Versus Kenek Bus


Bagi sebagian mahasiswa, ritual pulang kampung itu mutlak hukumnya, dan oleh sebab itu sebagai mahasiswa Indonesia yang tidak betah berlama-lama di kosan karena khawatir dengan perkembangan gizi di akhir bulan. Gue pun ikut melaksanakan misi pulang kampung ke kota Pemalang bareng teman satu kontrakan yang bernama, Surya.

Surya adalah partner gue yang paling tepat untuk pulang ke Pemalang karena kami memiliki latar belakang dan cita-cita yang sama. 

Sama-sama uang bulanan sudah tipis, dan sama-sama ingin pulang ke Pemalang dengan biaya seminimal mungkin. Dengan pulang berdua naik motor, ongkos yang dikeluarkan untuk bensin tentu saja jadi bisa dihemat. Kalau capek di jalan, bisa gantian nyetir motornya. Kalau haus di jalan, bisa menepi sebentar dan saling meyakinkan kalau haus adalah sesuatu yang fana dan kami kuat..

Kami naik motor Supra X warna merah hitam milik Surya yang ada stiker R di bodi motornya. Sebagai laki-laki yang bertenaga, tentu saja gue mengambil peran utama sebagai orang yang duduk mengisi jok belakang. Sementara Surya yang bertugas mengendarai motor supaya baik jalannya.

Awalnya, perjalanan kami terasa biasa saja nggak ada yang istimewa sama sekali. Saking biasanya, gue sampai ngantuk banget di jalan bahkan hampir mau oleng sebelum Surya berhasil memegang tangan gue dengan erat.

Pipi gue pun memerah.

Perjalanan yang gue kira akan berakhir biasa saja, mendadak menjadi sangat menegangkan ketika kami berdua sudah sampai di Kecamatan Petarukan, di wilayah kota Pemalang. Disaat kami berdua sedang fokus di jalan sambil mencetin jerawat secara acak, tiba-tiba ada bus antar kota yang ugal-ugalan, mencet-mencet klakson sembarangan. 

Tentu saja, yang dituju adalah kami berdua. Mungkin karena kami naik motornya di tengah jalan, bus tadi merasa terhalangi lalu mereka emosi. Ternyata, segampang itu bikin bus di jalan jadi emosi, padahal kami kan nggak sengaja.

Surya yang ngerasa nggak terima diklaksonin secara bertubi-tubi memilih bertahan di tengah jalan nggak mau memberi jalan sambil melaju perlahan. Sementara gue, khusyu’ duduk di belakang sambil teriak, “Sur, minggir Sur, minggir.. parah lo!”

Gue gemetaran, khawatir supir busnya nekat lalu nabrakin bus yang dikendarai ke motor yang ada di depannya. Lalu supir dengan santainya turun dari bus dan bilang ke kami kalau mereka cuma iseng.

Supir bus di belakang gue udah mulai teriak-teriak dengan ngeluarin kepalanya lewat jendela. Kenek bus nggak kalah garangnya, mereka nunjuk-nunjuk ke arah gue dan Surya sambil teriak-teriak nggak jelas, seolah-olah gue adalah buruan yang halal buat ditombak.

Surya yang tadinya bersikukuh masih di tengah jalan, terpaksa ngalah minggir memberi jalan kepada bus yang masih semangat membunyikan klakson berkali-kali itu setelah gue meyakinkan bahwa jalan perkuliahan kita masih panjang, jangan sampai terhasut sama supir dan kenek bus yang tampak berselera menyantap kami berdua di tengah jalan.

Begitu Surya mulai menepi, bus lewat di samping kami diiringi kata-kata mutiara syahdu pembangkit semangat perjuangan dari kenek dan supir bus kepada kami. Nggak cuma itu, supir bus yang budiman itu meminggirkan busnya seolah-olah mau menyerempet kami berdua. Otomatis, Surya terpaksa memilih keluar dari jalan beraspal untuk mengendalikan motornya daripada keserempet bus yang penuh hawa nafsu itu.

Gue yang merasa terhina dengan kejadian itu, langsung bereaksi, “Wah kampret tu orang! Susulin Sur, kejar di depannya jangan kasih jalan.”

“Iya tuh, maksudnya apaan sih main mau nyerempet segala!”

