Rabu, Maret 15, 2017

Kapan Saat Tepat Tukar Kado dengan Pasangan?

Maret 15, 2017
Membina hubungan merupakan perkara yang gampang-gampang susah karena hubungan melibatkan dua orang yang mempunyai karakter yang berbeda. Salah satunya dengan melakukan tukar kado atau hadiah dengan pasangan kamu. Budaya bertukar kado dengan pasangan adalah hal yang sangat lumrah, dan dapat meningkatkan hubungan pasangan menjadi lebih hangat. Namun, kapankah waktu yang tepat bagi pasangan untuk saling bertukar hadiah alias kado? 

Simak berikut ulasan singkat tentang kapan waktu yang tepat bagi setiap pasangan untuk bertukar kado.

Pertama, saat anniversary hubungan. Saat ulang tahun hubungan merupakan saat yang sangat penting bagi kamu dan pasangan untuk merayakannya dengan bertukar kado. Bertukar kado sebagai salah satu media bagi pasangan atas pencapaian yang sudah dilalui dalam kurun waktu tertentu. Penghargaan untuk diri sendiri dan pasangan sangat penting untuk membuat hubungan kalian menjadi lebih bernilai penting. Sehingga momen ini harus dirayakan dengan memberi kado kepada masing-masing agar selalu ingat hadiah apa saja yang sudah diberikan setiap tahunnya. 

Kedua, saat salah satu pasangan mencapai cita-cita. Jika salah satu dari pasangan telah mencapai cita-cita tertentu ataupun sudah mencapai cita-cita bersama sebaiknya berikan hadiah. Momen ini sangat penting karena dengan saling memberi hadiah berarti masing-masing menghargai segala kerja keras yang telah dilakukan. Memberi hadiah saat cita-cita tercapai dilihat sebagai cara untuk menghargai perjuangan pasangan kita ataupun diri kita sendiri mencapai titik tersebut. Tepat sekali jika kamu ingin bertukar hadiah saat salah satu dari pasangan berhasil mencapai cita-cita, dijamin akan membuat tambah semangat menggapai cita-cita lainnya.

Ketiga, saat hari raya keagamaan. Hari keagamaan adalah saat yang penting bagi setiap orang dan tentunya penting bagi pasangan kamu karena saat itu mereka akan berkumpul bersama keluarga. Momen ini jangan sampai terlewatkan untuk saling bertukar kado, terlebih kado yang berisi kebutuhan penunjang kebutuhan hari raya. Dengan memberikan hadiah saat hari raya keagamaan pasangan dan kamu sendiri akan selalu mengingat momen perayaan keagamaan tahunan tersebut di tahun-tahun berikutnya. 

Keempat, saat hari kasih sayang. Hari kasih sayang selalu menjadi ajang yang sempurna menyatakan bahwa pasangan kamu sangat berarti bagi kamu. Oleh karena itu, sebaiknya kamu memberikan hadiah khusus pada hari tersebut agar pasangan kamu selalu merasa bahwa dia berharga bagi kamu. Hari kasih sayang bisa saat hari valentine ataupun hari putih yang jatuh sebulan setelah hari valentine. Dua hari kasih sayang dalam setahun tersebut sangat cocok untuk kamu dan pasangan rayakan sebagai media untuk membuat hubungan semakin intim dan awet.

Sebulan setelah hari valentine ini kebetulan bertepatan dengan white day atau hari putih. White day adalah hari kasih sayang yang jatuh pada tanggal 14 Maret atau sebulan setelah Valentine, itu adalah momen yang tepat bagi kamu untuk memberikan balasan hadiah yang pasangan kamu berikan pada hari valentine lalu. Nah, kebetulan ES.id dalam menyambut white day memberikan promo khusus 143 bagi kamu semua yang ingin memberikan hadiah perangkat elektronik kepada pasangan. 

Promo white day dari ES.id berupa Promo “show your number”  yaitu dengan menunjukkan nomor 143 di kartu debit atau kredit kamu bisa mendapatkan potongan harga hingga 500 ribu. Tidak sampai disitu ES.id juga memberikan harga khusus Rp 143.017 untuk produk tertentu dan promo diskon 14% + 3%. Kamu bisa mendapatkan berbagai macam produk elektronik lengkap dari ES.id yang dapat kamu cek disini. Jika kamu ingin memberikan hadiah berupa TV LED, ES.id memberikan penawaran TV LED yang lengkap dan kamu bisa cek selengkapnya disini. Yuk buruan berikan hadiah terbaikmu di white day ini hanya di ES.id dan dapatkan promo menariknya.

