Tiga tahun lamanya
gue hidup bareng temen-temen di kontrakan yang kami namakan Tugiran Community. Asal usul dari nama tersebut
sebenarnya cukup sederhana. Pemiliknya bernama Pak Tugiran. Buat gue, itu
adalah nama yang cukup keren, karena terlihat masih begitu kental unsur
kedaerahannya. Dengan inisiatif yang seadanya kami pun menambahkan kata community di depannya untuk
menyempurnakan kekerenannya. Sempet sih, mau menambahkan kata ‘D’, jadinya
nanti D’ Tugiran. Tapi niat itu gue urungkan karena gue enggak mau dianggap
mengekor D’ Bagindas.
Gue mau cerita.. mungkin
sedikit, mungkin berbelit-belit. Ini cerita tentang gimana akhirnya gue bisa
ngedapetin kontrakan Pak Tugiran yang harganya 12 juta per tahunnya. Yak, ini
adalah sebuah catatan perjalanan tiga mahasiswa yang mencari kontrakan yang
layak untuk dihuni.
Begini ceritanya:
Pada jaman dahulu,
hiduplah seorang mahasiswa berparas biasa-biasa saja. Ganteng enggak, jelek pun
enggak. Dengan penuh ketulusan, mahasiswa ini hidup mandiri. Ngupil sendiri,
cebok sendiri, pake celana dalem pun sendiri. Semua dilakukannya sendiri tanpa
mau merepotkan orang lain, orang-orang memanggilnya dengan nama Edotz.
Edotz hidup dalam
sebuah paviliun kecil bersama kedua orang temannya. Yang satu, berkulit hitam
dan bisa dikatakan legam dengan perawakan kurus kering kering. Iya, memang
seperti bunyi telepon aja kering-kering, dia dipanggil Ganggo. Satunya lagi,
laki-laki, bertubuh gempal, bernapas pendek dan mudah berkeringat. Untuk lebih
memudahkan imajinasi kalian, lihat saja Pepi yang ada di acara bukan empat
mata. Penampakannya enggak beda jauh seperti itu.