lewat e-mail, BBM, Facebook dan Twitter. Akhirnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban umat manusia. Gue bisa ketemu langsung sama editor buku gue Cancut Marut, Anin Patrajuangga, yang sekaligus jadi editor buku Asem Manis Cinta punya Blogger Energy. Bagi yang belum tau, Anin ini cewek. Memang, nama Patrajuangga di belakang ‘Anin’ agaknya terlalu maskulin untuk disematkan pada seorang cewek. Tapi begitulah adanya... 

Dulu sempat waktu pertama kali gue dapet konfirmasi e-mail terkait naskah buku Cancut Marut, pertama kali Anin ngirimin gue e-mail, dengan pedenya gue balesin e-mail tersebut dengan nulis, “Oh iya Mas, terima kasih.. saya tunggu kabar selanjutnya.” *sambil guling-guling bahagia*

Beberapa menit kemudian, gue dapet balesan e-mail lagi, “Oke deh... eh iya, aku cewek loh, jangan dipanggil Mas.”

Sore itu... gue telah salah menilai jenis kelamin seorang anak manusia berdasarkan namanya. Gue pun hanya bisa tertegun.

Sebenarnya momen ketemuan ini enggak terlalu terencana dengan baik. Seminggu sebelumnya, gue dapet DM dari Anin kalo katanya dia mau main ke Semarang, udah cuma gitu aja. Enggak ada pembahasan lebih lanjut dan mendetail tentang waktu, tempat dan jadwal tayang sinetron Tukang Bubur Naik Haji.

Tapi gue rasa, ini kesempatan buat ngobrol banyak tentang dunia menulis dan buku-buku Grasindo lainnya. Dan yang bikin gue lebih excited lagi, Anin bilang, “Sekalian aku bawa sampel buku Asem Manis Cinta nih.” Gue pun nyengir-nyengir babi.

Pas hari H buat ketemuan, sempet terjadi miss komunikasi antara gue sama Anin. Awalnya dia bilang nanti ketemuan aja di kampus UNIKA (Universitas Katolik Soegijapranata), abis itu baru jalan ke KFC deket Akpol. Karena emang tempat nongkrong yang gue tau cuma disitu. Gak  mungkin juga kan kalo gue ngajak Anin ke warteg langganan gue.

Begitu gue udah meluncur ke UNIKA dengan penuh percaya diri, ternyata Anin kirim Whats App (lagi) yang isinya dia langsung nunggu di KFC aja, dia udah dianterin sama pacarnya, dan dia udah nyampe! Lah... gue yang baru buka HP di depan kampus UNIKA, seketika kembali tertegun.

Dengan langkah cepat, gue pun segera menuju ke KFC dekat Akpol seorang diri. Baru beberapa menit jalan, gue ngecek hape sambil jalan santai naik motor, gue udah dapet whats app lagi yang isinya, “Edotzzz Lama”, 

Pesan singkat ini beneran bikin gue makin terburu-buru. Seolah-olah nadanya kayak orang yang gak sabaran gedor-gedor pintu WC karena e’ek yang sudah di ujung. Sedikit bernafas terlalu kenceng aja, e’eknya udah enggak bisa ditahan.

Sampai akhirnya, sepuluh menit kemudian gue nyampe di KFC.

Setelah spik-spik bentar sama tukang parkirnya, gue pun masuk. Gue nyari sosok keberadaan Anin ada di mana hanya berdasarkan naluri aja. Selama ini gue cuma liat dia di foto, belum liat secara aslinya. Tapi baru beberapa langkah mau masuk ke dalem. Gue ngeliat ada sesosok (gile, bahasanya sesosok) cewek duduk sendirian sambil maenan HP. Dengan sok yakin, gue langsung bilang, “Eh udah lama ya Mbak?”, yang disambut dengan balasan, “Edotz! Kamu lama banget!” 