Sabtu, Desember 31, 2016

Liburan Begini

Desember 31, 2016
Sebelumnya gue selalu menyalahkan sibuknya pekerjaan yang bikin gue jadi susah konsisten ngeblog. Tapi nyatanya setelah liburan panjang seperti ini pun tetep aja gue masih belum update tulisan lagi di blog. Ternyata darah bangsa Indonesia mengalir pekat dalam tubuh gue. Gue hobi banget nyari-nyari kesalahan dalam hidup.

Liburan sekolah kali ini adalah hal yang benar-benar gue nantikan. Gimana enggak? Kerjaan di sekolah lumayan banyak. Selesai satu, tumbuh seribu. Awalnya gue berpikir, gue hanya harus sabar nyelesein tugas sekolah satu per satu, setelah itu tinggal santai sambil dengerin dakwahnya Habib Rizieq. Tapi kenyataannya, tugas satu selesai, muncul tugas lainnya. Satu belum selesai, tugas lainnya semakin bermunculan.  Ini tugas apa jerawat sih! Banyak banget gak ilang-ilang?!

Ternyata bisa bersantai setelah menyelesaikan pekerjaan cuma sebatas mitos buat gue. Niat buat dengerin ceramah Habib Rizieq sambil ngemil ubi panggang pun tak pernah terwujud. Dan gue baru sadar, gue keseringan nulis 'ternyata', saking sulitnya nerima kenyataan yang sebenernya sepele.

Beruntung,  akhirnya gue bisa ngerasain libur.  Dibanding profesi lainnya,  kayaknya cuma guru aja yang bisa ngerasain liburan panjang seperti ini.  Ya,  walaupun di sekolah lainnya mungkin guru-guru ada yang tetep berangkat.  Alhamdulillah, gue ikutan libur kayak siswa di sekolah.

Kalau orang-orang ngehits di luar sana dapet liburan panjang kayak gini pasti langsung pada ngetrip sana sini. Gue beda, liburan sekolah kali ini gue mau santai di rumah aja baca buku sambil ngemil siomay ikan sapu-sapu.

Ya,  liburan gue emang datar banget. Tapi ini yang paling afdol,  gue nggak terlalu suka ngetrip hunting foto-foto dan sebagainya. Gue anak rumahan,  suka mager, suka mencuri ketimun juga. Gue mau balas dendam atas waktu membaca buku yang telah tersita gara-gara lelah bekerja.

Sebelum liburan kemarin juga gue udah ngeborong buku macem-macem.  Kebanyakan sih komik,  karena akhir-akhir ini gue kepengen nostalgia sama jaman dulu dimana ngedapetin komik aja susah banget di kota gue.

Belum kelar semua dibaca, gue ditawarin sama mas-masnya buat ngeborong novel sekalian. Kebetulan gue emang udah biasa beli komik di tempat masnya. Setelah dikasih harga dan gue nego-nego dikit.  Akhirnya gue dapet harga delapan ribu untuk tiap novel. Lumayan, gue pun khilaf besar. Lalu segera nangis sambil keramas mikirin duitnya abis buat beli puluhan novel. Tapi yaudahlah,  yang penting liburan gue jadi lebih bermakna.  Halah.

Selain komik dan novel, sampai setua ini gue kadang juga masih suka baca buku anak-anak. Ya...  bukan berarti gue juga suka menggelinjang sama anak-anak juga sih, bukan.

Salah satu buku anak yang masih suka gue baca adalah majalah Bobo. Walaupun gue tau wajah gue terlalu seram buat megang majalah Bobo, yang harusnya sih majalah Misteri, tapi gue melawan takdir Tuhan yang satu ini. Gue tetep suka baca Majalah Bobo sampai sekarang.

Jujur aja sih,  gue lebih suka baca Bobo yang terbitan jaman dulu dengan alasan sekalian nostalgia. Baca Bobo jaman dulu, gue lebih bisa mengiyakan isinya karena gue juga pernah ngerasain anak-anak di masa itu. Walaupun ada juga Bobo yang terbit sebelum gue lahir, tapi tetep aja,  gue suka.

Mencari Bobo bekas di kota gue, ibarat peribahasa bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami tapi jarumnya sebenernya enggak ada. Jadi ya, di kota gue nggak ada yang jualan bobo bekas. Untuk menuntaskan hasrat nostalgia sama Bobo gue harus nyari online.

