Kamis, Mei 01, 2014

Semua Karena Pintu (Jangan Tusuk Aku dari Belakang)

Mei 01, 2014
Dulu.. waktu masih kuliah gue hidup bahagia berteman dengan sekumpulan lelaki yang tak pandai menjahit dan juga tak pandai mengenakan mukena, kami bermukim di sebuah bangunan yang dinamakan Tugiran Community. Bagi yang udah pernah baca buku gue Cancut Marut, kalian pasti tau apa itu Tugiran Community. Dan bagi yang belum tau, kalian harus tau.. jadi gue jelaskan sedikit, bahwa Tugiran Community adalah sebuah rumah singgah biasa tanpa keistimewaan apa-apa, hanya sepotong rumah yang ada pintunya, ada jendelanya, dan juga ada kotoran manusianya (beberapa saat kemudian lenyap disiram oleh pembuangnya) yang datang silih berganti.
Temen-temen gue namanya : Pandik, Surya, Ganggo, Fatur, unyil dan satunya lagi pensiun di tengah jalan, jadi mungkin gak usah disebutkan namanya. 

Kami hidup rukun, jadi tidak pernah ada yang mengeluh pegal-pegal di pantat sehabis bangun tidur, juga tidak ada yang mengeluh diameter teteknya berkurang beberapa centimeter. Kadang disaat salah satu dari kami sekarat karena pengaruh akhir bulan, seseorang lainnya rela memberikan kuah mie instannya untuk menyelamatkan temannya dari gejala busung lapar.

Melihat keharmonisan hubungan tersebut, sepertinya terlalu mustahil bagi gue dan teman-teman untuk mericuhkan hal-hal yang tidak perlu. Kami senantiasa bersama dan saling memaklumi, kami hidup bahagia layaknya keluarga cemara, hanya saja setiap hendak berangkat kuliah kami tidak pernah berpamitan sampai cium tangan segala kepada penghuni lainnya. 

Namun dari semua keindahan itu, ada satu hal yang sanggup mengusik kebersamaan kami, semua itu terjadi jika kami sudah berurusan dengan yang namanya... pintu.

Pintu sering menjadi persoalan pelik dalam biduk rumah tangga kami sebagai anak kontrakan yang tidak mempunyai ibu pendamping di dalam rumah, ego yang terlalu tinggi dalam diri sering menimbulkan prasangka dan rasa tidak pengertian yang dalam.

Kasus yang pertama, terjadi pada suatu pagi, Pandik, salah satu penghuni Tugiran Community yang berbadan gempal menyerupai kentang yang belum dikupas kulitnya sedang asik melakukan rutinitasnya di kamar mandi. Rutinitas yang gue maksud di sini bukan revisi skripsi tapi mandi. Dan gue enggak tau, rutinitas itu dikategorikan ke dalam mandi wajib atau mandi bebek. Entahlah...

Saat kamar mandi terjadi keheningan mendalam dan entah apa yang dilakukan Pandik di kamar mandi, tiba-tiba sontak terdengar ketukan meyakinkan dari Fatur, penghuni Tugiran Community lainnya.  “Dog... dog... dog...” Begitu bunyinya, memang tidak nyaring, tapi itu bukan bahasa inggrisnya anjing.

"Ndik! Cepetan mandinya! Gue ada kuliah jam 7 pagi! Lo ngapain aja di dalem sih!" Fatur mulai berdakwah dari luar kamar mandi.

Sementara itu tak ada jawaban dari dalam, entah apa yang terjadi.. kemungkinan pertama Pandik masih nanggung dengan aktivitasnya, dalam hal ini pun aktivitas yang dilakukan juga tak ada yang tahu, kemungkinan kedua Pandik sedang mencerna setiap butir demi butir hikmah dari dakwah Fatur di pagi hari.

Gue yang masih asik menyeruput marimas jeruk nipis anget hanya menatap heran melihat peristiwa pagi itu. Gue hanya takut, Fatur makin semangat berdakwah dan akhirnya nyundul pintu kamar mandi dengan kekuatan penuh yang didapatnya dari ketakutan terlambat berangkat kuliah.

Fatur mulai merongrong keras, kali ini enggak hanya bunyi ‘dog dog dog’ saja tapi juga bunyi ‘Dag... dag... dag...’ bunyi ‘dog’ dan ‘dag’ tidak bersaudara, bunyi ‘dag’ itu sebenarnya berasal dari kaki Fatur yang ikut menendang pintu kamar mandi, kalau saja Fatur lebih menjiwai menendang pintu kamar mandi dengan kaki mungilnya mungkin bunyi yang dihasilkan akan lebih harmonis lagi, seperti 'duck... duck... duck...', dan tolong dicatat itu bukan bahasa inggrisnya bebek.

Setengah jam kemudian kasus ini terselesaikan seiring keluarnya Pandik dari kamar mandi dengan hanya mengenakan celana dalamnya. Bagi kami yang semuanya laki-laki normal, bercelana dalam sehabis mandi di kontrakan adalah hal yang lazim.

Setelah pertikaian usai, tidak ada rasa dengki dan benci di dalam hati, mereka masih tetap saling menyapa di kemudian hari. Perebutan kamar mandi memang lazim terjadi di dalam rumah singgah kami. Namun, semua itu akan terlupa dan berganti lagi dengan tragedi lainnya.

Gue pernah menjadi korban ketidakpentingan atas perilaku Fatur dengan media pintu. Pernah suatu hari, sekitar pukul dua pagi, disaat gue terlelap unyu dengan dihiasi lampu kamar yang redup. Gue dikagetkan dengan suara pintu kamar gue dipukul-pukul. Iya, dipukul-pukul.. Kalau diketuk-ketuk sih masih mending. Gue penasaran banget, khawatir kalau ketukan pintu itu berasal dari seseorang yang mencurigakan.