Dalam hati gue, untung ini cewek beneran Anin. Kalo sampai ternyata gue salah orang, pasti bakalan cengo banget gue siang itu. Udah kayak iklan di tipi aja yang ada cowok sok nutupin mata cewek pake tangannya, eh ternyata salah cewek... terus karena udah terlanjur malu, dia pura-pura masang muka unyu sambil nutupin matanya sendiri sambil teriak dengan nada bahagia, “Coba tebak ini siapa???”

Anin juga dengan pedenya langsung memvonis kalo itu gue. Menurut gue itu wajar juga sih, karena emang udah jelas yang namanya cowok enggak ganteng dengan aura dekil cuma gue yang punya.

Tanpa banyak basa-basi kita langsung masuk ke dalem buat pesen makanan. Belum sempet gue mau nawarin traktiran, Anin udah bilang duluan, “Kamu mau makan apa? Tenang aja, ini dibayarin sama kantor.”


Jadilah siang itu gue dibayarin. Tapi bukannya mengambil peluang gratisan ini secara biadab dengan memutus urat malu untuk sesaat. Gue justru sok cool karena cuma pesen, grape float sama french fries. Bukan karena gue jaga imej, tapi karena kebetulan gue emang udah makan sebelumnya. Tau gitu, mendingan gue puasa dulu seminggu sebelum ketemu Anin ya. 

Sambil nunggu makanan siap di depan kasir. Anin udah ngobrol banyak, gak ada kecanggungan sama sekali. Pokoknya udah keliatan kayak majikan lagi ngasih nasihat ke supirnya deh siang itu.

Dari obrolan di depan kasir itu, gue baru tau, kalo Anin dateng ke Semarang sekalian mampir ke rumah patjar. Setelah sebelumnya Anin baru pulang dari acara Grasindo bareng penulis-penulisnya di Surabaya. Katanya sih ada empat penulis Grasindo di sana, dan gue lupa sama nama-namanya. Hehe..

Dari obrolan itu juga Anin ngusulin, kota Semarang juga kalo bisa ngadain acara semacam di Surabaya. Dan setelah diomongin lagi, ternyata penulis grasindo yang ada di Semarang cuma ada gue dan satunya lagi siapa gue lupa. Jadi kayaknya, belum siap jalan deh. Malah jadinya ngebahas bikin acara di Jogja. Huft, Semarang yang malang... 

Setelah milih tempat duduk yang seadanya karena siang itu agak penuh. Kita mulai ngobrolin banyak hal. Mulai dari Cancut Marut yang jadi buku kedua dieditorin sama Anin. Setelah buku yang paling pertama berjudul Tompel Tusie. Kita juga ngebahas gimana waktu dulu Cancut Marut tiap hari harus revisi terus-terusan. Mulai dari ngerubah beberapa struktur kalimatnya, tata tulis di naskah gue yang begonya kebangetan, sampai masalah ilustrasi dan juga cover. Bahkan dari judul pun dulu gue sempet beberapa kali diganti. Jaman dulu emang Anin masih sempet banget buat ngurusin buku gue. 

Sebagai buku yang tergolong angkatan awal dari karir Anin sebagai editor. Karena masih niat-niatnya, Anin bahkan masih sempet-sempetnya ikutan bantuin promo buku gue mulai dari ngetwit, Instagram sampai Facebook juga. Bahkan beberapa kali, Anin promosiin buku gue ke penulis grasindo lainnya. Sedangkan website-nya Grasindo saat itu gak pernah di-update, jadi enggak ada cover buku gue yang nampang di web Grasindo.

 Semacam supir yang lancang sama majikannya sendiri, berani ngajakin foto bareng. Udah gitu, yang fotoin pacarnya majikan

Gara-gara promo dari Anin, gue jadi kenal dengan @sensellysei, yang waktu itu nge-mention gue sambil twitpic buku gue. Gue kira, dia juga pembaca buku gue kayak biasanya yang suka mention penulis abis baca bukunya. Gue masih nganggepnya santai aja, sampai setelah dia bilang kalo ‘editor kita sama’. Gue jadi penasaran, dan mulai kepoin dia. Dan ternyata novelnya yang waktu itu baru terbit berjudul ‘Prosecutor Got Married’, beberapa bulan kemudian udah best seller aja. Sekarang, jadinya malah gue minder.... HAHAHA.