Setelah gue amati secara berkala di toko online, karena gue emang tiap hari memantau perkembangan update orang yang jual majalah Bobo dengan harga termurah. Setelah gue amati, harga pasaran untuk majalah bobo bekas adalah 3500 rupiah per buku, belum termasuk ongkos kirim,  dan gue masih keberatan karenanya.

Masalahnya,  Bobo yang dijual kebanyakan masih tahun 2010 ke atas,  memang ada juga yang jual bobo jadul, tapi per majalahnya dijual sepuluh ribuan. Gue masih ngerasa sayang.

Satu-satunya iklan yang menggiurkan gue lihat di OLX, ada yang jual majalah bobo 100 eksemplar dengan harga 3.000, lalu setelah nego jadi 2.500 gue berniat ambil semua majalahnya. Gue udah ngasih alamat,  penjualnya udah ngasih nomer rekening, dan gue tinggal transfer.

Pagi itu,  cewek gue, ada meeting di kota Semarang. Pukul lima pagi, dia udah harus nyampe stasiun karena keretanya berangkat pukul setengah enam. Gue dapet tugas buat nganterin ke stasiun, setelah dari rumah dia dianterin bokapnya ke rumah gue. Kenapa Bokapnya nggak sekalian aja nganterin ke stasiun?  Kenapa harus mampir ke gue,  terus gue yang nganterin ke stasiun? Ribet kan? Cewek emang harus gitu.

Lalu terjadilah peristiwa subuh yang menggugah hati. Cewek gue bangun telat, jam lima lebih. Setelah buru-buru mandi dan sholat subuh. Cewek gue fix ketinggalan kereta. Gue ikutan panik, ini pasti akan terjadi perubahan mood yang mengancam kenyamanan pagi gue kali ini.

Akhirnya, kami sepakat ke stasiun pesan tiket untuk perjalanan jam setengah delapan. Apesnya, tiket untuk kereta selanjutnya udah habis. Gue makin panik, cewek gue udah mulai ngeluh-ngeluh, bentar lagi pasti gue yang disalah-salahin.

Lalu,  gue pun segera beranjak ke agen travel. Berharap masih ada kursi perjalanan ke Semarang. Namun apesnya, travel masih tutup. Ya wajar sih,  jam enam pagi. Konter pulsa juga pasti belum buka.

Cewek gue mulai nyalah-nyalahin gue kenapa gue nggak ngebangunin dia.  padahal harusnya cewek gue yang bangunin gue. Ini jadi dibalik. Pagi itu gue pasrah disalah-salahin.

Merasa harus berjuang,  kami pun pergi ke terminal, nyari tiket bus dengan was was. Apes lagi, tiket bus juga abis untuk perjalanan jam tujuh pagi. 

Tadinya gue mau nawarin naik kapal, tapi gue urungkan karena di Pemalang nggak ada pelabuhan. Sementara itu, suasana semakin menegangkan karena nggak ada lagi pilihan ke Semarang pakai transportasi umum.

Pilihannya sekarang cuma dua, mendengarkan uring-uringan cewek gue yang nggak bisa ke Semarang, atau gue harakiri di depan cewek gue sekarang juga sebagai tanda penyesalan.

Daripada gue harakiri terlalu dini, akhirnya gue nawarin buat nganterin naik motor ke Semarang. Ya, naik motor. Untung motor gue bukan motor cowok sejenis Mega Pro, jadi cewek gue nggak perlu bonceng di tangki bensin. Motor gue matic, cewek gue bisa berdiri di depan boncengnya.

Pagi itu,  setelah mandi melebihi kecepatan cahaya. Gue dan cewek gue bergegas menuju Semarang. Beberapa kali gue dan cewek gue harus meratapi diri karena lubang jalanan yang menganga. Sumpah, demi apapun juga, gue nggak bakal ikhlas orang-orang yang bertanggungjawab ngurusin aspal jalanan ini masuk surga dengan lapang!

Kebayang nggak, berapa orang celaka, berapa orang velg motornya jadi bercabang, berapa banyak orang perutnya eneg gara-gara jalanan yang penuh lubang beginian. Pokoknya Pemerintah Daerah harus nanggung dosanya!

Setelah memainkan skill ala Komeng, menembus jalanan yang macet dan penuh lubang,  kami sampai di Semarang pukul sepuluh siang. Dan gue nggak tau dimana lokasi hotel yang jadi tempat meeting cewek gue. Ini adalah bukti bahwa sebelumnya selama empat tahun lebih di Semarang mainnya gue kurang jauh, palingan cuma sampai Mamang Burjo deket kampus.

