Semua Karena Pintu (Jangan Tusuk Aku dari Belakang)
Edot Herjunot
Mei 01, 2014
Dulu.. waktu masih kuliah gue hidup bahagia berteman dengan sekumpulan lelaki yang tak pandai menjahit dan juga tak pandai mengenakan mukena, kami bermukim di sebuah bangunan yang dinamakan Tugiran Community. Bagi yang udah pernah baca buku gue Cancut Marut, kalian pasti tau apa itu Tugiran Community. Dan bagi yang belum tau, kalian harus tau.. jadi gue jelaskan sedikit, bahwa Tugiran Community adalah sebuah rumah singgah biasa tanpa keistimewaan apa-apa, hanya sepotong rumah yang ada pintunya, ada jendelanya, dan juga ada kotoran manusianya (beberapa saat kemudian lenyap disiram oleh pembuangnya) yang datang silih berganti.
Temen-temen gue namanya : Pandik, Surya, Ganggo, Fatur, unyil dan satunya lagi pensiun di tengah jalan, jadi mungkin gak usah disebutkan namanya.
Kami hidup rukun, jadi tidak pernah ada yang mengeluh pegal-pegal di pantat sehabis bangun tidur, juga tidak ada yang mengeluh diameter teteknya berkurang beberapa centimeter. Kadang disaat salah satu dari kami sekarat karena pengaruh akhir bulan, seseorang lainnya rela memberikan kuah mie instannya untuk menyelamatkan temannya dari gejala busung lapar.
Melihat keharmonisan hubungan tersebut, sepertinya terlalu mustahil bagi gue dan teman-teman untuk mericuhkan hal-hal yang tidak perlu. Kami senantiasa bersama dan saling memaklumi, kami hidup bahagia layaknya keluarga cemara, hanya saja setiap hendak berangkat kuliah kami tidak pernah berpamitan sampai cium tangan segala kepada penghuni lainnya.
Namun dari semua keindahan itu, ada satu hal yang sanggup mengusik kebersamaan kami, semua itu terjadi jika kami sudah berurusan dengan yang namanya... pintu.
Pintu sering menjadi persoalan pelik dalam biduk rumah tangga kami sebagai anak kontrakan yang tidak mempunyai ibu pendamping di dalam rumah, ego yang terlalu tinggi dalam diri sering menimbulkan prasangka dan rasa tidak pengertian yang dalam.
Kasus yang pertama, terjadi pada suatu pagi, Pandik, salah satu penghuni Tugiran Community yang berbadan gempal menyerupai kentang yang belum dikupas kulitnya sedang asik melakukan rutinitasnya di kamar mandi. Rutinitas yang gue maksud di sini bukan revisi skripsi tapi mandi. Dan gue enggak tau, rutinitas itu dikategorikan ke dalam mandi wajib atau mandi bebek. Entahlah...
Saat kamar mandi terjadi keheningan mendalam dan entah apa yang dilakukan Pandik di kamar mandi, tiba-tiba sontak terdengar ketukan meyakinkan dari Fatur, penghuni Tugiran Community lainnya. “Dog... dog... dog...” Begitu bunyinya, memang tidak nyaring, tapi itu bukan bahasa inggrisnya anjing.
"Ndik! Cepetan mandinya! Gue ada kuliah jam 7 pagi! Lo ngapain aja di dalem sih!" Fatur mulai berdakwah dari luar kamar mandi.
Sementara itu tak ada jawaban dari dalam, entah apa yang terjadi.. kemungkinan pertama Pandik masih nanggung dengan aktivitasnya, dalam hal ini pun aktivitas yang dilakukan juga tak ada yang tahu, kemungkinan kedua Pandik sedang mencerna setiap butir demi butir hikmah dari dakwah Fatur di pagi hari.
Gue yang masih asik menyeruput marimas jeruk nipis anget hanya menatap heran melihat peristiwa pagi itu. Gue hanya takut, Fatur makin semangat berdakwah dan akhirnya nyundul pintu kamar mandi dengan kekuatan penuh yang didapatnya dari ketakutan terlambat berangkat kuliah.
Fatur mulai merongrong keras, kali ini enggak hanya bunyi ‘dog dog dog’ saja tapi juga bunyi ‘Dag... dag... dag...’ bunyi ‘dog’ dan ‘dag’ tidak bersaudara, bunyi ‘dag’ itu sebenarnya berasal dari kaki Fatur yang ikut menendang pintu kamar mandi, kalau saja Fatur lebih menjiwai menendang pintu kamar mandi dengan kaki mungilnya mungkin bunyi yang dihasilkan akan lebih harmonis lagi, seperti 'duck... duck... duck...', dan tolong dicatat itu bukan bahasa inggrisnya bebek.