Surya yang juga mulai terbakar emosi, menarik kencang gas motornya berusaha menyalip bus yang ada di depan. Melihat kami yang memacu kendaraan dengan cepat, supir bus mencoba menghalangi dengan meminggirkan busnya mencoba menghalangi langkah kami berdua.

Namun sebagai pengendara motor yang lulus SIM C tanpa nembak, Surya berhasil melalui itu semua dan berdiri kokoh di depan bus ugal-ugalan tadi. Seperti yang sudah diramalkan sebelumnya, teror klakson tidak berhenti-berhenti menghujani kami berdua sore itu. Kenek bus teriak lebih kenceng sambil ngacungin botol air mineral kosong ukuran besar pada kami.

Kami yang tadinya punya nyali, mendadak ciut dengan teror klakson yang membisingkan itu. Gue pun meminta Surya untuk menepi lagi dan merasa itu sudah menjadi balasan yang cukup untuk supir dan kenek bus yang budiman tadi.

Begitu kami menepi dan sengaja mengambil jarak agak lebar biar nggak terjangkau sama bus tadi, ternyata bus tadi begitu nekat mendekati kami berdua dan mulai melancarkan serangan fisik. Yap, serangan fisik.

Sang Kenek dengan amarahnya yang begitu nyata memukul-mukul kepala Surya pakai botol air mineral berkali-kali, posisinya kami masih sama-sama jalan beriringan. Gue salut sama supir bus yang bener-bener lihai menyelaraskan kecepatan dan jarak untuk memberi kesempatan pada partnernya sang kenek menghakimi kami berdua. Walaupun ya, lebih tepatnya Surya yang dihakimi.

Di tengah deraan bertubi-tubi, gue sempat kepikiran jangan-jangan sang supir bus itu dulu waktu masih SMA peraih nilai UN tertinggi se-kabupaten untuk mata pelajaran IPA sama Matematika. Soalnya ini supir jago banget menghitung kecepatan busnya tetap stabil mengimbangi motor kami yang tersendat-sendat jalannya.

Melihat kelakuan brutal kenek bus yang menganggap kepala Surya seperti rebana, dikeplakin mulu. Jujur saja, gue emosi.. tapi takut juga ngadepin kenek bus yang sudah kalap begitu. Melihat Surya yang masih dipukulin kepalanya pakai botol air mineral. Gue teriak ke Surya, “Minggir Sur, berhenti saja dulu berhenti!”

Surya nurut dan berhenti. Gue khawatir, busnya jadi ikutan berhenti terus akhirnya jadi ribut di jalan. Kami berdua pasti langsung nangis nantinya. Beruntung, bus tetap melaju, kenek bus masih ngomel sambil mengacungkan tangannya pada kami berdua.

“Kampret itu orang... Sur, kita jalan pelan-pelan nanti belok dulu di pertigaan jalan arah Serang.”

“Ngapain? Asli ini ya.. gue nggak terima diginiin.”

“Sambil tunggu busnya agak jauh, Kita cari batu! Kita lempar kaca busnya nanti!” Gue sudah ikutan panas.

“Ide bagus, ayo!” Surya mengangguk mantap.

Gue memungut batu di pinggir jalan yang lumayan besar, Surya juga memungut batu yang nggak kalah besar, tapi nggak sampe sebesar ukuran bakso beranak. Kami belok lagi menuju jalan dan melihat dari kejauhan sambil menunggu timing yang tepat untuk melempar batu.

“Sur.. nanti kalau busnya belok kanan ke arah pantura di depan Gandulan. Kita lempar bareng-bareng kaca belakangnya. Jadi kita langsung ngebut lurus, busnya nggak punya kesempatan buat ngejar lagi.”

“Oke siap! Nanti kasih aba-aba aja kalau mau ngelempar”, Surya memacu motornya lebih kencang lagi untuk mempersempit jarak, sengaja kami ngikutin dari belakangnya biar bus nggak curiga.

Bus mengurangi kecepatan, perlahan berbelok ke arah kanan menuju jalan pantura. Di tengah jalan pertigaan, ternyata bus berhenti buat nurunin penumpang. Surya mulai mengurangi kecepatan, begitu jarak mulai dekat, gue ngitung, “Satu... dua.. tiga! Lempar!”

