Tampilkan postingan dengan label Piknik Panik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Piknik Panik. Tampilkan semua postingan

Jumat, Maret 26, 2021

Koar-Koar Naik Kora-Kora

Maret 26, 2021

Salah satu hal paling berkesan waktu saya masih SD adalah saat study tour ke Jakarta. Sebagai warga kota kecil yang nggak ada satu pun mall di kotanya, pergi ke ibukota adalah hal yang sangat uwooow bagi saya.


Zaman saya kelas enam SD sama sekali belum kenal yang namanya smartphone, kamera digital apalagi Duo Semangka. Makanya kalau ada momen seru nggak bisa langsung foto update di status WhatsApp apalagi Instastory.


Study tour kami berangkat nggak sepaket sama orangtua. Semua berangkat sendiri hanya didampingi guru, makanya peluang kehilangan sempak di penginapan lebih besar karena nggak ada yang telaten ngerapiin barang bawaan.


Seingat saya tujuan wisata waktu itu adalah Monas, Planetarium dan Dufan. Selama perjalanan tak henti-hentinya kami berdecak kagum melihat-lihat keramaian yang ada dari dalam bis. Mulai dari jembatan penyebrangan, gedung-gedung bertingkat, pusat belanja yang luas sekali sampai ketimpangan sosial semua ada di depan mata.


Perasaan kagum terlihat saat kami masuk di planetarium yang gelap kemudian mulai bermunculan sinar-sinar kecil seperti malam hari, lalu jadi seperti ada di luar angkasa dengan segala macam benda langitnya. Dalam hati nggak henti-hentinya saya mengagumi kecanggihan planetarium ini. 


Pas lagi asyik-asiknya mengagumi suasana planetarium, hanya jarak beberapa bangku dari tempat saya ada pasangan remaja yang lagi sibuk sendiri, entah mereka lagi apa karena lumayan gelap saya nggak tahu, tapi saya denger suara cruuup... cruppp... cruppp... terus menerus. Karena masih polos, saya mikirnya mereka lagi nyedot pop ice yang udah sisa es batunya.


Selama study tour, salah satu pengalaman yang paling nggak bisa dilupakan tuh waktu saya dan rombongan udah sampai di Dufan. Jiwa kampungan saya seketika bergejolak melihat wahana permainan yang luas sekali dan keren-keren banget.


Kalau biasanya kami cuma bisa lihat Dufan sekilas di tv dan gambar-gambar majalah bobo. Sekarang Dufan yang sebenarnya ada di depan mata.. rombongan SD kami semua berdecak kagum, tapi nggak ada yang sampai update instastory. 


Waktu itu karena belum kenal Youtube, internet bahkan HP. Saya bener-bener ‘buta’ sama wahana-wahana di Dufan ada apa aja, yang saya tahu hanya roller coaster yang melegenda itu. Saya cuma bisa memandangi dan mengambil keputusan sendiri kira-kira mau nyobain yang mana aja.


Berhubung ini pertama kalinya dan entah kapan lagi bisa kesini, saya dan dua teman saya, Rendi dan Yohanes sepakat untuk mencoba sebanyak-banyaknya permainan yang kita temui! Kami akan bermain sepuasnya di dunia fantasi ini! Kami akan menaklukkan wahana-wahana di Dufan ini!


Kami berjalan penuh semangat sambil tak henti-hentinya berdecak kagum. Dan wahana pertama yang membuat kami tertarik adalah kora-kora. Wahana berbentuk kapal yang digantung, nantinya bergerak seperti ayunan, naik turun. 


Wah.. kayaknya seru nih! Nggak seberbahaya roller coaster juga yang muter-muter kenceng banget di lintasan. Akhirnya saya, Rendi dan Yohanes sepakat untuk naik kora-kora ini sebagai wahana pertama yang akan kami coba. Kami sengaja memilih duduk di belakang biar lebih menantang. Posisinya bisa paling tinggi pas kapalnya lagi berayun hingga posisi lurus.


Setelah duduk, ada semacam pegangan besi yang turun sampai di atas paha fungsinya untuk menahan gerak kami. Lalu kora-kora mulai bergerak perlahan, suara pemandu dari speaker bergema menantang kami mau lebih kencang apa nggak. Yohanes dengan mantap ikutan teriak ‘LEBIH KENCANG! AYOOO! YUHUUUUY....’



Sementara saya, lagi-lagi terkagum-kagum menikmati ayunan kora-kora ini. Di depan saya pada ketawa-ketawa menikmati ayunan kora-kora yang santai ini. Tapi semakin lama, ayunan kora-kora ini bertambah kecepatannya dan mulai nggak santai lagi.


