The Three Mahasiswa's Part II

Ini adalah lanjutan dari CerPan tentang tiga mahasiswa yang berjuang mencari rumah kontrakan terindah, ternyaman dan... termurah, yang belum tau ceritanya bisa baca dulu di The Three Mahasiswa’s Part 1, dan ini cuplikan cerita sebelumnya:


“Ini kamarnya cuma dua ya Pak?” Kata Ganggo sambil melongok salah satu kamar yang berada di belakang. Sebenarnya tanpa ditanya pun, seharusnya Ganggo tahu, kalau padepokan ini kamarnya cuma dua.
“Seperti yang kalian lihat, Nak” 
“Mmmm.. ini memang gak ada keramiknya ya Pak rumahnya?” Edotz menanyakan hal yang cukup berbobot.
“Nah.. itulah Nak. Kalau nanti kisanak jadi mengontrak padepokan ini. Uangnya rencana mau dipakai buat pasang keramik, jadi setelah kisanak masuk kesini, rumah ini udah berkeramik. Tenang saja.”
“Oh gitu... berapa ini Pak kira-kira setahunnya?” Ganggo kali ini mengajukan pertanyaan yang bagus.
“Lima juta Nak, per tahunnya.” Kata Bapak mantap.
Mereka bertiga pura-pura manggut-manggut padahal sebenarnya mencium aroma busuk lagi untuk kedua kalinya. Kali ini baunya agak sedikit berbeda.
“Maaf Nak, bau banget ya? Bapak tadi kentut.” 
“...”
Setelah percakapan yang diwarnai aroma kentut itu. Mereka bertiga meminta waktu kepada  bapak pemilik kontrakan untuk mendiskusikan permasalahan ini dulu. Deal atau enggaknya. Malam itu, dalam perjalanan pulang mereka saling diam. Memikirkan untung ruginya untuk menyewa padepokan disitu.
***

Selama tujuh hari tujuh malam Edotz, Pandik dan Ganggo terus berpikir dengan teramat sangat serius untuk memutuskan apakah mereka nantinya akan mengambil kontrakan senilai lima juta yang belum dikeramik itu atau tidak. Bagi mereka, membuat keputusan itu tidak boleh dilakukan dengan tergopoh-gopoh. Karena itu mereka berpikir dengan menggeleparkan diri di dalam kamar dengan Pandik sebagai instrukturnya. Pemilihan Pandik sebagai instruktur ini bukan tanpa alasan tapi didasarkan pada bentuk badan Pandik yang mirip ikan duyung. Dan hubungan antara pemilihan instruktur menggeleparkan diri dengan mirip ikan duyung, sampai saat ini masih terus menjadi misteri.

Sampai akhirnya pada suatu malam, di dalam kamar paviliun yang sudah tidak lagi nyaman untuk ditempati. Mereka kembali berdiskusi.

“Kalo gue sendiri sih oke.” Kata Ganggo.

“Kalo gue enggak oke. Rumahnya enggak terlalu gede. Rumah model kayak gitu udah banyak.” Edotz memberikan alasan.

“Gue juga enggak oke. Kayaknya buat parkir motor juga susah.” Kali ini giliran Pandik yang memberikan pendapat.

“Yak, udah jelas... gue enggak, Pandik enggak dan cuma Ganggo yang oke. Berarti keputusannya enggak! Sori banget ya Nggo. Coba lagi tahun depan!” Edotz mengambil kesimpulan. Nadanya persis kayak juri Indonesian Idol waktu lagi ngadain audisi.

“Berarti pencarian kita belum berakhir.” Ganggo berkata lirih sambil menatap langit-langit kamar. Kemudian terjadi hening yang panjang, masing-masing berpikir mau mencari kos atau kontrakan yang nyaman di mana lagi.

Memang mereka keliatannya gaya banget, padahal baru nyari kontrakan sekali tapi lagaknya udah sok pake gaya, “mau nyari di mana lagi.”
***
Di suatu siang yang cerah, saat Edotz sedang asik menjahit celana dalamnya yang berlubang di depan pintu kamar dan Pandik sedang terkapar gara-gara kepanasan di depan ruang tivi tanpa memakai kaos. Tiba-tiba Ganggo pulang, mukanya keliatan kasihan, dipadukan dengan efek ngenes, sedikit keringetan, dan yang paling menyedihkan, mukanya mendadak gelap dan pekat. Setelah diamati lebih jauh lagi, ternyata emang bentuk muka Ganggo yang kayak gitu, gelap dan pekat. Kadang jadi pekat hemat, kadang jadi pekat ekonomis.  Eh, itu paket dink.