Gue lebih takut, kalau gue buka pintu ternyata yang muncul sesosok lelaki utuh baya, (setelah melewati proses paruh baya) dia muncul dengan pakaian serba putih kemudian bilang, "Saya Prabowo Subianto, Pancasila adalah dasar negara Indonesia, bla... bla... bla..."

Gue harus jawab apa? Gak usah ngenalin diri juga gue kan udah tau, karena kemarin Prabowo baru aja ngenalin diri di iklan edisi hari nelayan.

Gue buang jauh pikiran itu, dengan mata yang luar biasa mengantuknya gue pun bangkit dari peraduan, memutar kunci dan melihat siapa yang ada di luar, ternyata Fatur...

Dengan penuh rasa santai tingkat tinggi, Fatur langsung nyerocos, "Dotz... Itu lauk yang di dalem magic com punya elo? Gue minta ya, gue laper banget sumpah! Ya dotz ya?"

"Ya!" Gue menutup pintu kembali.

Andai "Ya!" Yang gue ucapkan bisa terdengar layaknya balasan sms 'Y' harusnya Fatur bisa tahu kejengkelan gue. Betapa tidak pentingnya malem-malem bangunin orang tidur cuma buat minta lauk. Ya... minta lauk. Malem-malem. Sampai gedor-gedor pintu. Kenapa gak langsung makan aja sih? Fatur memang terlalu syariah, padahal sholat aja jarang-jarang.

Di kontrakan gue, Fatur memang identik dengan lelaki malam. Kerjaannya tiap hari begadang buat online, biasanya pukul empat pagi baru tidur, kalau ada kuliah pagi, setengah tujuh baru bangun buat dakwah di luar kamar mandi.

Gara-gara insiden ‘minta lauk’, ingin rasanya malam itu gue nyundul Fatur, tapi niat tersebut gue urungkan karena perut Fatur agak-agak sixpack, gue takut kepala gue retak. 

Beberapa hari kemudian, fenomena pintu terulang kembali. Sudah menjadi rahasia umum kunci pintu di rumah Tugiran Community termasuk kunci yang elit, sengaja didesain biar gak bisa diduplikat. Di rumah kami hanya ada satu kunci, satunya lagi dipegang pemilik rumah.

Maka, dari enam orang penghuninya yang sah dimata agama, gak ada yang bawa kunci sendiri-sendiri, pokoknya tiap pergi kunci selalu ditaruh di bawah pot depan rumah atau diselipin di atas jendela. Ya, kami memang tidak kreatif dan tidak pandai berinovasi dalam menyimpan kunci.

Di suatu malam yang larut... saat portal di perumahan sudah tertutup rapat, saat semua insan cendekiawan tertidur lelap, salah satunya gue. Kenyamanan  malam itu terusik dengan terdengarnya suara motor V-Ixion yang menderu-deru masuk ke halaman rumah. Karena kamar gue memang berada paling depan, gue jadi rentan terbangun kalau denger suara-suara yang cukup bising.

Gue udah tau kalau itu Fatur, suara motornya dan bau badannya sempurna untuk malam itu. Suara mesin motor mati, hening beberapa saat... kemudian gue mulai mendengar suara pintu diketuk-ketuk, bunyinya tidak nyaring. Karena memang udah malem Fatur takut ditombak sama tetangga kalo ribut, maklum namanya juga perumahan.

Sepuluh menit gak ada respon, Fatur mulai manggil-manggil nama gue dari jendela, sebenernya sih gue denger dengan jelas tapi gue males kalo harus bangun cuma sekedar bukain pintu buat Fatur. Dalam hati gue agak menyayangkan kenapa gue bisa lupa setelah mengunci pintu kuncinya enggak gue taruh di jendela.

Karena rasa mengantuk yang begitu tajam, gue mencoba untuk pura-pura tidak merespon, gue enggak peduli sama nasib Fatur yang ada di luar.

Fatur membuka jendela kamar gue kemudian melongok dan manggil-manggil nama gue tanpa syahdu, dalam hati gue menyesali kenapa gue harus lupa ngunci jendela, mentang-mentang jendela kamar gue ada terali besinya sehingga gue merasa aman.

Gue masih pake jurus pura-pura mati, gak bergerak dan gak menunjukan tanda-tanda kehidupan, ingin rasanya gue mimikri kayak yang biasa dilakuin bunglon biar Fatur gak bisa ngeliat gue.

Gue mendengar jendela ditutup... dan tak ada suara Fatur. Gue berpikir mungkin Fatur menyerah karena lelah, tapi ternyata dugaan gue salah.

Suara jendela terbuka terdengar lagi, Fatur manggil nama gue tanpa mesra sama sekali dan gue merasakan ada sesuatu yang menusuk-nusuk pantat gue. Plis... gue gak mau mimpi sedang  bersekolah di JIS dan disodomi cleaning service, gue ngeri.

Sayup-sayup gue masih mendengar suara Fatur, oh... mimpi ini begitu nyata! Apakah Fatur jadi cleaning service-nya di mimpi gue? Semakin lama tusukan-tusukan di pantat gue benar-benar nyata, walaupun tidak pernah tepat mengenai belahan pantat gue tapi gue ngeri  akan bernasib sama seperti siswa di JIS.

Padahal jaman gue dulu kuliah, kasus JIS belum ada... ini biar ceritanya keliatan moderen dan gue gak keliatan tua-tua amat aja sih.