Setelah manfaatin GPS yang sempat kebablasan, akhirnya hotel itu ketemu juga. Cewek gue meeting, gue langsung bergairah menuju kios buku bekas di dekat Stadion Diponegoro. Gue menghabiskan banyak waktu dengan santai sambil hinggap kesana kemari. Alhamdulillah...  ternyata disini gue bisa nemu banyak Majalah Bobo dengan harga cuma dua ribu perak.  Indahnya lagi, Bobo jadul yang di toko online dijual sepuluh ribuan, disini tercecer banyak, tetap dengan harga dua ribuan. Gue pun khilaf memborong ratusan Majalah Bobo dan beberapa komik lain.

Malemnya, kami langsung pulang ke Pemalang. Dan ternyata, pantura di malam hari itu nyeremin banget. Lubang-lubang nggak kelihatan dan suka muncul tiba-tiba, bus malem yang melaju kencang tanpa memberikan teloletnya terlebih dahulu, truk gandeng yang seenaknya sendiri bunyiin klakson bikin jantung naik turun. Hal-hal semacam ini harus gue hadapi sepanjang perjalanan. Dan yang nggak diduga adalah ternyata pantura macet parah, tenaga gue bener-bener dikuras maksimal. Sampai akhirnya di Pekalongan, motor gue nyerah. Bannya bocor, dan gue harus mendorong motor dengan riang.

sumber

Cewek gue lari-lari di sebelah gue, bukan lagi ngikutin video klipnya Peterpan yang menghapus jejakmu,  tapi ngeri karena di belakangnya bus malem muncul tanpa ngurangin kecepatan. Gue ngedorong motor lumayan jauh, harus ngelewatin tiga kios tambal ban yang sudah pada tutup, beruntung gue nggak harus melewati sepertiga malam buat nemuin tukang tambal ban yang masih buka. Maklum aja, waktu itu udah jam setengah sebelas malem. Ngantuk, capek, pegel semua jadi satu. Bener-bener kebhinekaan yang tinggi.

Begitu tiba di tukang tambal ban,  motor gue divonis velgnya sedikit bengkok, itu efek dari ranjau berlubang di jalanan. Sempet bingung harus berbuat apa karena velg motor gue mesti dipress biar lurus lagi, dan nggak mungkin ada bengkel buka semalem itu. Untungnya, Om-Om tambal bannya punya inisiatif buat sedikit ngelurusin velg pakai Palu.

Perjalanan gue ke Pemalang pun akhirnya sampai setelah waktu menunjukkan pukul 23.36. Besoknya cewek gue langsung sakit panas dan  demam tinggi, jelas gara-gara kecapean. Tetep aja, gue yang disalah-salahin lagi, gara-gara pulangnya sampe malem banget. Padahal harusnya cewek gue pulangnya bisa naik kereta yang tiketnya udah dipesen. Gue pun berpikir,  mungkin ini saatnya harakiri. Tapi gue pengen baca Majalah Bobo dulu.

Sabtu, November 12, 2016

Mencari Kurcaci

November 12, 2016


Hari Selasa malem kemarin gue baru aja pulang dari yang namanya kemah selama empat hari di lapangan tembak Akmil Magelang. Kemarin itu, gue baru aja ngerasain indahnya peran sebagai laki-laki yang bertanggung jawab. Walopun peran gue belum sampai mencari nafkah buat kebutuhan sehari-hari, tapi angkat-angkat galon sama perlengkapan tenda sampai ke lapangan perkemahan ternyata sama beratnya kayak mencari nafkah buat keluarga.

Gue berangkat ke Magelang bersama lima pembina pramuka laki-laki dengan barang bawaan yang beratnya kayak ngejalanin hidup berdua tapi salah satunya masih keinget sama mantan. Intinya banyak banget! Tenda, peralatan memasak, sembako, matras, galon, sampai cotton bud semuanya sudah antri buat dipindahin dari mobil ke lapangan.

Apesnya, sekolah gue kebagian jatah lahan tenda di ujung lapangan. Tenda anak perempuan nggak kalah apes, jauh lebih pojok lagi. Gue jadi sedih banget, kebayang mesti angkat-angkat barang sejauh mata memandang.

Dalam kegiatan perkemahan itu, peserta perkemahan ada jadwal berkunjung ke Candi  Borobudur. Sebagai pembina yang baik, gue harus memastikan agar anak-anak aman-aman saja selama di sana, sekaligus memastikan kalo gue juga bisa ikut untuk pertama kalinya berkunjung ke Candi Borobudur.