Setengah jam kemudian kasus ini terselesaikan seiring keluarnya Pandik dari kamar mandi dengan hanya mengenakan celana dalamnya. Bagi kami yang semuanya laki-laki normal, bercelana dalam sehabis mandi di kontrakan adalah hal yang lazim.
Setelah pertikaian usai, tidak ada rasa dengki dan benci di dalam hati, mereka masih tetap saling menyapa di kemudian hari. Perebutan kamar mandi memang lazim terjadi di dalam rumah singgah kami. Namun, semua itu akan terlupa dan berganti lagi dengan tragedi lainnya.
Gue pernah menjadi korban ketidakpentingan atas perilaku Fatur dengan media pintu. Pernah suatu hari, sekitar pukul dua pagi, disaat gue terlelap unyu dengan dihiasi lampu kamar yang redup. Gue dikagetkan dengan suara pintu kamar gue dipukul-pukul. Iya, dipukul-pukul.. Kalau diketuk-ketuk sih masih mending. Gue penasaran banget, khawatir kalau ketukan pintu itu berasal dari seseorang yang mencurigakan.
Gue lebih takut, kalau gue buka pintu ternyata yang muncul sesosok lelaki utuh baya, (setelah melewati proses paruh baya) dia muncul dengan pakaian serba putih kemudian bilang, "Saya Prabowo Subianto, Pancasila adalah dasar negara Indonesia, bla... bla... bla..."
Gue harus jawab apa? Gak usah ngenalin diri juga gue kan udah tau, karena kemarin Prabowo baru aja ngenalin diri di iklan edisi hari nelayan.
Gue buang jauh pikiran itu, dengan mata yang luar biasa mengantuknya gue pun bangkit dari peraduan, memutar kunci dan melihat siapa yang ada di luar, ternyata Fatur...
Dengan penuh rasa santai tingkat tinggi, Fatur langsung nyerocos, "Dotz... Itu lauk yang di dalem magic com punya elo? Gue minta ya, gue laper banget sumpah! Ya dotz ya?"
"Ya!" Gue menutup pintu kembali.
Andai "Ya!" Yang gue ucapkan bisa terdengar layaknya balasan sms 'Y' harusnya Fatur bisa tahu kejengkelan gue. Betapa tidak pentingnya malem-malem bangunin orang tidur cuma buat minta lauk. Ya... minta lauk. Malem-malem. Sampai gedor-gedor pintu. Kenapa gak langsung makan aja sih? Fatur memang terlalu syariah, padahal sholat aja jarang-jarang.
Di kontrakan gue, Fatur memang identik dengan lelaki malam. Kerjaannya tiap hari begadang buat online, biasanya pukul empat pagi baru tidur, kalau ada kuliah pagi, setengah tujuh baru bangun buat dakwah di luar kamar mandi.
Gara-gara insiden ‘minta lauk’, ingin rasanya malam itu gue nyundul Fatur, tapi niat tersebut gue urungkan karena perut Fatur agak-agak sixpack, gue takut kepala gue retak.
Beberapa hari kemudian, fenomena pintu terulang kembali. Sudah menjadi rahasia umum kunci pintu di rumah Tugiran Community termasuk kunci yang elit, sengaja didesain biar gak bisa diduplikat. Di rumah kami hanya ada satu kunci, satunya lagi dipegang pemilik rumah.
Maka, dari enam orang penghuninya yang sah dimata agama, gak ada yang bawa kunci sendiri-sendiri, pokoknya tiap pergi kunci selalu ditaruh di bawah pot depan rumah atau diselipin di atas jendela. Ya, kami memang tidak kreatif dan tidak pandai berinovasi dalam menyimpan kunci.
Di suatu malam yang larut... saat portal di perumahan sudah tertutup rapat, saat semua insan cendekiawan tertidur lelap, salah satunya gue. Kenyamanan malam itu terusik dengan terdengarnya suara motor V-Ixion yang menderu-deru masuk ke halaman rumah. Karena kamar gue memang berada paling depan, gue jadi rentan terbangun kalau denger suara-suara yang cukup bising.
Gue udah tau kalau itu Fatur, suara motornya dan bau badannya sempurna untuk malam itu. Suara mesin motor mati, hening beberapa saat... kemudian gue mulai mendengar suara pintu diketuk-ketuk, bunyinya tidak nyaring. Karena memang udah malem Fatur takut ditombak sama tetangga kalo ribut, maklum namanya juga perumahan.