Tusukan benda tumpul itu semakin kencang, semakin tajam mengincar belahan pantat gue hingga akhirnya gue tersentak karena tak sanggup berpura-pura lagi. Setelah gue membuka mata, ternyata itu perbuatan Fatur yang mencoba membangunkan gue dengan sebatang sapu, usaha yang gigih dan brilian... dan gue menyerah karena gak bisa mengelak dari jurus tusukan-sapu-tidak-tepat-mengenai-belahan-pantat.

Muke gile banget deh, perjuangan buat minta dibukain pintu sampai nusuk-nusuk pantat temennya sendiri dari jendela dengan menggunakan benda tumpul, untung gue cepet menyerah.

“KAMPRET LO TUR! GANGGUIN ORANG TIDUR AJA!” Gue mulai emosi karena merasa terusik.

“Sori... sori... lagian kenapa kuncinya gak ditinggal di jendela aja sih,” Fatur membela diri.

“LAGIAN KENAPA BISA SAMPE GAK KENA-KENA SIH NGINCER BELAHAN PANTAT GUE, AH ELO TUH YA, GAK JAGO JADI COWOK!” Emosi gue yang ini kayaknya rada-rada gaje.
Malam itu mau gak mau akhirnya gue harus bangun, bukain pintu buat Fatur, gue merasa kayak istri yang ditinggal suami berangkat kerja pulang malem. Waktu masuk kamar, gue melihat Ganggo yang lagi asik tertidur lelap, dalam hati gue menggumam, “Elo beruntung Nggo, posisi tidur lo gak terjangkau sama jurus sapu dari Fatur”

Karena merasa hidup ini gak adil, sebelum melanjutkan tidur gue sempatkan diri untuk mengupil dan meperin upil gue di tetek Ganggo yang kebetulan malam itu tidurnya enggak pakai baju.

Peristiwa ‘pintu’ yang enggak ada manis-manisnya dan sering bikin gue jengkel. setelah diingat-ingat lagi, ternyata malah bikin gue jadi kangen sama saat-saat itu. Saat-saat masih hidup dengan segala  kengenesan anak kos. Apalagi tusukan-tusukan sapu liar Fatur malam itu, ah... gue kangen sensasinya.

sumber gambar: disinilah

Senin, April 21, 2014

Acara Tivi di Malam Hari yang Bikin Gue Eneg

April 21, 2014



Akhir-akhir ini gue males banget yang namanya nonton tivi di malam hari, apalagi... kalau tivinya enggak dinyalain. Iya, ngapain juga gue nontonin tivi yang enggak nyala. Walaupun begitu, bukan berarti kalau gue nyalain tivi terus nontonin acaranya gue jadi enggak bosen. Itu salah, salah besar. Besarnya melebihi cintaku padamu. Halah...

Televisi buat gue sekarang bukanlah prioritas utama ketika gue harus bersiap untuk menyambut datangnya malam. Televisi udah enggak menarik lagi di mata gue, ketika seharusnya gue bisa terhibur nonton televisi sambil tiduran unyu sambil sesekali nempelin upil ke tembok. Sekarang yang ada malah gue jadi emosi sendiri sampai banting-banting upil gue ke lantai, abis itu gue injek-injek. Walaupun beberapa saat kemudian gue pungut lagi, soalnya kalau dipikir-pikir sayang juga kalau upil dibuang-buang.

Sebenarnya gue emosi nonton tivi bukannya tanpa alasan, tapi justru sangat beralasan. Yap, acara tivi di malam hari itu benar-benar udah enggak ada unsur hiburannya menurut gue. Apalagi acara tivi yang diputer abis maghrib, uuuh...  kebanyakan bikin eneg. 

Iya, gue punya beberapa daftar acara televisi yang menurut gue ‘enggak banget’. Dan ini dia acara-acara tivi yang bikin gue eneg tiap malem. Bikin gue menutup mata pakai pembalut. Yang ada sayapnya. 

Dangdut Academy
Ini adalah acara maha enggak penting menurut gue! Sumpah, demi Ustadz Hariri yang katanya pernah nunjukin titinya ke Cinta Penelope. Gue benar-benar tersiksa kalau liat acara ini, jangankan liat... denger suaranya aja bawaannya pengen buru-buru pindah kewarganegaraan guenya. 


Dangdut Academy ini semacam ajang pencarian bakat kayak Indonesian Idol versi Dangdut. Dan yang bikin gue eneg kalian tau apa? Iya.. kalian enggak tahu. Makanya gue mau kasih tau, Dangdut Academy ini, setelah satu finalis selesai nyanyi, juri yang ngomentarin ada lima, iya.. LIMA BIJI! Kenapa enggak sekalian aja timnas U-19 suruh ngomentarin satu-satu, dan yang bikin lebih kesel lagi, satu penyanyi tampil, para juri komentarin penampilan pesertanya bisa sampai setengah jam lebih. Hanya untuk satu penyanyi! Gak heran kalau acara ini mulai abis maghrib selesainya sampai jam 12 malem! Gue lebih ngebayangin gimana perasaan peserta yang berdiri setengah jam lebih di atas panggung.

Gue juga super eneg sama juri yang namanya Saipul Jamil, iya... ini duda kalau komentar  sukanya sok perfect, belagu banget ngerasa dirinya paling bener, walaupun empat juri lain bilangnya si penyanyi udah keren, gak ada yang parah. Si Saipul Jamil ini masih aja nyari-nyari salahnya, ngotot, enggak penting dibahas mulu, belum ntar MC-nya yang biasa dipanggil D’ Teronk, ada Ramzi, Rina Nose sama Irfan Hakim, tiap juri komentar disela mulu, waktu setengah jam habis cuma buat dengerin juri ngasih komentar sama guyonan MC-nya yang enggak penting, padahal nyanyinya enggak ada lima menit. Ini sih bukan kontes dangdut namanya, ini kontes juri dangdut!