Dari obrolan tentang Cancut Marut, ada perkataan yang gue suka, yaitu saat Anin bilang, “Cancut Marut itu termasuk bagus loh.. orang-orang kantor banyak yang suka.” Gue sok cool, “Oh iya?” padahal dalem hati gue udah menggelinjang banget. Lagi-lagi gue nyengir babi.

Jaman awal proses buku gue sama sekarang beda banget kata Anin. Dulu dia bener-bener ngoreksi buku gue sampe detail banget. Tapi sekarang udah enggak bisa sesantai dulu. Naskah yang masuk ke grasindo makin hari makin banyak. Bahkan katanya, per bulan Grasindo bisa ngeluarin buku sampai sebelas biji. Mainstream banget...

Pantes... sekarang gue liat di gramedia. Dimana-mana penuh dengan buku terbitan Grasindo. Oh iya, ada satu hal yang menurut gue unik. Yaitu bagaimana cara Anin mengambil keputusan mau menyetujui naskah buku yang masuk apa enggak. Jadi, ternyata Anin ngambil keputusannya pakenya feel, ngikutin kata hati... iya, setelah selesai membaca naskah yang masuk dengan seksama. Dia seringnya mengikuti kata hati aja. Lolos apa enggaknya naskah itu. 

Obrolan siang itu juga dilanjutkan dengan membahas beberapa buku terbitan Grasindo lainnya. Tentang angka penjualan beberapa merek buku terbitan grasindo, tentang salah satu penulis Grasindo yang terjebak kasus plagiat (ini gue baru tau!), juga tentang salah satu penulis yang ngeborong bukunya sendiri sampai jadi best seller (gue gak bisa ngebayangin, abis berapa duit anak ini buat ngeborong bukunya sendiri) dan juga ngobrolin hal-hal seputar Grasindo lainnya. 

Siang itu, gue juga sempet nanyain tentang Anin yang katanya juga mau nerbitin buku, naskahnya udah masuk di penerbit Gramedia Pustaka utama (masih sodara sama grasindo) tapi gara-gara kesibukannya yang seabrek. Novelnya jadi kepending sampe sekarang. 

Oh iya... gue sempet menanyakan sesuatu yang selama ini membuat gue susah tidur. Yaitu tentang website grasindo yang selama ini enggak pernah di update. Dari dulu tampilannya masih aja cover buku 5 CM. Dan siang itu gue menemukan jawabannya, ternyata.. website Grasindo gak pernah update itu karena di hack sama orang. Lah... gaul banget yang ngehack, tapi katanya sih sekarang lagi dibuatin yang baru, tapi gue enggak nanya jadinya kapan sih.

Sebenarnya sih, masih banyak juga yang pengen gue tanyain. Tapi emang waktunya saat itu enggak memungkinkan. Gue udah harus buru-buru pulang buat ngajar anak-anak.. iya, ngajar ngaji.

Intinya sih, enggak ada teknik kepenulisan yang gue obrolin siang itu. Selain karena lebih asik ngomongin tentang dunia penerbitan dan Grasindo itu sendiri. Gue emang lagi males ngomongin tema yang berat-berat. Soalnya gue takut, berat badan gue jadi ikutan naik. Gue takut gendut. Karena gendut dipadukan sama botak, itu enggak seksi sama sekali. Btw, yang gue sebutin tadi kayaknya jauh lebih nakutin dibandingkan ketahuan nonton bokep sama Ustadz Hariri ya.


Sebelum pulang, gue sempetin dulu minta tanda tangan Anin di buku gue dan foto bareng juga. Dan tanpa perasaan berdosa, patjar Anin yang siang itu nyusul ke KFC, gue jadikan sebagai tukang fotonya. 

Gue memang terlihat seperti lelaki gagal gaul nan hina yang enggak tahu diri siang itu.

About Us

DiaryTeacher Keder

Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.




Random

randomposts