Sekian lama gue naik turun berputar-putar sambil melihat-lihat keramaian yang ada di kawasan Candi Borobudur, ternyata anak-anak yang tadinya ada di sekitar gue raib entah kemana. Gue bersama pembina lain yang sepertinya nggak ada gunanya itu sempat gelisah nyari keberadaan anak-anak. Sampai akhirnya beberapa saat kemudian sadar kalo anak-anak ternyata ada di tangan pembina perempuan yang seorang diri.

Kami cuma berharap anak-anak bisa aman di tangan sebiji pembina perempuan. Kami pun lanjut foto-foto dengan langkah semakin riang.

Beberapa saat kemudian, begitu sampai di pintu keluar museum kapal, kami duduk selonjoran buat memantaskan kaki-kaki gue yang sedari tadi udah berontak minta diistirahatkan. Pas lagi khusyu’ ngelapin keringat di wajah, segerombolan anak laki-laki bermunculan satu per satu di depan gue. Wajah mereka tampak begitu antusias, seolah habis diiming-imingi punya kapal pesiar beberapa tahun mendatang oleh leader MLM.

Lalu tanpa perlu meminta ijin, mereka mulai bercerita satu per satu, “Pak... tadi aku sama temen-temen liat kurcaci!” Kata Abdel sambil terengah-engah.

Gue dengerin mereka curhat alakadarnya, batin gue, “Kurcaci mah di majalah bobo juga ada.”

Anak-anak lainnya melanjutkan, “Iya, Pak.. kecil banget kurcacinya! Bisa ngomong tau, Pak!”

Denger ada kurcaci bisa ngomong, gue jadi mulai penasaran. “Eh itu bener kurcaci bisa ngomong?”

“Iya, Pak bisa ngomong, kecil banget Pak.. kalo gak salah tingginya cuma 35 centimeter!”

Pak Udin, salah satu pembina pramuka kayaknya ikutan penasaran juga, “Emang itu kurcacinya hidup ya, Mas?”

“Hidup Pak, bisa salaman juga!”

Sampai disini gue jadi penasaran banget, ini beneran ada kurcaci di Candi Borobudur? Yang ada di bayangan gue saat itu adalah sosok kurcaci kecil, telinganya lancip, dan dimasukin di kandang semacam jeruji besi buat tontonan. Gue jadi penasaran parah.

“Itu dimana ngeliat kurcacinya?” Pak Udin terlihat semakin penasaran.

“Di museum Pak, tapi masuknya bayar, lima ribu rupiah.”

“Nonton yuk Pak, jadi penasaran pengen lihat kurcacinya kayak apaan.” Pak Udin ngajakin gue.

“Wah pas banget! Gue juga penasaran, ayok deh lihat Pak!” Gue yang mulai penasaran langsung mengiyakan tawaran Pak Udin.

Pak Awan, pembina laki-laki yang dari tadi menyimak ternyata juga pengen ikutan nonton kurcaci  yang diceritakan secara bombastis oleh anak-anak. Gue bener-bener dibikin penasaran dan nggak sabar banget pengen ngeliat sosok kurcaci yang selama ini gue denger cuma ada di negeri dongeng.

Mengingat area wisata Candi Borobudur yang begitu luas. Gue, Pak Udin dan Pak Awan mesti bertanya ke beberapa rombongan peserta perkemahan. Sekitar tiga rombongan kami tanyai dimana lokasi museum yang ada kurcacinya.

Sampai akhirnya, lokasi keberadaan kurcaci sudah ditemukan. Saat itu hari sudah sangat sore, sekitar pukul empat lebih. Gue berharap museum  di depan gue belum tutup. Kalo sampai tutup, bisa-bisa gue mati penasaran gara-gara nggak jadi lihat kurcaci yang udah diceritain sama anak-anak.

Gue, Pak Udin dan Pak Awan berjalan cepat menuju ke loket museum begitu tau ternyata loket masih buka, siap membayar tiket untuk melihat keberadaan kurcaci. Begitu sampai di loket, Mbak-mbaknya nyeletuk, “Ini pembina pramuka rombongan yang tadi ya? Kalo rombongan langsung masuk aja Pak, gratis...”

Alhamdulillah... emang rejeki pembina soleh ini mah.

Kami pun masuk dengan langkah penuh rasa pensaran. Sekali lagi sosok kurcaci yang ada dalam bayangan kami adalah kurcaci bertelinga lancip, kecil, hidup dan dipenjara di sebuah jeruji besi.