Masih ada yang bikin enggak penting lagi, ada Ivan Gunawan ikutan jadi juri. Ngomentarin cara berpakaian para finalis, iya.. cara berpakaian para finalisnya satu-satu dikomentarin. Jadi ini kontes dangdut apa kontes peragaan busana? Percuma juga kan dikomentarin, lha wong besoknya pakaiannya juga ganti.

Oke, mungkin kalian berpikir, keliatannya gue kok hafal banget ya? Jelas aja... tiap malem bokap gue selalu menguasai remot tipi di rumah gue, itu sebabnya kadang-kadang mau gak mau gue mesti dengerin obrolan gak penting di dangdut academy. 

Ye Ka Es
Gue masih enggak habis pikir sama orang-orang yang masih aja hobi nonton Ye Ka eS, entah apa yang mereka harapkan dari tontonan enggak mendidik ini. Mungkin remaja-remaja galau di luar sana, menganggap Yuk Keep Smile ini bisa jadi obat galau? Kalau gitu bisa-bisa nanti ini acara malah jadinya bukan Yuk Keep Smile tapi Yuk Keep Cmungudh... 

Beberapa waktu yang lalu, gue  denger-denger acara OVJ di Trans7 dipindahin jam tayangnya karena kalah saing sama acara Ye Ka eS ini. Daripada kehilangan penonton dalam jumlah banyak, mengganti jadwal tayang OVJ jadi pilihan paling bijak. Lah gue, kesannya jadi aneh aja nonton OVJ pas mau maghriban. 

 Goyangan yang enggak ada maknanya dan akhirnya goyangan ini pun dilarang

Keajaiban Ye Ka eS ini masih berlanjut saat munculnya sebuah petisi untuk menghentikan tayangan Ye Ka eS yang jumlah dukungannya sampai puluhan ribu, gue lupa tepatnya berapa. Dan... ternyata petisi itu enggak ada artinya. YeKa eS tetap tayang tanpa beban...

Mulai tayang setengah tujuh sampai jam sebelas malem belum kelar juga ini acara. Nontonin goyangan-goyangan mulu yang diulang-ulang, ditambah mesti ngeliat bercandaan yang enggak cerdas, omongannya gak diatur, apalagi kalau ada Olga. Bener-bener acara yang sangat-sangat enggak banget buat gue. Asli, kalau bisa gue lebih milih nonton Pendekar Yoko sama Bibi Lung daripada ini acara.

Saking enegnya sama acara ini, bahkan pas ada Cherrybelle jadi bintang tamu pun gue enggak sudi buat nonton. Bukannya gue enggak sayang Ryn Chibi, bukan. Gue cuma enggak sampai hati aja, ngeliat Cherrybelle yang unyu-unyu mesti tampil di acara yang enggak mendidik sama sekali. Alasan keduanya gue gak nonton, tentu saja karena remot tivi di rumah dikuasai bokap gue.

 Tukang Bubur Naik Haji
Dari jaman ban becak vulkanisiran harganya lima ribu sampe sekarang dua puluh ribuan, ini sinetron masih belum nunjukin tanda-tanda mau tamat. Gaje abis, ceritanya tentang apaan aja kagak jelas, judulnya sih tukang bubur naik haji, cerita awalnya mulai dari tukang buburnya ngumpulin duit buat naik haji sampai pulang dari naik haji, sampai akhirnya haji sulam naik haji, terus meninggal di tanah suci, ini pilem enggak tamat-tamat juga. 

Mau nyeritain apa lagi sih sebenernya?!


Dulu waktu Haji Sulam masih ngilang enggak ada kabar, gue sempat gelisah nungguin kabarnya, gue senantiasa duduk manis nonton sinetron ini, gue khawatir.. bahkan gue sampai nangis, gue ngelap airmata gue pakai tisu, dan belakangan gue baru sadar yang gue ambil itu pembalut. Tapi udah terlanjur, karena gue pikir pembalut juga bisa nyerap bocor, jadilah malam itu air mata gue diserap sama pembalut. 

Gara-gara Haji Sulam yang enggak nongol-nongol, gue jadi sempet kepikiran buat ikutan acara termehek-mehek buat nyari di mana keberadaan Haji Sulam, saking cemasnya. 

Seharusnya sutradara sinetron ini bisa cerdas dikit, kalau Haji Sulam waktu itu enggak nongol-nongol, tamatin aja sinetronnya. Ganti, tukang gali kubur naik haji, tukang tambal ban naik haji, atau tukang becak yang ban belakangnya vulkanisiran naik haji, juga bisa. Iyalah.. jangan tukang bubur mulu yang dinaikin haji, tukang-tukang yang lainnya kan juga pengen naik haji.

Atau mungkin, bisa juga dibikin sinema tukang spesial valentine, judulnya Tukang PHP naik haji. Ceritanya tentang tukang PHP pergi naik haji, pas mau thawaf mati keinjek onta, tamat.

Gara-gara cerita yang semakin enggak jelas dan enggak bermartabat, gue jadi males sama ini sinetron. HOEG! Kayaknya ke-eneg-an gue bakalan bertahan lama, bahkan masih sangat lama. Gimana enggak? Sinetron tukang bubur naik haji kemarin baru dapet penghargaan Panasonic Award. Dan itu artinya, ini sinetron digemari, banyak yang suka, walaupun mungkin tim tukang bubur naik haji sendiri yang kirimin ribuan sms buat dukung sinetronnya sendiri. Tapi intinya, udah dapet piala, jelas bakalan makin lama lagi episodenya... 