DUG! Surya ngelempar batu kena bodi samping. 

DUAGGG! Gue ngelempar kena kaca belakang. Sayang nggak sampai retak. Gue nengok ke belakang mencoba ngeliat reaksi mereka.

Mendengar suara kencang, kenek bus reflek ngeliat kaca belakang busnya terus ngeliat ke arah kami berdua seperti mau ngejar sambil mengacungkan tangannya (lagi). Mungkin pas jaman sekolah dulu, kenekn bus ini salah satu siswa yang rajin bertanya sama gurunya sambil angkat tangan. Sampai dia jadi kenek bus, dia masih suka bertanya, ke penumpangnya, “Mau turun di mana?”

Sementara itu supir bus ikutan turun dan mau ngejar kami berdua. Tapi gue sama Surya sudah ambil jalan lurus arah kota. Mereka tidak berdaya. Mereka pasti kesel banget.

Entah kenapa sore itu rasanya gue puas banget. Mereka pasti kesel banget . Bener-bener afdol banget sore itu.

Surya langsung memacu motornya dan memilih belok ke kiri masuk daerah pedesaan. Khawatir  supir sama kenek bus nekat lari ngejar karena ternyata mereka adalah ninja. Alhamdulillah... sore itu kami berhasil lolos dan bernapas tenang sampai di rumah.

Pas sampai depan rumah, gue bilang ke Surya, “Lo tadi nggak papa kan Sur?”

“Nggak papa, makasih ya sudah perhatian, Dotz.”

Gue melihat pipi surya memerah.

Sebenarnya, apa yang kami berdua lakukan itu bukan hal yang baik, tapi siapa yang nggak kesel sih diklaksonin terus-terusan, kepalanya dipukulin pakai botol di tengah jalan dan dikasih kata-kata mutiara pembangkit semangat perjuangan.
Tapi, ya... seru juga.

Posting Komentar

13 Komentar

  1. sekejam-kejamnya ibu kota lebih kejam jalan raya Hahahhaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ditambah jalan penuh lubang,kejam ganda~

      Hapus
    2. Ahahaa... setuju banget mas. 👍

      Hapus
  2. Ya lumayan lah bang, harusnya seneng dapet kata2 mutiara pembangkit semangat. Klo lo ikut seminar mah bayar, ini kan gratis!!! Wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya juga ya, kalo gue seneng sekarang kayaknya terlambat nggak ya?

      Hapus
  3. Balasan
    1. Setuju sama bagian yang mana, min? Ini kan jalan ceritanya banyak dan bercabang?

      Hapus
  4. "....ementara Surya yang bertugas mengendarai motor supaya baik jalannya.", koq bacanya sambil nyayi? :v

    BalasHapus
  5. Bus-bus di jawa emang ngeri ya cara jalannya, ngebut banget. Pernah lihat di youtube dan itu gila banget sih. Jadi pasti mereka kesel banget kalo traknya di gangguin motor. Bisa dilihat kekesalannya dari mukul pake botol, untung mereka bukan peminum, kalo nggak dipukulnya pake botol bir dan sampa pamalang si surya kepalanya bocor. Hahaha.

    BalasHapus
  6. Kok tegang ya bacanya hahaha takut sama akhir ceritanya tapi untung terbalas ya. Emang sih kalau di jalan raya yg bikin sebel itu supir bus sama angkot. Suka ugal2an dan bikin kezel banget dah pokoknya

    BalasHapus
  7. Bacanya jadi ikutan kesel, tapi gimana yah, kasian juga. Seharusnya ga dilempar kaca belakang, takut pecah dan kena penumpang..

    BalasHapus
  8. Bacanya jadi ikutan kesel, tapi gimana yah, kasian juga. Seharusnya ga dilempar kaca belakang, takut pecah dan kena penumpang..

    BalasHapus
  9. Bahaha. Mau kesel tapi malah kocak sama ceritanya. Lugu lugu ngeselim gmna gtu surya. Sayang kyknya melemparnya kurang besar batunya. Ya mimimal kaca pesah lah baru bisa plonh banget gue mah haha.

    Sama sih bus luragung di kuningan juga ugal ugalan. Apalagi kalo lagi nyalip, enggak mentingin kendaraan yg muncul dari arah berlawanan.

    BalasHapus