Sambil melepas sepatunya yang berwarna krem, padahal dua tahun yang lalu masih berwarna putih. Ganggo membuka percakapan. “Heh, kalian berdua mesti denger, gue dapet berita bagus!”

“Apaan?” Edotz menjawab alakadarnya, masih fokus menjahit celana dalam.

Sedangkan Pandik tidak bereaksi, sepertinya dia terlalu kepanasan.

“Tadi ban motor Edotz kan bocor, terus gue tambal. Nah iseng-iseng gue coba tanya-tanya sama tukang tambal bannya masalah kontrakan. Dan dia ngasih rekomendasi yang MAHASISWABANGET! Bayangin aja, katanya gue mau ditunjukin kontrakan yang per tahunnya cuma tiga setengah juta! GILA GAK TUH! Tapi katanya sih tempatnya agak jauh.” Ganggo bercerita antusias sambil membuka kancing bajunya satu per satu.

“HAH?! Kayak apa bentuknya tuh tiga setengah juta! Berapa kamarnya?!” Edotz terlihat sangsi.

“Halah.. jangan-jangan atapnya dari jerami. Lantainya dari tanah. Sekalian aja pake tenda. Kita tinggal pakai seragam pramuka.” Pandik jauh lebih sangsi.

“Ya terserah kalian aja, katanya sih kamarnya dua. Kalo mau besok kita liat bareng-bareng aja. Kalo sampe rumahnya bagus kan lumayan, kita bisa hidup nyaman... harga murah dan gak akan ada gangguan dari ibughost lagi.” Ganggo memantapkan Edotz dan Pandik.

“Boleh juga sih.. Oke, besok kita liat, bener kata Ganggo--siapa tau tempatnya ternyata nyaman. Kita jadi enggak akan kepanasan lagi tiap siang.” Edotz mulai berkhayal.

“Dan kita enggak perlu khawatir jemur tiga handuk berjejeran.” Pandik tersenyum.

Lalu mereka bertiga kembali sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Terlukis sedikit senyuman di bibir Edotz, Pandik dan Ganggo akan bayangan kontrakan tiga setengah juta yang benar-benar mengusik mental mahasiswa mereka. 

Selesai menjahit celana dalam. Edotz memasak dua bungkus mie instant untuk mereka bertiga dengan porsi kuah full sepanci. Iya, karena kalo pake mangkok, kuahnya enggak bisa maksimal, maka Edotz memasak mie instant dan menghidangkannya menggunakan panci. Mereka bertiga makan sangat lahap dan terlihat sangat akrab. Mereka saling berbagi dengan ceria. Berbagi kuah, berbagi mie dan berbagi aroma keringat. 


***

Keesekoan harinya, sekitar pukul sepuluh. Edotz, Ganggo dan Pandik udah siap untuk menuju ke kontrakan senilai tiga setengah juta rupiah. Kebetulan memang saat itu mereka enggak ada jam kuliah. Setelah menjemput tukang tambal ban, mereka melaju dengan santai diiringi bayangan kontrakan murah yang bisa bikin mereka ngirit dengan damai. 

‘Nah, ini mas rumahnya.” Kata Tukang tambal bannya. “Bentar ya, saya panggilkan pemilik rumahnya dulu.”
Edotz, Ganggo dan Pandik saling bertatapan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Mereka kini sedang berada di sebuah pemukiman kumuh. Di sekitar mereka banyak rumah penduduk yang di terasnya banyak bertumpuk barang-barang bekas. Bahasa kasarnya, sampah-sampah yang masih layak dikumpulkan. Bangunan semi permanen yang terbuat dari kayu mengelilingi mereka, sebagian atapnya dari seng, sebagiannya lagi ada yang enggak ada atapnya. Ternyata, itu toilet yang biasa dipakai bersama dengan fasilitas sumur berbonus katrol buat naik turunin ember.

 Kurang lebih ilustrasinya seperti gambar di atas, enggak terlalu beda jauh.