Baru beberapa langkah berjalan, ada mbak-mbak lain yang mengarahkan, kalo mau lihat kurcaci bisa langsung ke lantai dua saja.

Nggak mau membuang waktu, kami pun bergegas naik tangga dengan sungguh-sungguh. Dan begitu sampai atas, gue langsung dihadapkan dengan sosok kurcaci yang sudah diceritakan anak-anak! Gue sempet kaget, kemudian memicingkan mata. Kurcaci di depan gue giginya nggak bertaring, telinganya nggak lancip, nggak dipenjara, dan sepertinya nggak berbahaya, yang sesuai deskripsi anak-anak cuma bentuknya yang emang kecil banget.

Setelah menguasai diri dengan penampakan kurcaci yang tiba-tiba, gue  baru sadar ada yang familiar dengan kurcacinya. Lihat deh ....


Kurcacinya ternyata seorang laki-laki yang tinggi badannya (maaf) nggak seberapa. Nggak ada yang namanya telinga lancip, gigi bertaring dan menakutkan. Kurcaci di depan gue ini adalah seorang seorang bapak-bapak yang termasuk salah satu manusia terkecil. Ya, sejenis Ucok Baba yang biasa gue lihat di tipi.

Gue lalu sadar, INI SIH BUKAN KURCACI!!! INI ORANG BIASA CUMA TUBUHNYA KECIL!!! NGESELIN BANGET TUH ANAK-ANAK KALO CERITA!!! LEBAY BANGET! GUE JADI NGERASA BEGO KEMAKAN SAMA OMONGAN MEREKA!

Karena udah terlanjur, akhirnya kami pun ngobrol sama bapak yang mini ini. Kalo nggak salah namanya Nasrudin, beliau emang sehari-hari kerja disitu. Jadi kerjaan bapak Nasrudin ini ya, setiap hari buat ditontonin dan diajak foto bareng.  Alhamdulillah banget katanya...

Biar nggak kesel-kesel amat karena berasa dikerjain anak-anak kami pun foto bareng sama Pak Nasrudin. Lalu pulang sambil cengar-cengir sendiri. Udah jalan buru-buru, nanya-nanya sama rombongan nyari di mana letak kurcaci, ternyata itu orang biasa hanya saja ukurannya mini.

Jadi intinya, jangan terlalu gampang percaya sama omongan anak-anak sekalipun terdengar meyakinkan. Ya... sama juga kali ya, kita jangan gampang percaya atau asal share sama media online yang suka bikin berita bombastis sebelum kalian nyari tau kebenarannya sendiri. Gitu....

Senin, Oktober 31, 2016

Repot Raport

Oktober 31, 2016

Seminggu kemarin gue diribetin sama sesuatu yang biasa disebut ‘raport’. Kalo nurutin KBBI sih harusnya 'rapor', tapi karena gue lebih nyaman pake 'raport' dan ini juga nulisnya di blog, jadi untuk selanjutnya gue pake 'raport' aja.

Jadi ceritanya, disaat temen-temen guru sekolah lain lagi asik nyimak tayangan Mamah Dedeh pagi hari sambil nyeduh energen, gue malah udah dipaksa melakukan hubungan intim dengan laptop sekian lamanya untuk sesuatu yang bernama raport.

Sebagai guru baru, gue nggak tau kalo ternyata di sekolah yang sekarang ini ada yang namanya raport hasil UTS. Gila... keren banget sekolah gue yang sekarang ini. Jangan-jangan seiring perkembangan zaman nantinya, sekolah gue bakalan ada yang namanya raport harian. Jadi nanti tiap guru selain kerjaannya sembahyang mengaji kayak Si Doel anak sekolahan, guru juga harus bikin raport... tiap hari. Cerita pulang kerja bisa selonjoran pun hanya menjadi legenda yang pernah terjadi di masa lalu dan diceritakan turun temurun. 

Raport UTS yang harus gue kerjain kali ini ternyata nggak semudah bayar setoran BPJS di Indomaret. Banyak hal-hal yang harus diperhatikan sebelum memantapkan diri buat mulai nyicil raport. Pertama, harus nunggu format raport dari bagian kurikulum, kedua harus nagih nilai dari guru-guru mapel, ketiga harus nagih nilai dari guru-guru yang megang ekstrakurikuler. Keempat, harus tetap tegar walaupun ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya. Kelima, sajikan selagi hangat.