Sebenernya menurut gue ini malah bikin ajang panasonic award jadi enggak prestise lagi, lah.. yang menang aja enggak mutu gitu.

Raden Kian Santang
Cerita ini tentang anak kecil yang pinter ilmu kanuragan, entah gue yang sudah lemah dalam berimajinasi atau apa, tapi menurut gue anak sekecil itu yang pipis aja belum bisa lurus, e’ek aja ceboknya masih diusapi-usapin ke tembok, gue gak bisa berpikir realistis. Itu aneh. 

Di sinetron ini, Kian Santang jadi ajaib bener. Gue pernah nonton salah satu episodenya, anak ini ngeluarin busur panah ngelawan siluman harimau,  (siluman harimaunya pake gambar tiga dimensi tapi versi gagal). Baru ngeluarin busur panah aja, suaranya udah kenceng banget, siluman harimaunya panik, kemudian berteriak minta ampun. Sakti banget kan? Sun Go Kong aja enggak segampang itu kalau ngelawan siluman.
Dan gue masih berpikir dengan serius gimana sejarahnya busur panah bisa ngeluarin suara yang memekakkan telinga... siluman harimau.


Katanya gak suka? Kok elo nonton Dotz? 

Iya, kejadiannya gak sengaja, waktu itu gue lagi makan depan tivi, bapak gue lagi nyetel ini acara, sambil nungguin iklan di Indosiar kelar. Ajaib bener dah tontonan bapak gue.

Setelah Indosiar terbebas dari acara naga-naga terbangnya, sekarang giliran MNC yang meneruskan tren peninggalan indosiar, walaupun sinetron ini mengangkat budaya jaman dulu pada jaman kerajaan. Tapi tetap aja, konsep ini enggak bisa membuat gue tertarik untuk nonton sinetronnya.

Gara-gara acara tivi yang kebanyakan gak jelas gitu, gue jadi patah hati sama acara  televisi kalau malem, mau nonton TvOne? Ngapain.. bosen gue nonton berita mulu, lagian seterdepan-terdepannya mengabarkan, TvOne enggak bakal mengabarkan berita Aburizal Bakrie yang memeluk unyu boneka beruang.

Hikmah yang bisa diambil dari peristiwa ba’da maghrib ini adalah bahwa waktu gue buat belajar memasak jadi lebih banyak karena minat gue buat nonton tivi hampir gak ada sama sekali. Gue hanya bisa berharap semoga suatu saat nanti akan  tiba masanya acara tivi jadi seindah saat gue masih unyu dahulu. 

Oh Tuhan, mungkinkah itu semua akan terjadi?

sumber gambar: google.com



Minggu, April 13, 2014

Bro...

April 13, 2014
 
Gue punya teman, dia laki-laki, berakhlak mulia, kerjaannya sembahyang, mengaji dan yang lebih penting dia bukan teman tapi mesra gue.

Teman gue yang satu ini termasuk ke dalam kategori cowok ganteng, sangat jauh berbeda dibandingkan dengan gue, sama-sama cowok, tapi sangat jarang dibilang ganteng, kalaupun ada itu artinya mereka fitnah. Dan kalian tahu fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, itu artinya lebih sadis ngomong gue ganteng daripada bunuh membunuh.
 
Dilihat dari struktur wajahnya yang enggak bikin eneg dipandang lama-lama dan juga dari segi lingkar kepalanya yang seimbang, seharusnya temen gue itu tidak perlu kesulitan mencari yang namanya cewek. Buat dijadiin pacar, buat dijadiin pelita hati, juga buat dijadiin alasan kalau pengin ngerasain galau. Tapi satu hal yang bikin gue geleng-geleng adalah sisi historis temen gue ini enggak keren sama sekali, karena dari lahir sampai usianya yang sekarang, dia belum punya pacar. Iya, jelas sekali dia belum pernah ngerasain dapet perhatian, belum pernah ngerasain diucapin 'met bobog' sama pelita hati, bahkan mungkin sekedar diingetin 'jangan lupa makan' pun belum pernah. Kalah sama gue yang gantengnya enggak seberapa.

Sebenernya bukan hal itu yang pengin gue ceritakan pada kesempatan kali ini, tapi lebih kepada sebuah persoalan, kenapa dia bisa jomblo begitu lama? Apa yang membuat cewek-cewek tidak tertarik sama dia?

Hmmm... sebut saja teman gue namanya Nasro. Teman dari kecil, teman dari balita. Iya, sama aja.. kecil sama balita. Mulai dari TK, SD, SMP sampai SMA gue selalu satu sekolah sama Nasro, saat gue udah ngerasain ditolak sepuluh kali sama cewek, Nasro belum pernah ditolak karena emang Nasro enggak pernah nembak cewek sama sekali. saat itu gue berpikir kalau Nasro adalah homo, tapi dugaan gue salah karena Nasro enggak bergairah tiap deket sama gue.

Dari sekian banyak kemungkinan tentang kisah asmara Nasro yang mungkin disimpannya sendirian, atau mungkin juga hanya diungkapkannya lewat coretan-coretan di tembok. Nasro tidak pernah kelihatan dekat dengan cewek. Sampai di sini gue masih belum menemukan titik terang alasan Nasro enggak laku-laku.

Pertanyaan itu terus tersimpan selama bertahun-tahun dalam sanubari gue.