Entah apa yang ada di pikiran tukang tambal ban, sampai menunjukkan tempat yang enggak sehat ini pada ketiga mahasiswa unyu yang ada di depannya. Mungkin yang ada dalam pikiran tukang tambal ban waktu itu, wajah Ganggo yang dekil saat nambal ban kemarin siang, dikiranya tukang pungut sampah. Ini semua gara-gara wajah Ganggo seorang.

“Silakan mas kalo mau diliat-liat dulu, ini bapaknya yang punya rumah.” Kata tukang tambal sambil mempersilakan masuk.

Edotz, Ganggo dan Pandik masuk dengan sungkan ke dalam rumah yang bisa dikatakan paling bagus di antara rumah di sekitarnya. Sebagian terbuat dari tembok, sebagian lainnya terbuat dari kayu dan atapnya udah terbuat dari genteng walaupun belum dipakein ternit.

“Ini kamarnya mas, memang agak gelap, tapi kalo dipasangin lampu nanti terang.” Kata Bapak pemilik rumah yang sudah cukup tua dan rambutnya mulai banyak memutih. Penjelasannya luar biasa, Edotz baru tau ternyata kamar yang gelap kalo dipasangin lampu jadi terang.

Mereka bertiga hanya manggut-manggut dan saling berpandangan.

“Kalau toiletnya di mana Pak?” Edotz menanykan hal yang penting.

“Oh, di sebelah sini Mas.” Kata bapak sambil menuju pintu kecil yang ada di seberang kamar. “Nanti kalo udah dibersihkan jadi nyaman. Kalo airnya enggak ada, bisa pakai sumur yang ini. Tinggal dibeliin katrol Mas.” Bapak pemilik rumah melanjutkan penjelasannya. Lagi-lagi penjelasan yang luar biasa dan bikin Edotz terpukau. Ternyata, toilet kalo dibersihkan jadinya nyaman. 

Edotz, Ganggo dan Pandik kembali manggut-manggut dan saling berpandangan. Sepertinya mereka punya pikiran yang sama.

Mereka kembali berputar mengelilingi rumah. Kalo diliat-liat, rumahnya memang besar, lebih besar dari ekspektasi mereka bertiga. Bahkan teras rumahnya juga terlihat luas, tapi sayangnya lantainya masih terbuat dari semen, belum berkeramik. Ditambah tanah di sekitar rumah belum disemen atau dilapisi paving. Mereka sudah membayangkan, kalo hujan pasti bakal jadi masalah besar, seenggaknya lumpur bakalan nempel di motor, sandal dan seluruh tubuh mereka. Yang terakhir itu bisa saja terjadi kalo mereka pulang menuju rumah sambil guling-guling dari ujung jalan.

“Kayaknya cukup dulu deh Pak, nanti kita bicarakan bareng-bareng dulu jadi apa enggaknya. Oh iya, kami boleh minta nomernya bapak? Biar mudah menghubunginya.” Kata Pandik sambil kembali saling berpandangan dengan Edotz dan Ganggo.

Sesampainya di kos...

“ANJRIT! Parah banget rumanhya! Gue sih dibayarin juga ogah kali nginep disitu.” Edotz mengungkapkan ketidakpuasannya.

“Gue juga males! Bayangin aja, ternyata kita dibawa ke pemukiman kumuh. Bukannya menghina ya, itu kayaknya komplek rumah pemulung atau pencari barang bekas gitu. Hiiih....”  Kali ini Pandik yang bersuara.
“Gue juga gak nyangka bakalan separah itu.” Ganggo terlihat pasrah.

Mereka keliatan masih shock. Sepertinya tidak ada hasrat dalam diri mereka masing-masing untuk kembali ke rumah tiga setengah juta per tahun tersebut. Mereka seakan trauma, sepertinya mereka perlu minum Kiranti untuk menghilangkan trauma mereka yang parah.

Ternyata, mencari kontrakan yang nyaman dan sesuai harapan itu enggak semudah nempelin pembalut di kening kalo lagi demam. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan untuk memutuskan iya atau enggaknya menempati sebuah rumah. Mereka bertiga enggak mau gegabah.. karena mereka telah belajar dari pengalaman Edotz yang sebelumnya telah gagal dalam mengambil keputusan dalam mengontrak sebuah rumah. 