Sepuluh menit gak ada respon, Fatur mulai manggil-manggil nama gue dari jendela, sebenernya sih gue denger dengan jelas tapi gue males kalo harus bangun cuma sekedar bukain pintu buat Fatur. Dalam hati gue agak menyayangkan kenapa gue bisa lupa setelah mengunci pintu kuncinya enggak gue taruh di jendela.
Karena rasa mengantuk yang begitu tajam, gue mencoba untuk pura-pura tidak merespon, gue enggak peduli sama nasib Fatur yang ada di luar.
Fatur membuka jendela kamar gue kemudian melongok dan manggil-manggil nama gue tanpa syahdu, dalam hati gue menyesali kenapa gue harus lupa ngunci jendela, mentang-mentang jendela kamar gue ada terali besinya sehingga gue merasa aman.
Gue masih pake jurus pura-pura mati, gak bergerak dan gak menunjukan tanda-tanda kehidupan, ingin rasanya gue mimikri kayak yang biasa dilakuin bunglon biar Fatur gak bisa ngeliat gue.
Gue mendengar jendela ditutup... dan tak ada suara Fatur. Gue berpikir mungkin Fatur menyerah karena lelah, tapi ternyata dugaan gue salah.
Suara jendela terbuka terdengar lagi, Fatur manggil nama gue tanpa mesra sama sekali dan gue merasakan ada sesuatu yang menusuk-nusuk pantat gue. Plis... gue gak mau mimpi sedang bersekolah di JIS dan disodomi cleaning service, gue ngeri.
Sayup-sayup gue masih mendengar suara Fatur, oh... mimpi ini begitu nyata! Apakah Fatur jadi cleaning service-nya di mimpi gue? Semakin lama tusukan-tusukan di pantat gue benar-benar nyata, walaupun tidak pernah tepat mengenai belahan pantat gue tapi gue ngeri akan bernasib sama seperti siswa di JIS.
Padahal jaman gue dulu kuliah, kasus JIS belum ada... ini biar ceritanya keliatan moderen dan gue gak keliatan tua-tua amat aja sih.
Tusukan benda tumpul itu semakin kencang, semakin tajam mengincar belahan pantat gue hingga akhirnya gue tersentak karena tak sanggup berpura-pura lagi. Setelah gue membuka mata, ternyata itu perbuatan Fatur yang mencoba membangunkan gue dengan sebatang sapu, usaha yang gigih dan brilian... dan gue menyerah karena gak bisa mengelak dari jurus tusukan-sapu-tidak-tepat-mengenai-belahan-pantat.
Muke gile banget deh, perjuangan buat minta dibukain pintu sampai nusuk-nusuk pantat temennya sendiri dari jendela dengan menggunakan benda tumpul, untung gue cepet menyerah.
“KAMPRET LO TUR! GANGGUIN ORANG TIDUR AJA!” Gue mulai emosi karena merasa terusik.
“Sori... sori... lagian kenapa kuncinya gak ditinggal di jendela aja sih,” Fatur membela diri.
“LAGIAN KENAPA BISA SAMPE GAK KENA-KENA SIH NGINCER BELAHAN PANTAT GUE, AH ELO TUH YA, GAK JAGO JADI COWOK!” Emosi gue yang ini kayaknya rada-rada gaje.
Malam itu mau gak mau akhirnya gue harus bangun, bukain pintu buat Fatur, gue merasa kayak istri yang ditinggal suami berangkat kerja pulang malem. Waktu masuk kamar, gue melihat Ganggo yang lagi asik tertidur lelap, dalam hati gue menggumam, “Elo beruntung Nggo, posisi tidur lo gak terjangkau sama jurus sapu dari Fatur”
Karena merasa hidup ini gak adil, sebelum melanjutkan tidur gue sempatkan diri untuk mengupil dan meperin upil gue di tetek Ganggo yang kebetulan malam itu tidurnya enggak pakai baju.
Peristiwa ‘pintu’ yang enggak ada manis-manisnya dan sering bikin gue jengkel. setelah diingat-ingat lagi, ternyata malah bikin gue jadi kangen sama saat-saat itu. Saat-saat masih hidup dengan segala kengenesan anak kos. Apalagi tusukan-tusukan sapu liar Fatur malam itu, ah... gue kangen sensasinya.
sumber gambar: disinilah