Sampai akhirnya, setelah kami menempuh kuliah di kampus pilihan masing-masing, kami berpisah cukup lama karena kesibukan masing-masing. Pada suatu sore yang cukup mendung, Nasro main ke rumah gue, kebetulan waktu itu gue memang lagi pulang ke Pemalang. Layaknya seorang kawan yang sangat lama tidak bertemu, mungkin sore ini adalah saat yang tepat untuk berbagi cerita tentang pengalaman di kampus masing-masing dengan dibumbui kebanggaan dan pamer tentang indahnya masa-masa kuliah. 

Sore itu, Nasro lebih banyak mendominasi percakapan, mulai dari skripsinya yang begitu lambat, tentang temannya yang enggak mau bantuin skripsinya, tentang pertemuannya dengan teman-teman waktu SD, tentang dosen pembimbingnya yang sampai diganti tiga kali. Entah kenapa, yang terakhir tadi bukannya ikut prihatin gue malah ngakak ngedengernya. Sekitar dua jam lamanya, Nasro tak lelah bercerita, gue bener-bener jadi pendengar yang baik sore itu. Seandainya Nasro itu homo, harusnya sore itu dia udah mulai melirik gue karena gue ini tipe pendengar yang baik. Tapi ternyata tidak. Nasro tidak menunjukkan ketertarikannya pada gue. Gue sendiri enggak terlalu merasa kecewa karena gue bukanlah homo. Gue hanya khawatir, jangan-jangan para kaum homo pun enggak tertarik sama wajah gue yang kusam ini. Apalagi cewek?

Pertemuan sore itu harus berakhir saat adzan maghrib mulai terdengar syahdu. Entah kenapa, waktu terasa lama sekali bagi gue, padahal seharusnya jika gue menikmati pertemuan sore itu gue menganggap waktu begitu cepat berputar. Tapi ini enggak...

Beberapa bulan kemudian, saat skripsi gue mendekati titik akhir dan gue punya waktu yang lumayan buat refreshing di rumah. Nasro kembali main ke rumah gue, karena kuliahnya memang tidak jauh, dan dia enggak ngekos jadi bisa selalu stand by di rumah. kami saling bercerita tentang kehidupan kampus masing-masing. Mmm.. bentar, bentar, mungkin lebih tepatnya kalau Nasro yang bercerita sore itu, waktu dua jam sore itu gue habiskan hanya untuk mendengarkan cerita Nasro yang gak ada menarik-nariknya sama sekali. Karena apa? Karena ceritanya enggak ada bedanya sama apa yang diceritain waktu pertama ketemu.

Cerita tentang skripsinya yang begitu lambat, tentang temannya yang enggak mau bantuin skripsinya, tentang pertemuannya dengan teman-teman waktu SD, tentang dosen pembimbingnya yang sampai diganti tiga kali. Diulang lagi dengan gemilang di hadapan gue, meja dan kursi di ruang tamu rumah gue yang jadi saksi. Gue bener-bener jenuh banget, ditambah gue enggak dikasih kesempatan buat ngomong. Gue sadar, kalau gue mulai lelah dengan semua ini...

Percakapan sore itu pun lagi-lagi harus berakhir karena adzan maghrib. Entah kenapa, gue bahagia sekali menyambut datangnya adzan maghrib, padahal saat itu bukan bulan puasa. Mungkin itu karena sama saja artinya tiba waktunya buat Nasro untuk pulang.

Beberapa bulan kemudian, gue akhirnya wisuda... gue pun bahagia. Tak lupa gue update status ngucapin good bye sama skripsi. Yang nge-like ada tiga loh, gue makin bahagia, gak lupa gue komentarin status itu dengan ucapan, “Makasih ya, udah like.”

Setelah seminggu lebih lamanya gue menyegarkan pikiran dari penatnya masa-masa skripsi. Di suatu sore yang cerah. Gue kedatangan tamu, sesosok laki-laki yang sudah sangat gue kenal. Iya, Nasro.. datang lagi ke rumah gue.

Setelah gue kasih teh gelas buat pantes-pantes aja. Nasro mulai membuka percakapan, sebuah percakapan yang sangat tidak asing buat gue. Awalnya gue berpikir ini adalah deja vu, gue merasa pernah mengalami saat-saat seperti ini, namun seketika gue tersadar... ini bukan deja vu. Ini emang si Nasronya aja yang ceritanya masih itu-itu aja. 

Cerita tentang skripsinya yang begitu lambat, tentang temannya yang enggak mau bantuin skripsinya, tentang pertemuannya dengan teman-teman waktu SD, tentang dosen pembimbingnya yang sampai diganti tiga kali. Seakan Nasro baru pertama kali menceritakan hal ini pada gue.

Sumpah... sore itu, gue resmi ilfil sama Nasro. Benar-benar perbincangan yang sangat-sangat tidak menarik. Gue enggak bisa ngebayangin seandainya gue ketemu tiap hari sama Nasro, bisa-bisa gue tergeletak pasrah dengan kondisi telinga mengeluarkan ambeyen saking jenuhnya dengan cerita yang selalu sama setiap harinya.


Memang gue punya hak buat menyela dengan mengatakan, “Sro, elo kan kemarin udah cerita masalah ini, ngapain cerita lagi?!” sayangnya, gue enggak pernah sampai hati buat mengatakan hal itu.

Nasro bercerita dengan sangat antusias sore itu, bahkan dialognya dengan dosen pun dia tirukan walaupun enggak mirip dan enggak menarik, tapi Nasro pede. 

Kalian bisa menerka-nerka sendiri, gimana rasanya ketemu teman yang diomongin ituuuuu muluuu... seakan dari dulu sampai sekarang hidupnya monoton banget, enggak ada update-an kisah terbarunya di kampus, di jalanan, di rumah, di akademi fantasi.