Kegagalan Edotz itu terjadi tepat sebelum Pandik, Edotz dan Ganggo menyewa paviliun yang sedang ditempatinya saat ini. 

Dan hari itu, mereka kembali mengheningkan cipta. Akan kemana lagi mereka mencari kontrakan yang bisa memberikan kenyamanan secara lahir dan batin? Dan... kegagalan seperti apakah yang pernah dialami oleh Edotz sampai Pandik dan Ganggo jadi begitu selektif dalam menentukan kontrakan untuk mereka tempati.
Nantikan kelanjutannya...

Kalian boleh kemana-mana dulu! Karena ceritanya akan dilanjutkan kapan-kapan. Kalo yang nulis lagi mood, lagi bahagia, dan tentunya lagi berhasrat buat nerusin kelanjutan cerita ini. Sebuah CerPan.. cerita kapan-kapan akan balik lagi, entah kapan.

sumber gambar: disini

Posting Komentar

36 Komentar

  1. Yang sabar ya bang, setidaknya masih ada 2 sahabat yang selalu ada disimu :D

    BalasHapus
  2. nunggu iklan dulu baru dilanjutkan ya....

    BalasHapus
  3. mantap tuh bonusan katrolnya bisa sekaligus buat olahraga hehe

    BalasHapus
  4. Kasian banget Ganggo, dibully mulu dia. Tapi salah sendiri sih kenapa bentuknya kayak gitu coba kayak gini pasti gak bakalan dibully.

    Murah sih murah, tapi kalo bgitu bentuk kontrakannya kayaknya harus dipikirin benar-benar.

    Saya juga baru tahu kalo kamar yang pasangin lampu bakalan jadi terang kamarnya. Informasi yang sangat luar biasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. salahkan bentuknya Ganggo, bener . udah nasib dia kayak gitu.

      benar-benar benar bay ..

      tuh kan infonya emanmg luar biasa, apa kata gue

      Hapus
  5. Hahaha si edotz parti terkesan banget kalo kamar yg dipasangin lampu bisa jadi terang. WOW gue aja baru tau, entah itu ilmu dari mana, yang pasti itu kereeeenn!! -_-

    Eh ini cerita beneran ya? Haha.. Kontrakan 5 juta setahun menurut gue udah lumayan sih. Ambil yg itu aja... :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, edotz sampai terharu dapat ilmu yang luar biasa itu Rik..

      iya, walaupun lima juta tapi kalo enggak sreg tetep aja bakal nyari yang lain.. gitu.

      Hapus
  6. harga sih murah tp kalo tempatnya kaya gitu mending jangan deh bang. 5 juta itu standar loh harganya, temenku aja rumahnya kecil banget setahun juta -_- tetep semangat bang nyari kontrakan. Nyari kontrakan susah-susah gampang emang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya tapi kaalo gak cocok kan mau gimana lagi ..

      iya, perjalanan mencari kontrakan belum berakhir

      Hapus
  7. hahahaha koplak nemen sih lah do.
    kiye maning.
    masa' mie rebus 2 bungkus dimasak nggo 3 wong! huahahaha medit ato irit kae?
    tuku sempak anyaran ngapa, ndadak dijait2, ra modal kowe :-p

    *ngomong basa ngapak*
    kukira org bertiga tu bakal ngontrak di kontrakan 3,5 juta, huhuhu...harusnya di sana...biar nasibnya makin nelangsa.
    semoga lanjutannya mreka jd disana krna terpaksa krna lg gak punya duit!
    huahaha
    *ketawa sadis*

    BalasHapus
    Balasan
    1. lah pimen maning, arane cah kuliah ya kudune nguirit demi kelangsungan hidup ke depannya ...

      najis -___-
      hahahaha terserah elu deh, tungguin aja entar kelanjutannya :D

      Hapus
  8. sori do..bukan nge doain sadis2, ini cerpen kan? biar makiin lucu geto.
    kalo di dunia nyata ya BIG NO NO lah kontrakan kyk gt

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Na, santai keleus.. gue juga nganggepnya bercanda .. kenapa jadi elu yang ngearas bersalah sendiri hahaha

      Hapus
  9. Pencarian terus jangan berhenti ya Bang!
    Jangan putus asa, setiap ada yang tak disenangi pasti nemu yang disenangi. Kontrakan harus yang natural lah, masak dari yang harganya 5 juta sampai yang di depannya tempat musium sampah.
    Cari yang lain lah, teruslah berusaha..