Perjuangan gue dimulai setelah nerima format file raport dari bagian kurikulum. Setelah dikasih arahan sedikit gimana cara ngerjainnya, gue pun manggut-manggut tanda tak mampu. Iya, gue bingung ngeliat ada begitu banyak kolom yang harus diisi. Udah gitu, gue khawatir ini raport baru dikerjain dikit udah nangis soalnya lagi nggak ulang tahun.

Sebagai guru yang dicap muda karena belum nikah padahal umurnya udah mulai menua, gue harus pura-pura paham masalah format raport ini. Langkah selanjutnya yang harus gue tempuh adalah meminta-minta nilai UTS pada setiap guru dan pengampu ekskul di sekolah. Hal ini bukan sesuatu yang mudah karena keberadaan mereka sering berpindah-pindah tempat karena mesti ngajar di banyak kelas, sekedar informasi, kelas satu sampai kelas enam di sekolah gue total ada dua puluh kelas.

Coba aja kalo sekolah gue bikin aplikasi yang bisa nemuin keberadaan guru mapel kalo jaraknya udah nggak terlalu jauh lagi kayak Pokemon Go, niscaya segala kesulitan yang gue alami ini akan segera sirna. Lagi-lagi, sebagai guru yang dicap muda, gue harus tetap semangat berjuang mencari keberadaan para guru mapel dan guru ekskul hanya dengan bermodal sarapan mie goreng dan sebiji flashdisk.

Beruntung, gue nggak harus benar-benar mencari seluruh guru mapel dan eskul di sekolah karena ternyata guru kelas sebelah beberapa udah dapet nilai yang gue belum dapet. Proses memasukkan nilai pun segera gue lakukan.

Berhari-hari gue melakukan proses memasukkan nilai dengan sungguh-sungguh disaat belum ada gerakan-gerakan mencurigakan dari guru lain ngetik-ngetik raport. Semuanya gue lakukan agar setidaknya beban kerjaan gue sedikit berkurang dan bisa sedikit leyeh-leyeh lega ngejalanin hidup.

Sayangnya, nyelesein kerjaan secepetnya dengan harapan bisa segera bersantai kemudian hari ternyata hanyalah mitos. Terbukti, beberapa keapesan harus gue rasakan setelah kebahagiaan yang gue nantikan sudah menunggu di depan mata.

Pertama, file beberapa nilai mata pelajaran yang masih tersimpan di flashdisk harus gue relakan karena flashdisk gue entah nongkrong dimana. Yap, gue kehilangan flashdisk KW disaat-saat darurat perang kayak gini. Gue cuma nyesel filenya belum sempet dipindah ke laptop, masalah karena harga sih nggak seberapa.

Beruntung gue masih punya satu flashdisk yang juga KW di rumah. Flashdisk gue kebetulan emang KW karena gue tergiur harga murah, dan gue mikirnya toh flashdisk gue cuma buat nyimpen file-file simpel aja nantinya. Makanya, gue beli dua biji biar nggak terlalu berat di ongkos kirim.

Masih belum menyerah, gue segera bergerilya mencari guru mapel untuk minta file nilai UTS dan harian untuk kedua kalinya. Ini gue ngerasa kok bego amat ya, minta nilai aja nyampe harus remidi.

Gue pun segera menuntaskan pekerjaan yang tertunda karena hilangnya flashdisk. Dan percayalah, proses masukin nilai anak satu per satu bener-bener butuh ketekunan dan ketelitian yang tinggi, salah dikit akan jadi konyol. Kayak kemarin, gue sempet ngisi ekskul salah satu anak cewek dengan sepakbola. Untung gue nggak masukin salah satu ekskul cowok dengan nulis adu barbie.

Setelah gue merasa semua nilai sudah dimasukkan, cobaan selanjutnya yang harus gue hadapi adalah printer. Jadi raport UTS kali ini bentuknya adalah lembaran, yang nantinya dimasukkan ke dalam amplop. Dan untuk masukin kertas ke dalam amplop, tentu kertasnya harus tercetak nilai dari anak-anak. Makanya harus diprint dulu.

Persoalan pun datang lagi...

Printer gue udah sekian lamanya rusak, terakhir kali tuh printer gue pake yaitu waktu gue lagi ngerjain skripsi. Setelah gue wisuda printernya pensiun, dan momentum raport UTS ini enggak menggerakkan hati gue buat benerin printer yang udah lama nggak kepake.