Gue sempat mencoba mengumpulkan keberanian gue untuk mengungkapkan kejujuran yang sebenarnya, gue pengin deketin dia, gue tatap matanya, gue tepuk pundaknya sambil berkata, “Bro......”, selanjutnya biarkan mata yang berbicara karena gue enggak sampai hati buat ngomong. Tapi tetap saja, gue beneran enggak berani. Gue takut hatinya terluka.

Gue jadi ingat di salah satu ceritanya, dia pernah ngobrol-ngobrol santai sama cewek, terus ceweknya bilang, “Sro... elo kok jadi cowok cerewet banget sih?!”, Nasro sempat mengelak pada sang cewek, merasa dirinya tidak cerewet. Tentu saja kisah pembelaannya itu juga membutuhkan waktu yang panjang.

Gue enggak merespon apa-apa saat Nasro cerita tentang itu, selain karena ceritanya enggak menarik, gue males kalau dari respon sederhana gue, Nasro bakalan melanjutkan cerita yang enggak menariknya itu sampai dua jam ke depan.

Tapi setelah gue pikir-pikir, dari cerita yang gue denger tentang cewek yang ngatain Nasro itu cerewet, mungkin itu adalah sebuah kalimat sederhana yang mewakili perasaan para cewek lainnya dan mungkin juga perasaan gue serta temen-temen cowok lainnya. Nasro, cowok berisik, cowok yang enggak menarik sama sekali. Apa jadinya kalau cowok lebih berisik daripada cewek? Cewek biasanya suka sama cowok tipe pendengar yang baik. Untuk hal ini, Nasro benar-benar gagal.

Beberapa hari kemudian, saat kemarin gue ngadain acara meet & greet atau bisa juga dibilang talkshow di Pemalang barengan sama acara pameran buku. Malam itu, selesai acara gue ngobrol sama temen-temen sekolah gue. Saat gue menyinggung masalah Nasro, ternyata temen gue juga ikut mengalami hal yang sama. Dicurhatin hal yang itu-itu mulu, tanpa diberi kesempatan untuk berbagi cerita. 

Gue cuma bisa berdo’a semoga suatu saat nanti, akan ada cewek yang selalu khusyu’ menyimak cerita-cerita Nasro, yang bisa benar-benar ikhlas lahir batin dan setia menemani untuk mendengar celotehan Nasro yang selalu sama, yang selalu mendominasi pembicaraan. Amin.

Minggu, April 06, 2014

Hal-hal yang Membuat Hari Minggu jadi Menyebalkan

April 06, 2014
Waktu gue kecil, hari Minggu adalah hari yang selalu gue nantikan, bahkan lebih gue nanti-nantikan dari hari apapun, termasuk hari Sabtu yang malamnya berubah istilah jadi malam minggu bagi para penjahat kelamin dan sabtu malam bagi sekte para penyembah sandal jepit. 

Gue sih gak ambil pusing, selain karena malam minggu menurut gue bukan malam yang spesial apalagi malam yang panjang, juga karena emang gak ada hal keren yang bisa gue lakukan di malam minggu, seandainya gue diklasifikasikan ke salah satu kategori tersebut, mungkin gue bakalan jadi bendahara sekte penyembah sandal jepit buat ngurusin sumbangan yang masuk, karena memang gue bukan penjahat kelamin yang suka jahatin kelamin setiap insan manusia di dunia ini. 

Gue enggak mau ambil pusing dengan peristiwa yang senantiasa hadir seminggu sekali ini. Terserah dengan malam minggu atau sabtu malam, gue sih gak oke, gak tau kalau Mas Anang. Hal ini beda banget ketika hari Minggu telah tiba, hari di mana ketika gue dimanjakan dengan stasiun-stasiun televisi swasta yang berlomba-lomba nayangin film kartun dari pagi sampai siang. Tahu gak? Ini tuh so sweet banget tauk... Gue jadi serasa hidup di negeri dongeng, hari Minggu terasa bener-bener indah. Tapi, ya... Sudah jadi rahasia umum. Kalau semua keindahan itu kini telah punah.  

Oke.. Gue bukan mau ngebahas kartun-kartun yang (pernah) tayang di hari Minggu. Hal itu kayaknya udah terlalu mainstream banget dan udah banyak juga blogger yang ngebahas hal ini. Jadi, gue mau ngebahas hari Minggunya aja. Lebih jelasnya, membahas hal-hal menyebalkan yang sering terjadi di hari Minggu, yang telah merenggut kebahagiaan gue saat sedang menikmati indahnya kisah kasih sama hari Minggu.


Listrik Mati


Jaman gue kecil dulu, film kartun adalah segala-galanya. Kelewatan satu episode aja gue bisa nangis seminggu penuh saking nyeselnya, saking nyeseknya. Bahkan ingin rasanya hati ini menjerit, namun apa daya gue tak sampai hati melakukannya.

Gue paling sebel mati listrik. Hal ini bener-bener menjengkelkan, bikin gue enggak bisa berkutik apa-apa, hati gue bener-bener perih. Disaat keinginan nonton kartun udah teramat sangat, listrik mati menghancurkan segala angan-angan indah gue. Enggak ada yang bisa gue lakukan untuk hal yang satu ini. Gue hanya bisa terkejut memanja. Pengin nangis tapi percuma, karena ini enggak akan merubah listrik yang mati jadi nyala. Mau nyalain generator, enggak punya, mau nyalain lilin juga percuma, enggak bikin tivi jadi nyala. Gue cuma bisa nyakar-nyakar tembok aja ngeliatin layar tivi warna item di depan mata.