    BalasHapus
    Balasan
    1. sip, gue enggak akan berhenti!

      akan ada tempat terindah untuk orang-orang yang selalu berusaha, sip AGha :D

      Hapus
  10. buahahaha itu terjadinya pas awal kuliah apa gimana Dotz?? kasihan banget yakk, cari kontrakan aja susah, apalagi cari jodohh..hidup memang begini...sabar ya Dotz...3,5 juta emang harga yg agak ga masuk akal juga yak..apalagi di Semarang...oke dah kapan kapan gue baca lagi sambungannya..hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya di semester tigaan lah Mey.. anjiiir, jatohnya cari jodoh haha ..
      iya, sambil nunggu kapan-kapan-nya dateng nikmati aja hidup lo,, kapan2 balik kesini lagi ya.

      Hapus
  11. Hahaha, susah ya nyari kontrakan aja. Tapi justru semakin kita gagal, semakin kita tahu seperti apa yang kita butuhkan! ayo buru disambunng lagi ceritanya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. yuhuuuy~ sambil nyambung sambil bernafas... ayo~

      Hapus
  12. Rumah kontrakan zaman sekarang itu 5 juta pertahun murah eh.
    Tapi ya memang tergantung dalemnya juga.
    Kalo kayak yang sebelum nya cuma 2 kamar gitu, mending nggak deh.

    Coba cari rumah kontrakan yang berbedeng gitu.
    Tau kan rumah bedeng?
    Biasanya sih lumayan gede dan murah kalo bedengan.
    Tau dari temen-temen kuliah ku yang perantauan sih gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya emang murah, tapi banyak pertimbangan juga..

      enggak tau yang berbedeng itu kayak apa -_-

      Hapus
  13. cari yang ternyaman dan termurah kayaknya kagak akur, kalau sudah nyaman pasti mahal,,hehe
    tetapi selamat berjuang dech..

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya namanya sendi-sendi kehidupan emang gini.. mau bagaimana lagi.
      siip

      Hapus
  14. Asli lucu banget. "Penjelasannya luar biasa, Edotz baru tau ternyata kamar yang gelap kalo dipasangin lampu jadi terang."
    Lanjutin dong cerpannya!!! udah nunggu dari episode pertama nih! hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. enggak usah pake asli, gue udah percaya sama elo kok Kuh...
      *kedip-kedip*

      iya, sabar ya..
      sambil nunggu cerita selanjutnya jadi, kamu menanak nasi aja dulu sana .

      Hapus
  15. hahaha tbtb gw bayangin edotz ngomong kayak juri Indonesian Idol gitu ya, hihihi ngenes banget lu dotz hari gini masih ngejahit celana dalam, somplak =)) bapaknya bikin ngakak, ya iyalah kalo gelap dipasang lampu jadi terang, awawaw sumpah ngakak gw dotz :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. ngebayanginnya gue jdi siapa? ahmad dhani apa anang? :p

      memang bapaknya punya pemikiran yang syahdu dan religius, beliau gaul.

      Hapus
  16. Sekarang aku tau, ternyata kamar yang gelap kalo dipasangin lampu jadi terang \o/
    Dapet ilmu baru deh hari ini..
    Thanks \o/

    Jangan menyerah ya, Bang.
    Syukuri apa yang ada karena hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik..
    Mirip lirik lagu ya, Bang? Iya sih emang, hehehe ( .___.)

    SEMANGAT BANG EDOTZZZZZZZZ!!!!!!!!!!!!
    Ditunggu kelanjutan ceritanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yeh.. nice post kan . sip

      iya, mirip..
      sip deh kapan2 ceritanya dilanjutin

      Hapus
  17. keren ya toilet kaalau dibersihin jadi nyaman :D. besok toilet gue, gue bersihin biar nyaman kayak di mol.

    mending jadi ajah ngontrak di rumh itu, kan lumayan kalau ada tim bedah rumah sapa tau rumah itu yang kepilih :D bisa numpang masuk tipi hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. emang keren, gaul banget...

      benr juga ya, kenapague enggak kepikiran -___-

      Hapus
  18. hahaha, ceritanya lucu. semoga cepat dapat kontrakan yang pas ya :D

    BalasHapus