Gue pun berinisiatif mau pake printer sekolah, sayangnya baru percobaan sekali ngeprint hasilnya ada satu garis lurus di baris tulisan paling atas. Alhamdulillah sih, printernya enggak hamil orang garisnya satu. Tapi itu mengganggu keelokan hasil raport siswa kelas gue. Skill benerin printer gue juga hampir nol, guru lain juga santai-santai aja nggak ada itikad mau benerin printer.

Gue pun segera menghubungi kakak gue buat numpang ngeprint di rumahnya. Mengingat kakak laki-laki gue yang juga guru SD ini adalah orang dulu yang paling semangat nyuruh gue daftar di SD gue yang sekarang. Tentu saja, kakak gue dengan semangat mengizinkan gue ngeprint di rumahnya.

Sepulang sekolah, sekitar pukul empat sore gue melaju ke rumah kakak gue. Setiap hari gue hampir selalu pulang sore karena sekolahh gue udah semi full day school gitu. Dengan balutan aroma keringat yang menggumpal, gue udah duduk manis di atas kasur lantai kakak gue dengan sajian sekotak printer dan laptop yang menyala.

Flashdisk udah gue colok, dan gue segera mencari nama file yang mau gue print. Begitu ketemu, gue klik dan tekan enter lalu inilah yang terjadi...


Sumpah, gue panik! Ini file raport yang udah jadi dan mendadak nggak bisa dibuka padahal satu jam sebelumnya masih normal-normal aja. Ya Allah.... cobaanmu gini banget. :-(
  
Gue mulai coba eject flashdisk, cabut dan colokin lagi. Sambil penuh harap gue coba buka lagi dan... masih corrupted. Gue mulai lemes.. nggak selera makan karena emang lagi nggak ada makanan. Lalu gue restart laptopnya, gue buka lagi dan.... (tetep aja) file corrupted.

Gue juga baru sadar kalo gue nggak punya cadangan file ini di laptop. Gue terlalu percaya sama flashdisk KW yang gue banggakan.

Fix... disitu gue nangis dalam hati.

Udah dateng jauh-jauh ke rumah kakak, ternyata file nggak bisa dibuka. Akhirnya gue pulang dengan hati gundah, telinga gue mendadak terngiang-ngiang bisikan mbak-mbak SPBU, “Mulai dari nol (lagi) ya, Kak..”

Sesedihnya-sedihnya gue menghadapi semua ini, gue harus tetap tegar. Ditolak cewek sebelum nembak aja pernah, hal kayak gini nggak membuat gue jadi putus asa. Sampai di rumah, gue segera ngerjain ulang raport dari nol. Pokoknya semua harus cepat selesai.

Besoknya, gue dapet kabar di sekolah ternyata mata pelajaran BTQ (Baca Tulis Qur’an) yang tadinya dikosongin, ternyata harus diisi juga. Gue mengucap alhamdulillah, untung kemarin sore nggak jadi ngepritn di rumah kakak gue. Ya, memang selalu ada hikmah di balik sebuah keapesan.

Cobaan-cobaan selanjutnya masih menghiasi hari-hari gue selama ngerjain raport. Balik ke rumah kakak, kena ujan, ngeprint, ternyata tinta warna birunya habis. Ah... daripada ribet, yaudah.. gue tetep aja ngeprint tanpa warna biru. Logo sekolah di amplop nggak sempat gue print karena gue mesti balik lagi ke sekolah ada acara.

Satu hari sebelum pembagian raport, jadwal di sekolah malah padat banget sampai maghrib. Akhirnya gue nekat ngeprint amplop pake printer sekolah walaupun hasilnya kurang dari memuaskan.

Besoknya gue siap bagiin raport setelah berlelah ria selama semingguan. Sampai pukul dua belas siang, ada beberapa orang tua yang masih belum ambil raport hasil anaknya. Gue sih nggak nyesel udah ngebut bikin raport tapi beberapa nggak diambil sama orangtua.

Gue cuma kepikiran aja. Mereka nyekolahin anaknya, bayar mahal disini demi anaknya bisa pinter dan berakhlak mulia. Anaknya sekolah sampai sore, berjuang biar bisa pinter. Tapi saat waktunya tiba buat ngelihat hasil belajar, mereka justru menganggapnya nggak terlalu penting sampai ngambil hasil belajar anak aja nggak sempat.

About Us

DiaryTeacher Keder

Blog personal Edot Herjunot yang menceritakan keresahannya sebagai guru SD. Mulai dari cerita ajaib, absurd sampai yang biasa-biasa saja. Sesekali juga suka nulis hal yang nggak penting.




Random

randomposts