Ada Tontonan Tinju


Gue pernah enggak sabar maksimal nungguin episode selanjutnya Dragon Ball dengan teramat sangat saking penasarannya sama kelanjutan ceritanya. Seminggu penuh nafas gue tersengal-sengal begitu penginnya cepet-cepet ngeliat kelanjutan episode Dragon Ball. Dan ketika hari minggu telah tiba, waktu menunjukkan pukul 9 pagi, gue udah cengar cengir bahagia. Pada akhirnya gue hanya bisa gigitin remot tipi ketika yang muncul bukannya Dragon Ball justru dua komentator yang tanpa rasa bersalah muncul dengan gayanya yang sok akrab menyapa penonton yang ada di rumah. Dia tidak tahu, bahwa kehadirannya pagi itu telah membuat puluhan bahkan ratusan atau mungkin ribuan anak-anak patah hati dengan sempurna karena tidak bisa menonton kartun kesayangannya. Anjrit!
 
Episode Diulang


Udah sepenuh hati nungguin hari Minggu buat nonton kelanjutan cerita kartun favorit, bahkan saking semangatnya sampai ikutan nyanyi soundtrack lagu pembukanya, begitu mulai tayang, eh...  ternyata episodenya sama kayak minggu kemarin! Kampret banget nih yang ini... Nungguin Minggu depannya lagi masih lama! Rasanya pengin banget mundur sepuluh meter kemudian lari sekencang mungkin ke arah televisi, begitu jarak udah tinggal semeter, lompat sekuat tenaga buat nyundul tipinya. 

Tivi  rusak


Namanya musibah emang siapa yang tahu, gue pernah waktu sepulang sekolah, belum sempat ganti baju langsung duduk manis depan tivi megang remot dengan kondisi wajah keringetan dan terlihat nista. Begitu gue pencet tombol power, tivi menyala sesaat kemudian gelap menyelimuti, dan hanya tersisa seberkas garis putih di tengah layar tivi. Perasaan gue gak enak, ingin rasanya hati ini menangis ketika pikiran-pikiran negatif menguasai hati kalau tivi di rumah sepertinya rusak. Kenapa gue pengin nangis? Karena waktu itu kejadiannya hari Sabtu, dan besoknya Minggu. Gak mungkin juga kalau saat itu tivi bisa langsung dibenerin, bokap gue bukan lulusan STM, Ibu gue bukan lulusan madrasah. Mau gak mau, gue mesti nunggu waktu luang buat bawa tivi ke salon elektronik. Endingnya udah jelas hal itu butuh waktu beberapa hari. Besoknya, gue melewati hari Minggu dengan pukul-pukul tembok seharian karena enggak bisa menerima kenyataan yang ada.

Disuruh Bersih-bersih rumah


Keluarga gue tergolong keluarga yang mood-mood’an, kadang kayak keluarga Cemara yang bersahaja kadang malah kayak keluarga cemungudh yang tak pernah terlihat lelah. Kalau lagi pengin santai, maka seisi rumah akan bersantai, tapi kalau abis kesambet tentara jaman kemerdekaan, jam tujuh pagi seluruh penghuni rumah dikerahkan buat melakukan tugas mulia, bersih-bersih rumah masal di bawah komando ibu rumah tangga selaku pimpinan tertinggi di rumah gue. Maka ketika titah sudah diturunkan, gak ada yang berani melawan. Semuanya punya tugas masing-masing, bersih-bersih kamar mandi, nyapu, ngepel, ngupil sampai beresin ruang dapur semuanya dilakukan secara serentak. Tidak ada peluang agar bisa melakukannya sambil menonton tivi, soalnya ibu rumah tangga tak ketinggalan bersabda, “Barangsiapa melakukan pekerjaan pagi ini (hari Minggu) hendaknya jangan menyalakan televisi. Fokuslah ke pekerjaan masing-masing!” Setelah kerja paksa tersebut udah selesai, biasanya gue nangis sambil keramas gara-gara enggak bisa nonton kartun.


Nah, memang hal-hal yang gue sebutkan di atas sering datang silih berganti merusak kebahagiaan gue di hari Minggu. Seringnya gue jadi sedih dan menganggap dunia ini tidak adil, bagaimana tidak? Hari Minggu adalah hari di mana anak-anak unyu menikmati kemerdekaannya dari pedihnya rutinitas sekolah. Lalu dengan santainya gue malah dibuat patah hati saat hari Minggu tiba karena ada salah satu hal di atas yang datang menerpa gue. Mengusik kenyamanan gue. 

Walaupun sampai sekarang gue masih bisa bertemu dengan hari Minggu, tapi gue rasa hari Minggu yang sekarang enggak akan pernah sama dengan hari Minggu yang gue miliki waktu dulu. Hari Minggu yang sempurna dengan pilihan kartun yang melimpah ruah, beda dengan sekarang di mana acara kartun di televisi terlihat gersang. Bahkan ada stasiun televisi yang di hari Minggunya dari subuh sampai jam dua belas malem enggak nayangin kartun sama sekali. Ini tivi kampret namanya, ngajak berantem banget.

Btw, kalian sendiri ada pengalaman nyebelin yang bikin hari Minggunya enggak menggairahkan?

sumber gambar:
http://huseinalhaddar.blogspot.com/2013/10/doraemona-pra-model-observasi-indonesia.html
http://4.bp.blogspot.com/_MGTh0c1ST0A/TCiTQHbVu9I/AAAAAAAAAMo/MswmU3VsFaQ/s1600/dgdgd.jpg

About Us

DiaryTeacher Keder

Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.




Random

randomposts