Karena duduk di belakang, otomatis posisi kami jadi paling tinggi. Dan ternyata pas ngeliat ke bawah, di lokasi bawah kapalnya itu kayak ada lubang gede berbentuk persegi. Mendadak saya jadi ngeri. Pikiran-pikiran buruk menguasai otak saya. Ini kalau kapal ayunannya lepas bisa nyusruk langsung nih. Ini kalau saya tiba-tiba terlepas dari tempat duduk bisa langsung terjun bebas nih.


Sementara itu teriakan-teriakan putus asa mulai terdengar dari bangku depan saya. Mereka menjerit minta udahan. Saya tetap berusaha tenang walaupun perut mulai bergejolak. Di sebelah saya, Yohanes udah teriak-teriak nggak karuan, “WOOOY! UDAAAAH UDAAAAH! TOLOOOONG BERENTI!!! TOLOOOONG!!!”


Rendi juga ikutan teriak memohon ampun minta ayunannya segera berhenti. Teriakan yang tentu saja percuma karena pemandu wahana ini sepertinya justru merasa puas melihat jeritan putus asa dari para penumpang kora-kora. 


Sementara saya, tetap diam, merasa nggak perlu melakukan hal yang percuma.


Yohanes mulai bertindak anarkis. Dia nendang-nendang kursi depan dengan kencang. Rendi mulai mukul-mukul bangku dengan penuh emosi. Sedangkan saya, masih tetap duduk tenang.


Entah berapa lama kami diayun-ayun naik turun dengan kecepatan bervariasi. Setelah berhenti, para penumpang langsung berjalan lunglai dan muntah-muntah. Yohanes malah udah muntah duluan di bajunya. Rendi mukanya merah banget kayak debt collector habis makan samyang.


Sementara saya, tertatih-tatih berusaha mengumpulkan tenaga biar bisa berjalan keluar dari area permainan. Yohanes dan Rendi langsung duduk terkapar, saya masih tetap tenang tanpa sepatah kata dan berjalan lurus meninggalkan mereka berdua.


Saya nengok kanan kiri mencari sesuatu yang saya harapkan bisa segera saya temui. Saya sempat ketemu sama guru yang nanyain kenapa kok saya jalan sendirian. Tapi saya merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaan basa-basi dari guru tadi.


Saya pun hanya senyum dan mengangguk lagi kembali celingukan. Sampai akhirnya, apa yang saya cari ketemu juga. Saya pun bergegas mendatangi tempat yang ada tulisannya ‘toilet’.


Dengan buru-buru saya masuk dan segera mencari ruang yang masih kosong. Begitu ketemu, saya masuk, mengunci pintu, nyalain keran lalu “HOEEEEEEEEEKKKKKHHH HOOEEEEEEEEKH.”


Saya mengambil nafas sesaat lalu, “HOOOOEGH HOOEEEEGH HOEEEEGGH.”


Saya muntah sebanyak-sebanyaknya lalu buru-buru nyiram muntahan saya yang bentukannya nggak karuan. Kepala saya mendadak rasanya berat banget. Setelah lelah muntah, kaki rasanya jadi lemes banget nggak karuan. Saya pun keluar toilet dan duduk terkapar sendirian.


Ternyata rasanya nggak enak banget nahan muntah yang udah keluar di mulut tapi mau dikeluarin nggak tega. Kalau saya memaksa muntah di atas kora-kora, kemungkinannya ada dua: pertama, orang yang duduk di depan saya kepalanya kena muntahan saya. Kedua, saya bakal kena muntahan sendiri mengingat posisi kora-kora yang nggak bisa diprediksi karena mengayun cepat.


Akhirnya, di atas kora-kora laknat yang mengayun dengan biadab itu. Saya mati-matian menahan muntah yang udah sampai mulut. Berusaha nggak teriak dan hanya bisa diam.


Setelah itu saya, Rendi dan Yohanes nggak berhasrat lagi naik wahana lain karena kami udah lemes dan pusing duluan. Sikap arogan mau nyobain wahana sebanyak-banyaknya waktu pertama datang kalah sama ayunan kora-kora. Kami hanya naik satu wahana karena ayunan kora-kora yang laknat.


Selama perjalanan pulang di dalam bis. Saya, Rendi dan Yohanes menyesal berjamaah karena nggak sempat nyoba wahana lain. Kami hanya bisa menatap nanar mendengar antusiasnya cerita teman-teman lain yang udah nyoba berbagai wahana permainan lain.

About Us

DiaryTeacher Keder

Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.




Random

randomposts